Sebagian akademisi di negeri ini enggan membicarakan persoalan ketidakwajaran dalam penelitian dan publikasi ilmiah karena menyangkut diri dan karier mereka. Ormas-ormas penggawa moralitas bangsa juga belum bersuara.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·5 menit baca
SALOMO TOBING
Ahmad Najib Burhani
Sejak penangkapan Rektor Universitas Lampung Karomani oleh KPK karena kasus suap program seleksi penerimaan mahasiswa jalur mandiri 20 Agustus lalu, beberapa tulisan terkait moralitas akademik telah diterbitkan oleh Kompas. Salah satunya adalah ”Profesor Doktor Koruptor” (26/8). Perguruan Tinggi yang mestinya, seperti disebut Nizam, Dirjen Diktiristek, menjadi ”garda moral dan etika yang bersih dari tindakan korupsi” ternyata tak beda dari institusi lain atau bahkan tampak menjadi tempat berseminya benih-benih korupsi di Tanah Air.
Dari mana praktik korupsi itu berawal? Dalam artikel ”Krisis Etika Ilmiah dan Benih Korupsi di Perguruan Tinggi” (Kompas, 1/9), Bambang Purwanto melihat bahwa ”praktik tidak wajar dalam penelitian dan publikasi ilmiah” merupakan awal dan benih dari suburnya praktik-praktik korupsi, baik di kampus maupun di institusi tempat kerja selepas kuliah.
Sedihnya, sebagian akademisi di negeri ini enggan membicarakan persoalan ini karena menyangkut diri dan karier mereka. Isu ini seakan menjadi sesuatu yang tabu untuk didiskusikan. Ormas-ormas yang menjadi penggawa moralitas bangsa, seperti Muhammadiyah dan NU, juga belum bersuara. Padahal, kedua ormas itu memiliki ratusan perguruan tinggi di Indonesia.
Persoalan moralitas publikasi ini tidak hanya menyangkut produk pendidikan kita saat ini, tetapi juga masa depan bangsa. Pelanggaran moralitas akademik di berbagai institusi pendidikan dan riset di Tanah Air sudah massif dan sistemik. Bisa saja hal ini disebut sesuatu yang endemik. Ironisnya, seperti disebut Purwanto, ”sebagian besar mereka… tidak pernah percaya terdapat krisis moralitas dan etika ilmiah di perguruan tinggi itu”.
Secara khusus, pelanggaran moralitas akademik dalam publikasi ilmiah itu semakin marak ketika ada tuntutan kepada para akademisi, terutama dosen dan periset, untuk menerbitkan karya-karya mereka dalam jurnal internasional yang dimulai tahun 2010-an. Sebelumnya, masyarakat akademik kita belum banyak mengenal penerbitan dengan indeksasi global, seperti Scopus dan Web of Science (WoS). Titik awal dari gairah berpikir dan bersaing secara global dalam karya ilmiah adalah tahun 2000-an ketika para ilmuwan kita mulai banyak yang menjadi dosen atau peneliti di luar negeri dan juga makin maraknya terbitan ilmuwan Indonesia di jurnal dan buku internasional.
Sebelum 2000-an, jurnal akademik ternama berskala nasional pun masih terbatas, di antaranya Studia Islamika, Prisma, dan Ulumul Qur’an. Ketika itu, orientasi publikasi ilmiah kita lebih banyak dalam bentuk buku, berskala nasional, dan tentunya berbahasa Indonesia. Masyarakat akademik kita belum banyak berpikir untuk berkompetisi ilmiah secara global dan bersaing dengan ilmuwan dari negara lain. Memang sudah ada jurnal ilmiah di berbagai perguruan tinggi, tetapi orientasinya masih lebih banyak bersifat lokal.
Penggalakan publikasi internasional terjadi tahun 2010-an ketika menyadari bahwa kita telah tertinggal jauh dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia (Wiryawan 2014), dan bahwa salah satu penentu peringkat universitas adalah jumlah publikasi internasional tersebut. Kebijakan ini lantas diadopsi oleh Kemendikbud, lembaga riset pemerintah, dan perguruan tinggi. Misalnya, persyaratan menjadi profesor, kenaikan pangkat, dan bahkan kelulusan pendidikan doktoral adalah publikasi internasional.
Belakangan ini kita terkena ekses negatif yang begitu banyak dari tuntutan publikasi internasional itu. Sebagian dari mereka yang belum siap lantas memilih jalan pintas dengan plagiasi atau terjebak pada jurnal-jurnal predator. Tuntutan publikasi internasional yang sangat tinggi itu menjadi kesempatan bagi jurnal-jurnal predator untuk hidup sebagai outlet bagi mereka yang tak mampu menerbitkan di jurnal internasional yang kredibel.
Beall’s List of Potential Predatory Journals and Publishers membuat daftar yang cukup panjang untuk jurnal dan penerbit yang terindikasi predator, di antaranya David Publishing. Sementara untuk daftar ”vanity press” atau penerbit ”internasional” yang tanpa kualitas kontrol dan tanpa review, dan karena itu harus dihindari, di antaranya adalah IGI Global, Lambert Academic Publishing, VDM Verlag Dr Muller, dan Scholars’ Press.
Persoalan terkait jurnal dan penerbit predator ini telah menjadi keprihatinan dan kajian serius di beberapa kampus karena fenomenanya cukup besar dan mengancam. Uli Kozok dari University of Hawa’i at Manoa menulis ”Predatory Publishing: A Case Story” (2017). Perpustakaan University of Pittsburg membuat petunjuk untuk mengenali jurnal-jurnal predator, salah satunya dalam artikel ”Illegitimate & Predatory Publishing: Case Study”. Scientometrics (Springer) pernah menerbitkan artikel berjudul ”Predatory publishing in Scopus: evidence on cross-country differences” (2021). Zulfan Tadjoeddin juga pernah menulis catatan yang menarik berjudul ”Jurnal Internasional Asal-asalan dan Nono Lee Affair” (2012).
Selain jurnal yang sangat kuat indikasinya sebagai jurnal predator atau abal-abal, ada juga penerbit dan jurnal yang disebut ”abu-abu”, tidak putih dan tidak hitam. Contoh yang paling ramai sekarang adalah jurnal-jurnal terbitan Multidisciplinary Digital Publishing Institute (MDPI). Beall“s List memasukkan MDPI dalam diskusi terpisah.
Ulasan yang paling meyakinkan terkait MDPI dibuat oleh Paolo Crosetto dalam artikel ”Is MDPI a predatory publisher?” (2021). Crosetto berkesimpulan bahwa metode yang dipakai MDPI lebih pas disebut sebagai ”aggressive rent extracting” (meminta secara agresif kepada penulis untuk membayar/menyewa penerbitan) daripada menyebutnya sebagai predator. Namun, Crosetto menambahkan, ”metode dan tingkat pertumbuhan MDPI saat ini sepertinya secara perlahan akan menggeser penerbit ini menjadi predator”.
Karena berbagai persoalan yang terkait penerbitan internasional ini, sebagian mereka yang apatis lantas meminta agar tuntutan ini dihapus saja. Tentu saja ini menjadi langkah mundur karena tujuan dari dorongan publikasi internasional adalah agar bangsa ini bisa berkontribusi dalam wacana akademik dunia, agar kita tak sekadar sebagai narasumber atau informan, agar kita tak melulu menjadi obyek kajian dan tak pernah menjadi subyek, bahkan untuk isu yang terkait diri kita sendiri.
Alasan lain dari tuntutan publikasi internasional adalah agar karya-karya dari ilmuwan Indonesia di-review oleh ilmuwan lain dibidangnya, diuji metode dan kebaruan (novelty) temuannya, dan dicek otentitas dan kontribusi keilmuannya. Jika pada akhirnya terjebak pada jurnal atau penerbit predator, tujuan itu semua menjadi tak tercapai. Alih-alih mendapatkan review yang teliti, penulis malah keluar uang banyak, tetapi tak memiliki dampak keilmuan. Menyimpanglah dari harapan kebijakan publikasi internasional.
Ahmad Najib Burhani
Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)