Frans Seda Melangkaui Tantangan Zaman
Tahun ini Frans Seda, yang berasal dari Maumere, Flores, dicalonkan sebagai pahlawan nasional. Frans Seda merupakan tokoh yang berjasa besar bagi nusa bangsa. Ia telah berjuang sepanjang hayat melangkaui tantangan zaman.
Sebanyak 200 pahlawan nasional Indonesia berkiprah pada wilayah dan era yang berbeda dari abad XVII sampai abad XX. Mereka sudah membuktikan diri mampu menjawab tantangan zaman yang tidak sama.
Selain itu, mereka berjasa besar bagi nusa dan bangsa serta berjuang sepanjang hayatnya. Ini juga berlaku bagi Frans Seda yang berasal dari Maumere, Flores, yang tahun ini dicalonkan sebagai pahlawan nasional.
Tantangan peralihan kekuasaan
Tanggal 11 Maret 1966 merupakan tonggak penting peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru karena saat itu dikeluarkan surat perintah oleh Presiden Soekarno kepada Mayjen Soeharto untuk ”mengambil segala tindakan yang dianggap perlu”.
Pagi harinya berlangsung sidang kabinet yang diwarnai demonstrasi besar-besaran mahasiswa dengan dukungan tentara yang dipimpin Kemal Idris.
Efek demo itu luar biasa, sidang kabinet dihentikan dan Presiden Soekarno menyingkir ke Istana Bogor dengan menggunakan helikopter.
Ada dua orang tidak hadir dalam sidang kabinet itu dengan ”alasan sakit”, yaitu Mayjen Soeharto dan Menteri Perkebunan Frans Seda. Ketidakhadiran Soeharto dapat dimengerti. Jika ia datang ke Istana, tentu ia akan diperintahkan Presiden Soekarno untuk membubarkan demo mahasiswa yang didukung tentara itu.
Pada momen yang sangat genting itu, saya pikir Frans Seda memilih tidak terlibat dalam pertentangan keras antara Soeharto dan Presiden Soekarno.
Namun, apa alasan sesungguhnya Frans Seda yang dijemput dengan helikopter, tetapi tak mau datang ke Istana? Pada momen yang sangat genting itu saya pikir Frans Seda memilih tidak terlibat dalam pertentangan keras antara Soeharto dan Presiden Soekarno.
Frans Seda dipercayai Soekarno untuk menjadi Menteri Perkebunan. Sebelumnya ia adalah Ketua Umum Partai Katolik karena IJ Kasimo yang menentang konsepsi Presiden Soekarno mengundurkan diri.
Frans Seda lebih lentur dalam berhadapan dengan Soekarno. Ketika itu kekuasaan boleh dikatakan terbelah antara Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI, di mana Presiden Soekarno berada di atas sebagai penyeimbang. Pertarungan tajam terjadi antara Angkatan Darat dan PKI.
Jenderal A Yani meminta kepada Frans Seda untuk mendirikan surat kabar sebagai corong Partai Katolik untuk memengaruhi opini masyarakat.
Dalam perbincangan kemudian dengan IJ Kasimo serta Jakob Oetama dan PK Ojong, disetujui membangun media pers, tetapi sebagai surat kabar umum, bukan media partai.
Persyaratan 3.000 tanda tangan yang bersedia menjadi pelanggan koran tersebut dengan mudah diperoleh Frans Seda, terutama dari masyarakat Flores. Surat kabar yang semula direncanakan bernama Bentara Rakyat diganti menjadi Kompas atas usul Soekarno.
Ketika menjadi Menteri Perkebunan, Frans Seda harus mampu mengurus berbagai kepentingan yang berhadapan. Sektor ini menghadapi banyak hambatan berupa kuota dan pembebanan pajak atas penerimaan devisa hasil ekspor. Ia harus menjembatani kebutuhan pemerintah dan eksportir, termasuk pekerja di sektor ini.
Tantangan penyelamatan ekonomi
Pada 1966, Frans Seda menduduki jabatan yang disebut Sumitro Djojohadikusumo ”Menteri Keuangan pada masa sangat sulit”. Ketika itu ekonomi nasional berada di titik nadir, inflasi mencapai 650 persen.
Sebagai Menteri Keuangan, ia bersama-sama dengan Radius Prawiro (Gubernur Bank Indonesia) bertanggung jawab membenahi masalah moneter yang parah. Anggaran belanja departemen diketatkan, sementara dunia usaha terhambat karena ekspansi kredit dibatasi.
Frans Seda mengeluarkan Peraturan 3 Oktober 1966 yang menjadi dasar kebijakan ekonomi dengan anggaran berimbang, nilai tukar mengambang, dan memperkenalkan mekanisme pasar. Indonesia kembali menjadi anggota Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Negara-negara Eropa dilobi untuk menjadwalkan kembali utang luar negeri dan dibentuk Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI).
Dalam waktu setahun, inflasi turun menjadi 185 persen, tahun berikutnya 138 persen, dan akhirnya 1970-an tinggal satu digit. Tahun 1968-1972, ia jadi Menteri Perhubungan. Frans Seda berjasa membuka pelayaran dan penerbangan perintis. Ia mengupayakan agar setiap provinsi memiliki bandar udara.
Sebagai Menteri Keuangan, ia bersama-sama dengan Radius Prawiro (Gubernur Bank Indonesia) bertanggung jawab membenahi masalah moneter yang parah.
Berjuang sepanjang hayat
Sosok Frans Seda terlihat dalam menghadapi tantangan dengan dirinya, dengan lingkungan sosial-budayanya, dengan partainya. Pertarungan kekuasaan melibatkan dirinya bersama partainya dan golongannya di dalam seluruh pertarungan politik ekonomi yang dialami bangsa ini (Dhakidae, 1992).
Perjalanan studinya di tingkat lokal, nasional, dan internasional tercakup dalam tiga tempat: Ndao-Muntilan-Tilburg. Ia menempuh pendidikan dasar (schakel school) di Ndao, Flores. Ketika ia duduk di kelas dua, sekolahnya dikunjungi Soekarno yang saat itu dibuang ke Ende. Frans Seda melakukan deklamasi dalam bahasa Belanda di depan Bung Karno.
Ia melanjutkan sekolah di Muntilan, Jawa Tengah. Di sekolah yang didirikan Van Lith ini ia bergaul dengan siswa yang datang dari beberapa daerah di Indonesia. Sekolah Katolik Muntilan menurut Jan Bank, ”asal-muasal kesadaran nasional kaum Katolik Indonesia”.
Tahun 1923, alumni sekolah ini mendirikan Pakempalan Politik Katolik Djawi yang menjadi cikal bakal Partai Katolik. Dalam masa penjajahan Jepang, sekolah ini ditutup.
Frans Seda terpaksa menumpang pada sebuah keluarga Katolik di Yogyakarta. Ia bersekolah dan mencari nafkah dengan melakukan berbagai pekerjaan serabutan, tetapi juga bergabung dengan Laskar Sunda Ketjil.
Sekolah menengahnya diselesaikan di Surabaya dan kemudian ia melanjutkan studi ke Universitas Katolik Tilburg, Belanda, belajar ilmu ekonomi yang ditamatkannya tahun 1956. Di Tilburg ia membuat jaringan yang kelak berguna tatkala ia melakukan tugas rahasia melobi Partai Katolik Belanda agar mau mengembalikan Irian Barat ke Indonesia.
Sepulangnya ke Indonesia, ia menjadi pimpinan Partai Katolik, anggota DPRGR, serta Menteri Perkebunan dan Menteri Pertanian pada masa Soekarno. Tahun 1960, ia mendirikan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Presiden Soekarno menunjuk tanah di dekat Jembatan Semanggi sebagai kampus yang harus dibangun minimal bertingkat empat dalam tempo dua tahun.
Rancangan arsitektur terkemuka Hans Awal langsung diparaf Presiden, ”Acc Soek”. Di universitas ini, selain dari berbagai fakultas, Frans Seda menganggap penting mendirikan Pusat Etika Atma Jaya.
Baca juga : Frans Seda, Pejuang Seumur Hidup
Baca juga : Awal Maret, Dokumen Usulan Gelar Pahlawan Nasional Frans Seda Rampung Disusun
Pada awal Orde Baru, ia menjadi Menteri Keuangan dan kemudian Menteri Perhubungan. Selepas itu menjadi duta besar di Brussel untuk Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), Belgia, dan Luksemburg. Sekembalinya ke Indonesia, ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), bendahara KONI, pengurus PMI, dan terjun ke dunia usaha.
Setelah tidak menjabat, ia terus menulis di koran Kompas, memberikan masukan dan kritikan dalam bidang ekonomi dan bidang lain. Frans Seda berjasa besar bagi nusa dan bangsa. Ia telah berjuang sepanjang hayatnya melangkaui tantangan zaman.
Asvi Warman Adam, Profesor Riset BRIN