Transhumanisme Guru
Alih-alih guru fokus pada pembelajaran, kini mereka sibuk merekam apa pun demi rezim administrasi digital.
Ketika Platform Merdeka Mengajar diluncurkan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyatakan bahwa mereka berhasil memangkas sosialisasi Kurikulum Merdeka. Mereka juga menyatakan berhasil memperluas pelatihan guru dan membangun platform raksasa untuk saling berbagi contoh implementasi kurikulum dari sekolah-sekolah dan guru dengan kecepatan yang tiada tanding.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menyebut Komisi X DPR mengapresiasi implementasi Kurikulum Merdeka (IKM).
Hingga Mei 2023, Kurikulum Merdeka telah digunakan 256.568 sekolah atau 80 persen sekolah di Indonesia dan lebih dari 2 juta guru telah mengimplementasikan kurikulum tersebut. Hal ini dihitung dari jumlah traffic pengguna Platform Merdeka Mengajar (PMM). Seperti install, login, menonton pelatihan, dan mengisi modul.
Kementerian kebenaran
Pada semua kanal media sosial, para guru membagikan praktik baik mereka, sebagai bukti bahwa IKM telah berhasil mereka terapkan. Mereka membagikan foto dan video di Instagram dan Tiktok, menari bernyanyi, dan memuji-muji kehebatan Kurikulum Merdeka dalam pembelajarannya.
Melalui bukti berbasiskan dokumen dan video, para siswa mereka dengan riang gembira mengerjakan semua instruksi pembelajaran yang didominasi oleh model Pembelajaran Berbasiskan Proyek (Project Based Learning).
Alih-alih guru fokus pada pembelajaran, kini mereka sibuk merekam apa pun demi rezim administrasi digital.
Kelihatannya, IKM melalui PMM telah mengubah pendidikan dan pengajaran ke arah yang lebih baik, penuh sukacita, menyenangkan, dan menunjukkan betapa guru-guru sangat antusias segera mengimplementasikannya. Tak jarang guru-guru penggerak dari daerah terpencil memberikan pernyataan positif di kanal-kanal Kurikulum Merdeka yang menunjukkan betapa berhasilnya kurikulum ini mengubah cara mengajar mereka.
Akhir tahun 2023, inovasi ini terus berlangsung ketika e-kinerja yang tadinya berada pada platform dari kementerian yang berbeda diintegrasikan ke dalam PMM. Dalam sosialisasinya, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbudristek melalui akun Instagram pribadi menjanjikan penambahan gaji guru jika mereka berhasil menghitung dan membuat strategi yang efektif dalam mengumpulkan poin agar dua pulau terlampaui; tunjangan kinerja dan sertifikasi guru memenuhi poin.
Sebagai respons, banjirlah diklat dan seminar guru. Namun, PMM berhasil memvalidasi setiap penyelenggara peningkatan kompetensi sehingga semua jenis pelatihan guru terparkir dalam satu aplikasi. Kini, guru bisa memilih jenis pelatihan kompetensi yang mereka inginkan. Kemudian tercapailah Merdeka Mengajar. Inilah separuh cerita di permukaan. Namun, kisah sebenarnya bisa berbeda lagi,
Distopia guru
Hasil PISA 2022 telah mematahkan semua jargon Merdeka Belajar bahwa Kurikulum Merdeka adalah solusi bagi peningkatan literasi dan numerasi anak Indonesia. Tidak ada hubungan sebab akibat (kausalitas) antara Kurikulum Merdeka dan peningkatan literasi numerasi. Kemudian, banyak pihak juga mempertanyakan, apa urgensi IKM yang dikebut melalui satu aplikasi?
Untuk meyakinkan bahwa penggunaan teknologi dalam IKM sudah di arah yang benar, Nadiem Makarim mengundang konsultan ”dadakan” seperti Oliver Wyman Consulting untuk membela kebijakannya. Lembaga konsultan tersebut membuat laporan yang berjudul ”Technology Driven Education Reform in Indonesia (2023)” yang berisi pernyataan bahwa penggunaan teknologi untuk IKM sudah benar dan dapat dibenarkan.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa terjadi pengurangan beban administrasi guru, tetapi yang diukur adalah aplikasi transaksional dana bantuan operasional satuan pendidikan (BOSP) seperti ARKAS dan SIPlah.
Sementara, PMM dipuji melalui jumlah login yang meroket per 22 Juli 2022, tetapi tidak ditanyakan apakah itu menambah beban kerja guru atau tidak?
Survei internal Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) pada 26 Desember 2023 sampai 26 Januari 2024 di 26 provinsi dengan jumlah 207 responden guru justru memperlihatkan data sebaliknya. Sebanyak 78,3 persen guru mengaku PMM tidak meringankan pekerjaan mereka. Pada survei serupa, hanya 16,6 persen guru menjawab bahwa PMM berdampak pada berkurangnya beban administrasi, sedangkan 83,4 persen atau sebagian besar guru merasa PMM menambah beban mereka (Data primer P2G, 2024).
Kelebihan PMM yang mengintegrasikan semua layanan juga menjadi kekurangannya. Sebab, menjadikan aplikasi ini seperti Panopticon, menara pengawas tahanan berbentuk silinder.
Jarang diungkapkan bahwa popularitas PMM dalam Kurikulum Merdeka juga dilahirkan dari keberhasilan menciptakan kepanikan di antara guru akibat kurangnya informasi.
Digital Panopticon memiliki tiga ciri, pertama, bisa melihat semuanya (silinder). Kedua, bisa terus-menerus melihat obyek (tahanan). Ketiga, membuat tahanan merasa diawasi, kemudian akan mendisiplinkan dirinya sendiri.
Para guru merasakan ketiganya ketika berhadapan dengan PMM. Beban mental ini jauh lebih memenjarakan. Sebab, PMM selalu merongrong, melalui notifikasi, iklan, imbauan kementerian, dinas, dan kepala sekolah.
Dalam berkegiatan di dunia PMM, setiap satu tahap pelatihan mensyaratkan guru untuk membagikan kegiatan tersebut di luar aplikasi ke kanal media sosial pribadi guru itu sendiri. Bahkan beberapa pelatihan mensyaratkan komentar dari guru lain untuk dilampirkan sebagai bukti validasi lulus pelatihan tersebut dalam PMM.
Inilah yang membuat guru terpenjara dalam labirin PMM tidak berkesudahan. Di luar aplikasi, grup-grup guru dipenuhi permohonan validasi sesama guru untuk menyelesaikan tahap pelatihan PMM.
Tentu saja, pujian tinggi perlu diberikan kepada pembuat aplikasi yang berhasil meningkatkan traffic penggunaan. Traffic ini ditopang oleh dunia simulasi dalam PMM yang tidak pernah bisa diselesaikan guru, dan esok mereka akan kembali pada aplikasi seperti pegawai tambang memasuki goa tanpa ujung.
Kita sering menyaksikan bagaimana postingan guru soal PMM terformat seragam karena susunan kalimatnya sudah dipersiapkan oleh aplikasi. Oleh sebab itu, klaim konsultan Wyman bahwa penggunaan teknologi era Merdeka Belajar bersifat organik perlu dipertimbangkan sebagai kebohongan publik yang tidak mewakili keresahan, kecemasan, dan penderitaan guru.
Realitas ini tidak mampu diterima karena merusak semua fantasi yang telah dibentuk oleh kampanye dan advokasi kebijakan pendidikan Merdeka Belajar melalui influencer-influencer pendidikan yang sibuk mengklarifikasi dan mengidealisasi Kurikulum Merdeka.
Yang terjadi malah menambah kebingungan. Jarang diungkapkan bahwa popularitas PMM dalam Kurikulum Merdeka juga dilahirkan dari keberhasilan menciptakan kepanikan di antara guru akibat kurangnya informasi.
Budak data
Dalam PMM, guru tidak diperlakukan seperti manusia sebagai subyek yang bebas merdeka. Kedirian individu guru dalam PMM lebur menjadi satuan data. Sebab, aplikasi terus menuntut reproduksi konten pembelajaran berbasiskan bukti. Kisah guru menyelesaikan administrasi digital hingga larut malam bukan isapan jempol semata.
Presiden Joko Widodo pada Hari Guru, 25 November 2023, mengonfirmasi fakta tersebut. Penyebabnya, administrasi digital guru tiada batasnya.
Alih-alih guru fokus pada pembelajaran, kini mereka sibuk merekam apa pun demi rezim administrasi digital. Hal ini juga akan menyebabkan kelemahan berpikir guru. ”Cogito (aku berpikir), diganti Recordo, Ergo sum!” (aku rekam, maka aku ada). Tidak ada guru yang memiliki waktu berpikir karena fisik, mental, dan emosional mereka sudah hancur (burn out).
Sebenarnya tidak ada pilihan ”bebas” bagi guru dalam rezim perbudakan aplikasi.
Bahkan keberadaan guru (aku ada) dalam rezim aplikasi ditentukan sebanyak apa rekaman berbasiskan bukti bisa mereka lampirkan. Ini membenarkan opini Doni Koesoema (Kompas, 22/1/2024) yang menyebut kondisi ini sebagai ”tiran aplikasi”. Namun, kondisi sebenarnya jauh lebih parah.
Dalam konteks yang lebih luas, tiran aplikasi ini berasal dari feodalisme teknologi yang melahirkan perbudakan digital. Menurut Yanis Varoufakis dalam buku Technofeudalism: what Killed Capitalism (2023), aplikasi semacam ini tidak sedikit pun memberi daya tawar bagi kita (guru) sebagai pengguna aplikasi untuk menolak, mengkritik, dan mengoreksi.
Dalam kacamata feodalisme teknologi, guru adalah budak data dan aplikasi adalah sistem feodal yang memperbudaknya. Para guru tak akan pernah mendapatkan upah dari reproduksi konten. Sebab, mereka terikat sistem sewa mirip era feodal sebagai pemakai aplikasi.
Meskipun guru tidak membayar aplikasi, sebenarnya sewa aplikasi ”data awan” PMM dibayar oleh pemerintah yang dipotong dari anggaran pendidikan yang seharusnya dipakai untuk menyejahterakan guru. Survei P2G mengonfirmasi, selama bekerja untuk aplikasi kementerian, sebagian besar guru memakai listrik, pulsa, dan Wi-Fi pribadi di rumah (Data primer P2G, 2024).
Baca juga: Karut-marut Pengelolaan Guru yang Belum Juga Berakhir
Sebenarnya tidak ada pilihan ”bebas” bagi guru dalam rezim perbudakan aplikasi. Yang terjadi justru guru menjadi budak data, yang mengerjakan pekerjaan aplikasi dan melayani algoritmanya. Inilah proses dehumanisasi sekaligus transhumanisme guru yang mengubah guru menjadi bagian paling bawah dari sistem perbudakan data.
Seperti petani era pra-industri yang mengabdi pada kastil aplikasi. Inilah nasib orang-orang yang akan mendidik anak-anak kita dan menentukan arah masa depan pendidikan Indonesia.
Iman Zanatul Haeri Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)