Masih tingginya tingkat pengangguran terbuka nasional menunjukkan beratnya pekerjaan rumah dan tantangan kita.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah angkatan kerja nasional kita per Agustus 2023 sebanyak 147,71 juta orang, meningkat 3,99 juta dibandingkan dengan Agustus 2022 (Kompas, 23/2/2024). Sementara angka pengangguran terbuka 5,32 persen, turun 0,54 persen dibandingkan dengan Agustus 2022. Meski tingkat pengangguran terbuka dua tahun terakhir terus menurun, angkanya masih sangat besar, yakni 7,8 juta orang.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) 5,32 persen saat ini juga masih jauh di atas target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, yakni 3,6-4,3 persen. Pemerintah menargetkan TPT turun menjadi 4,74 persen per Agustus 2024 dan 4,26 persen per Agustus 2025.
Tingginya TPT menunjukkan penciptaan lapangan kerja tak bisa mengimbangi laju pertumbuhan angkatan kerja (AK). Sulitnya menekan pengangguran juga terkait problem pemerataan kesempatan dan peningkatan kualitas pendidikan.
Percepatan penurunan tingkat pengangguran hanya bisa dicapai, salah satunya, melalui akselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dalam hal ini, selain meningkatkan kualitas AK (melalui pendidikan dan pelatihan), mendorong sektor-sektor ekonomi dengan efek pengganda besar juga penting untuk perluasan lapangan kerja, khususnya di sektor formal.
Penciptaan lapangan kerja merupakan isu krusial karena penduduk usia kerja menyumbang 69,3 persen populasi. Ini kekuatan penting bonus demografi untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Ironisnya, AK kita didominasi pekerja tak terampil, dengan pendidikan SD ke bawah 39,76 persen, SMP 18,24 persen, dan SMA 19,18 persen. Kondisi ini menyebabkan mereka tak siap masuk pasar kerja dengan upah layak sehingga sebagian besar terserap di sektor informal (59,11 persen).
Tantangan yang kita hadapi dalam penciptaan lapangan kerja antara lain terus menurunnya kemampuan perekonomian dalam menciptakan lapangan kerja baru karena investasi yang ada lebih banyak padat modal. Problem lain, ada mismatch antara lulusan dan kebutuhan industri. Upaya menjembatani melalui sekolah kejuruan dan vokasi guna mencetak lulusan siap kerja justru ikut menyumbang angka pengangguran karena kompetensi lulusan belum sesuai harapan.
Mismatch juga terjadi akibat digitalisasi, yang mendorong perubahan permintaan keterampilan kerja, pola hubungan kerja, serta waktu dan tempat bekerja yang kian fleksibel.
Kita juga masih menghadapi tantangan baru ketenagakerjaan yang berkaitan dengan AK generasi milenial dan Z yang membawa nilai-nilai budaya kerja baru. Belum lagi dampak kecerdasan buatan, robot, dan otomatisasi yang juga mengancam lapangan kerja meskipun pada saat yang sama muncul peluang lapangan kerja baru, seperti gig economy.
Bagaimana kita mampu membaca dan beradaptasi dengan kebutuhan dan tuntutan baru ini akan menjadi kunci dalam menjawab pekerjaan rumah mengatasi pengangguran. Mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang inklusif menjadi penting.