Sarjana ”Angkatan Covid-19” Masih Sulit Mendapat Pekerjaan
Kendati sudah lewat empat tahun lalu, para sarjana yang lulus kala pandemi 2020 masih sulit cari kerja.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para sarjana lulusan di tahun mulai merebaknya pandemi Covid-19, yakni 2020, sampai saat ini masih banyak yang kesulitan mencari pekerjaan. Pada saat itu, banyak perusahaan tidak membuka lowongan kerja, sedangkan saat ini ketika perekonomian perlahan pulih, mereka telah kehilangan waktu dan perusahaan lebih memilih calon pekerja yang lebih muda.
Sasi (25), salah satu warga Tangerang Selatan, bercerita, saat ia lulus kuliah pada 2020 dari fakultas psikologi di salah universitas swasta di Jakarta, Indonesia terhantam pandemi. Saat itu, minim sekali perusahaan yang membuka lowongan kerja sebagai tenaga pengelola sumber daya manusia perusahaan. Akhirnya, dia selama tiga tahun terakhir hanya bekerja paruh waktu di beberapa perusahaan tanpa pernah diangkat menjadi karyawan tetap.
Namun, saat ini, saat hendak melamar pekerjaan jadi karyawan tetap, berbagai perusahaan menolaknya. Salah satu alasannya yang kerap mengemuka adalah Sasi menghabiskan waktu terlalu lama tanpa pengalaman kerja yang berarti.
Perusahaan akhirnya lebih memilih calon karyawan yang lebih muda 2-3 tahun darinya yang lulus kuliah tahun 2022 atau 2023. Alasannya, mereka lebih muda sehingga bisa loyal ke perusahaan lebih lama.
”Ini tidak adil buat angkatan pandemi seperti saya. Jadi mencari pekerjaan ini sulit sekali,” ujar Sasi dihubungi, Jumat (23/2/2024).
Kini, di tengah-tengah pekerjaannya yang dibayar paruh waktu, Sasi juga mencoba berjualan cemilan kepada teman-temannya via daring. Dia masih berharap memiliki status menjadi karyawan tetap di sebuah perusahaan. Sebab, dengan memiliki status karyawan tetap, dia bisa memperoleh tunjangan dan remunerasi yang stabil.
Hal senada juga dialami Agung (26). Setelah lulus sarjana menjadi sarjana komunikasi di 2020 pada salah satu universitas swasta di Tangerang Selatan, dia sulit mendapat pekerjaan tetap. Saat itu, alih-alih membuka lowongan kerja, banyak perusahaan malah mengurangi karyawannya. Agung akhirnya lebih banyak sibuk membantu usaha katering ibunya.
”Dulu ingin bekerja di industri media. Tapi pas habis lulus, malah tidak ada lowongannya,” ujar Agung.
Saat ini, setelah empat tahun berlalu dari pandemi, Agung sulit mencari pekerjaan sebagai karyawan tetap. Kini Agung bekerja sambilan menjadi staf penjualan rumah sambil membantu usaha katering ibunya.
Sasi dan Agung adalah salah sedikit dari setengah penggangguran di Indonesia. Data terbaru Badan Pusat Statistik pada Agustus 2023, sekitar 9,34 juta orang masuk dalam kategori setengah pengangguran. Setengah pengangguran adalah mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu dan masih mencari atau menerima pekerjaan tambahan.
Jumlah setengah pengangguran itu mencapai 6,32 persen dari total angkatan kerja di Indonesia yang mencapai 139,85 juta orang.
Bonus demografi
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, persoalan pengangguran dan serapan tenaga adalah pekerjaan rumah yang mesti segera diselesaikan. Saat ini Indonesia berada dalam fase bonus demografi di mana jumlah penduduk usia produktif lebih besar ketimbang yang tidak produktif. Berlebihnya jumlah tenaga produktif ini semestinya bisa dioptimalkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi nasional.
”Perlu dioptimalkan bahwa bonus demografi ini bisa jadi bonus ekonomi,” ujar Shinta saat dihubungi, Jumat.
Menurut dia, ada tiga kunci penyerapan tenaga kerja dan pemanfaatan bonus demografi untuk pertumbuhan. Pertama, percepatan peningkatan kualitas sumber daya manusia di pasar tenaga kerja Indonesia. Tanpa peningkatan kualitas dan keterampilan, bonus demografi ini malah berbalik menjadi beban.
Kualitas tenaga kerja ke depan mesti mampu mengadopsi teknologi karena tren investasi ke depan akan bergerak ke padat teknologi bukan padat karya. Karena struktur pasar tenaga kerja saat ini didominasi unskilled labour dan uneducated workers, ini harus diubah agar menjadi semi-skilled workers.
Perlu dioptimalkan bahwa bonus demografi ini bisa jadi bonus ekonomi.
Poin kedua adalah penguatan ekosistem usaha mikro, kecil, dan menengah. Kendati bukan perusahaan skala besar, kata Shinta, UMKM adalah pemberi kerja terbesar di Indonesia yang menyerap hingga lebih dari 90 persen tenaga kerja.
”Bila ekosistem ini dibenahi, UMKM bisa meningkatkan skala usahanya dari usaha informal menjadi formal. Dengan demikian, itu bisa meningkatkan serapan tenaga kerjanya dan mendukung pemanfaatan bonus demografi untuk pertumbuhan ekonomi,” ujar Shinta.
Poin ketiga, menurut Shina, adalah penguatan kewirausahaan. Di tengah digitalisasi, adopsi teknologi bisa membuka lapangan kerja baru sehingga alih-alih mengandalkan lapangan kerja, masyarakat justru bisa ikut membuka lapangan kerja.
Shinta menjelaskan, meskipun pelaku usaha berupaya mendukung percepatan perubahan dalam tiga hal tersebut dan membantu penyerapan tenaga kerja di sektor riil, pihaknya tidak bisa membantu menciptakan perubahan yang signifikan bila ekosistem regulasi dari pemerintah tidak berubah.
Sebagai contoh, untuk akselerasi perubahan kualitas skills pekerja, tentu harus didukung oleh perubahan kualitas pendidikan, tidak bisa diserahkan kepada pelaku usaha melalui pelatihan di tempat kerja.
”Jadi perlu banyak reformasi struktural dan perubahan kebijakan sektoral dari ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, ekosistem usaha. Ini untuk mengubah bonus demografi menjadi bonus pertumbuhan ekonomi riil,” ujar Shinta.