Mengenang Kota Rafah di Jalur Gaza
Hanya akal sehat para pemimpin Israel, khususnya Netanyahu, yang bisa menghentikan atau membatalkan serangan ke Rafah.
Kota Rafah yang terletak di ujung selatan wilayah Jalur Gaza adalah salah satu dari tiga kota besar di Jalur Gaza. Dua kota besar lainnya di Jalur Gaza adalah Gaza City di Jalur Gaza utara dan kota Khan Younis di Jalur Gaza bagian tengah.
Kota Rafah yang bertepi ke Laut Mediterania adalah ibu kota Provinsi Rafah di Jalur Gaza selatan. Menurut badan statistik Palestina tahun 2021, penduduk kota Rafah berjumlah 191.000 jiwa, sedangkan penduduk Provinsi Rafah sebanyak 260.000 jiwa.
Kota Rafah pekan ini menjadi sorotan media internasional, menyusul tekad Israel untuk melancarkan serangan darat besar-besaran ke kota besar di Jalur Gaza selatan tersebut. Israel sudah memulai serangan udara ke kota Rafah sejak pekan lalu. Serangan udara Israel ke kota Rafah, Senin (12/2/2024), telah menawaskan 67 warga Palestina.
Baca juga: Gerbang Rafah, Jalur Kehidupan Warga Gaza
Israel juga membebaskan dua sanderanya dari tangan kelompok Hamas di kota Rafah, Senin malam itu, dalam operasi khusus pasukan komando Israel. Israel meyakini, masih banyak sandera Israel yang disekap di kota Rafah dan sekitarnya.
Diperkirakan masih ada 134 sandera Israel yang ditawan Hamas dan faksi-faksi Palestina lain di Jalur Gaza. Perundingan tidak langsung antara Hamas dan Israel dengan mediator Qatar, Mesir, dan Perancis masih gagal mencapai kesepakatan tentang pembebasan sandera Israel dengan imbalan gencatan senjata permanen di Jalur Gaza.
Masyarakat internasional menyerukan agar Israel mengurungkan niatnya menyerang kota Rafah, mengingat kota tersebut menjadi tempat perlindungan para pengungsi warga Jalur Gaza yang mengungsi dari Jalur Gaza utara dan tengah.
Diperkirakan ada sekitar 1,5 juta pengungsi warga Gaza yang kini mencari perlindungan di kota Rafah dan sekitarnya. Sebagian besar penduduk Jalur Gaza yang diperkirakan berjumlah sekitar 2,3 juta jiwa kini mengungsi di kota Rafah dan sekitarnya atau di wilayah Jalur Gaza selatan.
Baca juga: Serangan ke Rafah, Depopulasi Gaza
Warga Jalur Gaza berbondong-bondong mengungsi ke kota Rafah dan sekitarnya karena memang Israel menginstruksikan warga Jalur Gaza utara dan tengah mengungsi ke Jalur Gaza selatan ketika Israel mau melakukan serangan darat ke Gaza City dan kota Khan Younis.
Jika Israel bersikeras tetap menggempur kota Rafah dan sekitarnya dengan serangan darat, dipastikan jumlah korban tewas ataupun luka-luka dari warga Palestina akan melonjak signifikan. Saat ini saja, setelah perang Gaza masuk bulan kelima, jumlah korban tewas dari warga Palestina sudah lebih dari 28.000 jiwa.
Presiden AS Joe Biden memberi peringatan keras kepada PM Israel Benjamin Netanyahu jika Netanyahu bersikeras melakukan serangan darat ke kota Rafah dan sekitarnya tanpa ada perencanaan akurat untuk melindungi warga sipil di kota tersebut. Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa Josep Borrell juga memberi peringatan, jika Israel menyerang kota Rafah, akan muncul bencana kemanusiaan.
Baca juga: Israel Terus Ditekan untuk Hentikan Serangan di Rafah
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hari Rabu (14/2/2024), memperingatkan Israel bahwa serangan darat ke kota Rafah akan membawa bencana kemanusiaan yang tidak terlukiskan. Perancis, Inggris, Jerman, Qatar, Jordania, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi juga memberi peringatan keras kepada Israel apabila Israel bersikeras menyerang kota Rafah.
Saat masih bertugas sebagai wartawan Kompas di Kairo, Mesir, saya beberapa kali mengunjungi kota Rafah ketika masuk Jalur Gaza. Siapa pun yang berkunjung ke Jalur Gaza dari Mesir pasti melewati kota Rafah karena kota itu terletak di perbatasan Jalur Gaza dan Mesir. Pintu gerbang masuk-keluar antara Jalur Gaza dan Mesir juga disebut pintu gerbang Rafah.
Kota Rafah memiliki nilai sangat strategis karena letaknya di persimpangan antara Mesir dan Jalur Gaza sehingga menjadi pelintasan orang ataupun barang dari Mesir ke Jalur Gaza dan sebaliknya.
Kota Rafah terbilang kota makmur di Jalur Gaza berkat aktivitas perdagangan antara Mesir dan Jalur Gaza yang melintasi kota tersebut. Sebagian besar penduduk kota Rafah bekerja sebagai pedagang berkat peluang besar bagi penduduknya di sektor perdagangan karena letak kota itu di perbatasan dengan Mesir. Banyak pula penduduk kota Rafah bekerja sebagai nelayan dan petani.
Pada tahun 1990-an, pemimpin Palestina Yasser Arafat membangun bandar udara Gaza di dekat kota Rafah. Dengan pembangunan bandar udara di dekat kota tersebut, Arafat merancang kota Rafah sebagai pusat perdagangan.
Pada tahun 1990-an, pemimpin Palestina Yasser Arafat membangun bandar udara Gaza di dekat kota Rafah. Arafat merancang kota Rafah sebagai pusat perdagangan.
Namun, Israel menghancurkan bandar udara Gaza itu menyusul langkah Arafat mengobarkan intifadah pada tahun 2000 setelah gagalnya perundingan Palestina-Israel di Camp David untuk mewujudkan negara Palestina,
Baca juga: Perjuangan Palestina dari Perang 1948 hingga 2021
Kota Rafah terbagi dua, yaitu Rafah bagian Mesir dan Rafah bagian Palestina. Terbaginya kota Rafah tersebut terjadi pascaperjanjian damai antara Mesir dan Israel pada tahun 1979 di Camp David, AS.
Kota Rafah Mesir dan kota Rafah Palestina pada tahun 2000-an dihubungkan oleh banyak terowongan rahasia untuk menyelundupkan barang dari Mesir ke Jalur Gaza dan sebaliknya. Bahkan, dicurigai, Hamas menggunakan terowongan rahasia bawah tanah itu untuk menyelundupkan senjata dari Mesir dan negara lain ke Jalur Gaza.
Pemerintah Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi, setelah berkuasa tahun 2014, menghancurkan sebagian besar terowongan rahasia itu karena terowongan-terowongan itu dianggap mengancam keamanan Mesir.
Kini, kota Rafah tinggal menunggu waktu serangan besar Israel dari darat, udara, dan laut yang setiap saat akan terjadi. Kota Rafah akan menyusul nasib seperti dua kota besar lain di Jalur Gaza, yaitu Gaza City dan Khan Younis, yang hancur lebur akibat serangan brutal Israel. Hanya akal sehat para pemimpin Israel, khususnya PM Netanyahu, yang bisa menghentikan atau membatalkan serangan besar Israel itu.
Musthafa Abd Rahman, wartawan Kompas 1991-2022