Menimbang Akar Pragmatisme Akademisi
Pragmatisme akademisi menggerus idealisme dan mendegradasi martabat. Tugas perguruan tinggi merawat idealisme tersebut.
Pragmatisme telah menjadi ”hantu” bagi para akademisi untuk bersuara atas dasar idealisme dan ilmu pengetahuan. Kepentingan individu/kelompok seakan membelenggu mereka. Padahal, negara ini membutuhkan kehadiran kaum intelektual untuk meluruskan visi kebangsaan yang bengkok karena abai terhadap etika, kejujuran, dan keteladanan.
Sayangnya, persaingan internal atas nama gelar dan jabatan telah membuat perguruan tinggi (PT) ”tidak lagi menjadi miniatur peradaban bangsa”.
Para akademisi seharusnya tidak melupakan bahwa idealisme tidaklah mengedepankan gelar tertinggi dan jabatan semata. Namun, jika hal ini yang menjadi fokus para akademisi PT, maka sampai kapan pun pendidikan kita tidak akan mampu mencapai misi utama Indonesia Emas 2045 di bidang pendidikan, yaitu meningkatkan daya saing sumber daya manusia.
Pragmatisme menggerus idealisme dan mendegradasi martabat. Sepatutnya intelektual kampus menjauhi abuse of power, bukan malah digunakan untuk mengejar gelar dan jabatan. PT harus kembali bisa berdiri sebagai miniatur peradaban bangsa. Merawat dan menjaga idealisme orang-orang cerdas yang independen, tanpa afiliasi atau tidak punya hubungan nasab dengan relasi kuasa tetap bisa bertumbuh. Berpikir dan berkarier. Tanpa harus “dimatikan”.
Baca juga: Negara dan Peran Akademisi
Dalam diskursus agama, jika hal itu terjadi, maka bisa disebut zalim. Tidak hanya menganiaya orang lain, tetapi sebenarnya ia juga sedang menganiaya dirinya sendiri.
Perguruan tinggi harus memastikan tidak terjebak pemikiran tendensius yang mirip kisah Raja Namrud pada masa kenabian Ibrahim AS. Ketakutan berlebihan terhadap kegagalan masa depan yang melampaui batas takdir. Kerapuhan PT akan menyebabkan harapan negara ini pupus.
Sigit Riyanto (Kompas, 3/1/2024) dalam tulisannya berjudul ”Negara dan Peran Akademisi” mewanti-wanti para pihak agar tidak mengabaikan intelektualitas. Abai terhadap intelektualitas akan merendahkan martabat sivitas akademika yang berproses; menjebak PT sebagai lingkungan yang anarkistik dan kumuh. Riyanto S menilai hal itu adalah bagian dari sikap yang mencerminkan perilaku koruptif dan penyalahgunaan kekuasaan.
Akar pragmatisme
Johann Gottlieb Fichte, filsuf Jerman yang hidup pada abad ke-18, menyebut, mereka yang mempunyai idealisme unggul dalam hal moral dan etika, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Di dalam Islam, idealisme selaras dengan akal sehat. Keseimbangan antara proses pikir dan kedekatan dengan Sang Maha Pencipta.
Para intelektual kampus harus lebih banyak melakukan autokritik dan jujur pada diri sendiri sebelum akhirnya benar-benar menjadi agent of change untuk mendukung proses peradaban bangsa. Dalam beberapa kasus untuk mengejar kenaikan jabatan akademik dan gelar profesor, misalnya, kerap kali mengabaikan batas-batas harkat dan martabat manusia dan di luar nalar akal sehat, kalau tidak bisa dikatakan ”tanpa etika”.
Bahkan, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah di mata sebagian para akademisi seakan hanya aturan baku yang tertulis di atas kertas. Abai dalam praktiknya.
Para intelektual kampus harus lebih banyak melakukan autokritik dan jujur pada diri sendiri sebelum akhirnya benar-benar menjadi agent of change untuk mendukung proses peradaban bangsa.
Investigasi Kompas (10/2/2023) dengan judul ”Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah” membuktikan bahwa pragmatisme telah menjadi masalah utama pada lembaga pendidikan tinggi kita yang agung.
Perjokian tentu tidak terlepas dari kejar-mengejar kuantitas karya ilmiah. Hal ini terjadi karena gelar profesor di Indonesia ditentukan berdasarkan jumlah angka kredit (KUM) yang berhasil dikumpulkan. Seorang calon profesor harus mengumpulkan KUM minimal 850 atau 1.050 poin.
Alhasil praktik perjokian dan plagiasi sering kali menjadi bagian dari hitam putih kenaikan jabatan akademik dan upaya meraih gelar profesor di Indonesia. Mereka kejar-mengejar agar dapat memublikasikan karya ilmiahnya di Jurnal Internasional Bereputasi (JIB), sekalipun berbayar dan harus merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah.
Ironisnya lagi bahwa praktik perjokian dan plagiasi kerap kali berhubungan dengan kuasa kampus. Dosen muda/calon dosen dan mahasiswa produktif kerap kali menjadi korban perjokian dan plagiasi skripsi atau tesis, tetapi mereka tidak berani bersuara karena khawatir akan dikriminalisasikan.
Dalih jika ketahuan telah dipersiapkan sejak awal dengan dukungan kuasa kampus. Lalu, ditarik ke ranah politik dan seolah-olah hanya persoalan expression of dislikes. Ibaratnya ”Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan tampak jelas”. Melempar kesalahan kepada pihak lain.
Kejar-mengejar angka kredit (KUM) juga terkait erat dengan target PT untuk mencapai 10-12 persen guru besar dari jumlah dosen setelah dibagi rasio mahasiswa. Secara kuantitas dan administrasi akreditasi kampus, mereka tentu ada di atas kertas. Akan tetapi, sewajarnya secara kualitas jumlahnya tidak seperti yang tertulis.
Baca juga: Moralitas Akademik
Data AD Scientific Index-World Scientists Rankings-2024 menyebut, hanya satu orang ilmuwan Indonesia yang berhasil masuk dalam jajaran 1.000 top ilmuwan dunia dengan total H Index 168 dan Citation 136.717. Ia adalah Suharyo Sumowidagdo, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menduduki peringat ke-989 ilmuwan dunia. Suharyo fokus kepada experimental particle physics/high performance computing.
Merujuk kepada tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dunia, angka kredit (KUM) sepatutnya tidak lagi menjadi penentu tunggal gelar profesor.
Di negara-negara maju Eropa, seperti Jerman, Italia, dan Perancis, para akademisi yang ingin mendapat promosi menjadi guru besar harus dapat menunjukkan kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan dari hasil penelitian yang ia lakukan. Seorang calon profesor juga dituntut membuat dokumen panjang mirip disertasi untuk meraih gelar Doctor of Philosophy (PhD). Dokumen ini lalu akan dinilai oleh panel profesor, sesuai bidang keilmuan masing-masing. Selanjutnya masih harus melewati proses persetujuan dari komunitas akademis atau kredensial.
Kuasa relasi
Pada saat memproklamasikan teori relasi kuasa, Foucault (1926-1984 M) tidak memaksudkan bahwa relasi kuasa itu hanya dalam entitas yang sempit sebagai milik orang per orang atau kelompok tertentu, tetapi kekuasaan yang sifatnya menyebar. Bukan pula ontologi yang membatasi ruang etnis atau pandangan politik tertentu.
Pada beberapa PT di Indonesia, terutama yang berjauhan dengan pusat kekuasaan, relasi kuasa telah berubah menjadi kuasa relasi. Kekuasaan menjadi ontologi dengan kuasa pada etnis dan garis keturunan tertentu. Relasi kuasa tidak lagi dipersepsikan sebagai sebuah strategi, tetapi dipelesetkan menjadi kuasa relasi untuk mencapai keuntungan pribadi/ kelompoknya.
Orang-orang kritis, produktif yang independen dan berusaha mengeluarkan PT dari lingkungan anarkistik dan kumuh (bahasa: Riyanto S) dikerdilkan hingga merasa tidak betah dan keluar dari PT.
Para kuasa relasi ini menikmati pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) dan Badan Layanan Umum (PTNBLU). Mengelola anggaran dan mengangkat tenaga tetap non-PNS dengan otonomi penuh, sesuai aturan perundang-undangan masing-masing.
Pada beberapa PT di Indonesia, terutama yang berjauhan dengan pusat kekuasaan, relasi kuasa telah berubah menjadi kuasa relasi.
Otonomi PT sewajarnya baik seiring cita-cita pemerintah mewujudkan perguruan tinggi kelas dunia, terutama bagi universitas potensial, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan top ten universitas lainnya dalam berbagai survei pemeringkatan lembaga dunia kredibel, seperti QS World University Ranking.
Dalam model PTNBH maupun PTNBLU di Indonesia, rektor adalah pimpinan lembaga pendidikan, pimpinan BH atau BLU, sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Sejatinya seorang rektor dengan idealisme ilmu pengetahuan yang ia bawa mampu berdiri di atas kaki sendiri dan keluar dari kepentingan kuasa relasi.
Namun, dalam meraih kekuasaan, strategi relasi kuasa acap kali bekerja atas kepentingan para pihak. Ketika berhasil menjadi pemimpin, giliran mereka yang cenderung bekerja atas kepentingan kuasa relasi. Lord Acton mengatakan bahwa power tend to corrupt. Ketika Revrisond Baswir meneliti sejarah korupsi di Indonesia, ia berpendapat bahwa awal dari korupsi itu berasal dari perilaku kekuasaan.
Corrupt juga berhubungan erat dengan sikap kritis masyarakat atau komunitas pada suatu negara/lembaga. Ketika sikap kritis makin berkembang, maka power tend to corrupt dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya dan masyarakat dengan sendirinya akan mempersempit gerak perilaku kekuasaan yang corrupt tersebut.
Baca juga: Kontestasi Kebijakan Pendidikan Tinggi
Sebagai lembaga yang menggerakkan peradaban bangsa, PT seharusnya punya kelembagaan yang kuat, tidak rapuh, apalagi mendorong lahirnya power syndrom atau post power syndrom. Orang yang selalu ingin berkuasa atau setidaknya ingin punya pengaruh setelah berkuasa.
Revitalisasi struktur PTNBH atau PTNBLU yang memisahkan kuasa bisnis dan pendidikan sudah saatnya dikaji dan diterapkan sebelum lingkungan kampus makin terjebak dalam lingkungan anarkistik, kumuh, dan mengerdilkan orang-orang kritis yang cerdas.
Negara ini masih sangat membutuhkan lembaga pendidikan tinggi. Peradabannya selalu berhubungan dengan mereka. Pergantian rezim yang diktator ke rezim reformasi juga melibatkan para sivitas akademika.
Mardani Malemi, Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Facebook: teungkumalemi