Lonjakan harga beras ke rekor tertinggi terjadi sebulan terakhir. Di sejumlah daerah, beras premium dan medium raib.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kenaikan harga beras jauh di atas harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah terjadi seiring mundurnya masa panen dan berkurangnya pasokan dari sentra produksi (Kompas, 17/2/2024). Sebelumnya, pemerintah dalam berbagai kesempatan juga melontarkan sinyal ancaman inflasi pangan. Lonjakan harga beras berpotensi mendongkrak inflasi yang berarti memukul daya beli masyarakat.
Untuk meredam gejolak harga, pemerintah terus melakukan operasi pasar, mengguyur pasar dengan beras Bulog. Bantuan pangan melalui penyaluran beras bantuan 10 kilogram kepada 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM) pun dilanjutkan hingga Juni 2024. Setelah Juni 2024, pemerintah menyatakan akan melihat kemampuan APBN.
Bulog menjamin stok beras sebanyak 1,180 juta ton aman hingga Ramadhan dan Lebaran. Stok ini ditopang beras impor karena pengadaan dalam negeri terkendala produksi yang turun dan tingginya harga gabah di tingkat petani.
Defisit produksi dalam negeri terjadi delapan bulan terakhir, tetapi Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi puncak panen dan surplus beras akan terjadi Maret 2024. Ironisnya, menjelang panen raya Maret, pemerintah justru berencana mengimpor beras 1 juta ton.
Jumlah ini merupakan gabungan sisa kuota impor 2023 dan sebagian dari kuota impor 2024 (2 juta ton). Memenuhi kebutuhan dalam negeri dan cadangan beras memang penting, tetapi pemerintah juga harus memastikan penggelontoran beras impor tak menekan harga gabah kering panen petani.
Meski mengalami surplus secara sporadis, produksi beras nasional relatif stagnan, bahkan turun rata-rata 1 persen per tahun dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal, konsumsi terus meningkat, sejalan dengan pertumbuhan penduduk.
Selama sepuluh tahun terakhir, tren impor beras juga cenderung terus meningkat, dengan volume impor pertama kali menembus satu juta ton pada 2016. Impor 3,06 juta ton tahun lalu adalah yang tertinggi dalam 25 tahun terakhir.
Kita memahami, dengan defisit produksi beras dalam negeri yang masih harus ditutup dengan impor, stabilisasi harga dan pasokan beras tak bisa mengabaikan situasi global. Kenaikan harga beras dewasa ini juga merupakan fenomena global.
Bank Dunia memperkirakan kenaikan harga beras akibat El Nino dan kebijakan larangan ekspor negara produsen masih akan berlanjut pada tahun 2024 dengan harga diperkirakan belum akan turun hingga 2025. Situasi pasar beras global bakal tetap ketat. Stok beras dunia juga kian menipis tiga tahun terakhir. Semua ini diprediksi akan memicu inflasi harga beras global yang berkepanjangan dan cukup tajam tahun ini.
Penurunan produksi beras diprediksi terjadi di dua eksportir utama beras dunia, yakni India dan Thailand. Lonjakan harga akibat larangan ekspor beras India tahun lalu bisa sedikit diredam oleh dibukanya lebih lebar keran ekspor Vietnam.
Namun, hal itu saja tak mampu menutup penurunan ekspor India. Kita harus bisa mengantisipasi dan memitigasi dampak semua itu agar tak memunculkan guncangan di dalam negeri.