Kepentingan teknis dapat menjadi problematis ketika dominasi kepentingan mengalahkan dimensi lain pendidikan tinggi.
Oleh
TOGAR M SIMATUPANG
·3 menit baca
Pendidikan tinggi sebagai pilar pengembangan modal manusia terluput dalam daftar kebijakan calon presiden dan calon wakil presiden yang berlaga pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024.
Para kontestan mereduksi kebijakan pendidikan tinggi menjadi bersifat teknis dan populis untuk kepentingan pendulangan suara (Kompas, 21/11/2023). Persoalan mendasar pendidikan tinggi yang mencakup ketimpangan akses di masa lalu dan peran perguruan tinggi untuk mengubah masa depan yang prospektif belum tersentuh.
Kebijakan membawa perubahan sosial, sebagai proses peningkatan komunikasi yang dialogis dan partisipatif di semua sektor masyarakat. Teori tindakan komunikatif Jurgen Habermas (1981) membingkai komunikasi yang melibatkan para pembahas yang memperdebatkan klaim validitas untuk mendapatkan pemahaman bersama dan mencapai konsensus.
Ketika teori tindakan komunikatif diterapkan pada kontestasi kebijakan, pendidikan tinggi harus dianggap dimotivasi oleh kepentingan yang berbeda, mencakup teknis, praktis, dan emansipatoris.
Kepentingan teknis
Dalam teori Habermas, kepentingan teknis merujuk pada jenis kepentingan yang terfokus pada penggunaan rasionalitas instrumental atau teknologi untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks pendidikan tinggi, pandangan kepentingan teknis melibatkan pendekatan yang lebih terfokus pada efisiensi, pengukuran hasil, dan peningkatan proses administratif.
Persoalan mendasar pendidikan tinggi yang mencakup ketimpangan akses di masa lalu dan peran perguruan tinggi untuk mengubah masa depan yang prospektif belum tersentuh.
Kebijakan pendidikan tinggi yang ditawarkan para kontestan berada pada tataran kepentingan teknis. Walaupun Anies-Muhaimin tidak secara khusus membidik pendidikan tinggi, pengungkit yang diusulkan adalah akses pendidikan berkeadilan dan peningkatan secara signifikan kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan dikaitkan dengan kinerja.
Hal senada disampaikan Prabowo-Gibran yang berikrar menaikkan gaji ASN guru dan dosen sebagai program hasil terbaik cepat dan program prioritasnya adalah penguatan pendidikan, sains, dan teknologi, serta digitalisasi.
Sementara itu, Ganjar-Mahfud menjanjikan setiap keluarga miskin menyekolahkan minimal satu anaknya hingga sarjana untuk memutus rantai kemiskinan, kenaikan upah dosen melalui penyempurnaan sertifikasi dosen secara lebih sederhana, dan integrasi pendidikan dan pelatihan vokasi dengan dunia usaha.
Kepentingan teknis mengatur pendidikan tinggi seperti termostat dengan target akses dan relevansi luaran dengan kebutuhan masyarakat.
Kepentingan teknis dapat menjadi problematis ketika dominasi kepentingan ini mengalahkan dimensi lain dari kehidupan pendidikan tinggi, yakni kebebasan akademis, pertukaran ide yang bebas, dan reproduksi pengetahuan.
Pandangan kepentingan teknis dapat menyebabkan birokratisasi, fokus pada luaran, dan penggunaan teknologi.
Perguruan tinggi hanya dipandang sebagai alat pemroses kebijakan dengan ukuran kuantitatif. Hal ini mengurangi ruang bagi dialog dan kreativitas akademis, terutama dalam memecahkan persoalan keterjangkauan dan pengangguran.
Kepentingan praktis
Kepentingan praktis merujuk pada kepentingan yang berkaitan dengan bagaimana pendidikan tinggi melakukan penerapan praktis atas pengetahuan, relevansi sosial, dan kontribusi langsung ke masyarakat. Pendidikan tinggi adalah institusi intelektual transformatif yang bekerja demi perbaikan status quo dan generasi mendatang.
Ketiga pasangan peserta Pilpres 2024 tertinggal dari kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang sedang berjalan. Tujuan kebijakan MBKM adalah untuk meningkatkan kebekerjaan (employability), perbaikan predikat akreditasi, dan mempererat hubungan perguruan tinggi dengan dunia industri.
Kebijakan MBKM menekankan kepentingan praktis yang ditandai dengan regulasi baru, episode sosialisasi berseri, program hibah bersaing, dan penghargaan. Target terletak pada adopsi program MBKM yang meluas di sejumlah 4.523 perguruan tinggi dengan mahasiswa sebanyak 9,32 juta orang pada 2022.
Implementasi kebijakan menunjukkan hasil pembelajaran dan penelitian berkaitan dengan memenuhi kebutuhan praktis masyarakat dan meningkatnya kolaborasi dengan industri untuk mengatasi masalah-masalah praktis.
Perguruan tinggi hanya dipandang sebagai alat pemroses kebijakan dengan ukuran kuantitatif.
Kepentingan emansipatoris
Pandangan kepentingan emansipatoris mengacu pada tujuan untuk menciptakan ruang di mana individu dapat mengembangkan diri secara penuh, membebaskan diri dari segala bentuk penindasan atau dominasi, dan meningkatkan kesadaran kritis mereka terhadap realitas sosial.
Kebijakan pendidikan tinggi mendorong perguruan tinggi menjadi wadah bagi pembebasan diri, memungkinkan individu berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat dengan cara yang membawa perubahan positif dan menghapuskan ketidaksetaraan.
Implementasi kebijakan MBKM belum menyentuh kepentingan emansipatoris. Perguruan tinggi masih dipandang sebagai arena implementasi kebijakan secara praktis dan belum terbangun kesadaran potensi transformasi pendidikan sebagai jalan menuju masa depan kolektif yang berkelanjutan.
Kritik terhadap kebijakan MBKM meliputi terbatasnya ruang bagi perguruan tinggi untuk mengadopsi kebijakan MBKM secara mandiri, menumbuhkan pelembagaan kebebasan, dan memberdayakan kelompok yang terpinggirkan.
Kontestasi kebijakan pendidikan memerlukan gagasan segar sebagai kontrak sosial. Transformasi kebijakan yang bersandar pada pandangan Habermas menyarankan bauran kebijakan pendidikan tinggi yang baik, yang sering kali tak terbatas pada satu jenis kepentingan. Pertimbangan kepentingan yang seimbang membuat kontestasi menjadi menarik tatkala memasuki masa kampanye dan debat karena mendorong dialog terbuka soal isu-isu pendidikan tinggi.