Bagaimana kabar anak kita dan anak-anak lain di sekitar kita? Apakah kebutuhan psikologi dasar mereka telah terpenuhi?
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Mungkin banyak emosi bergejolak saat ini ketika kita menjadi saksi sejarah ingar-bingar pencalonan presiden dan wakil presiden di Pemilihan Umum 2024. Sekadar mengingatkan, penelitian di Amerika Serikat menunjukkan, situasi politik dapat menjadi sumber stres yang secara serius memengaruhi kesehatan mental warga. Dalam hemat saya, hal yang sama juga dapat berlaku di Indonesia.
Meski demikian, mari kita sejenak melupakan keramaian perdebatan politik nasional, dan kembali memberikan perhatian pada lingkungan terdekat masing-masing. Belum lama ini kita mengikuti berita mengenai ayah yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada istrinya dan membunuh empat anaknya. Lalu, ayah yang membanting anaknya hingga mati. Tak disangka, muncul lagi berita mengenai anak yang meninggal karena ditenggelamkan oleh pacar ibunya.
Yang diberitakan tampaknya sekadar puncak fenomena gunung es di lingkungan kita. Artinya, jauh lebih banyak lagi terjadi perlakuan salah pada anak dalam berbagai bentuknya. Maka, kita perlu berpaling ke lingkungan kecil masing-masing dan bertanya: Apa yang terjadi pada anak saya? Pada keponakan, anak tetangga, dan anak-anak lainnya? Apa yang telah dilakukan oleh para orang dewasa kepada mereka? Apakah mereka baik-baik saja?
Kekerasan psikis
Kekerasan fisik adalah yang paling mudah terlihat, apalagi bila berdampak fatal seperti luka serius, kecacatan, hingga kematian. Meski demikian, kekerasan jenis apa pun juga memiliki dampak psikisnya. Sementara itu, kekerasan yang nuansa utamanya bersifat psikis mungkin banyak dilakukan, tetapi dianggap umum atau tidak dipahami sebagai bentuk kekerasan.
Hart dkk (2022) meninjau penelitian-penelitian terdahulu mengenai kekerasan psikis pada anak. Yang dimaksud adalah pola berulang atau insiden ekstrem, yang menghalangi pemenuhan psikologis dasar anak dan memberi pesan bahwa anak tidak berguna dan tidak dicintai.
Apa saja kebutuhan psikologis dasar anak? Utamanya adalah untuk merasa aman, dapat bersosialisasi, memperoleh dukungan emosional dan sosial, disayangi, serta mampu mengembangkan kognisi atau kemampuan berpikirnya.
Beberapa bentuk perlakuan salah secara psikologis, antara lain, adalah menunjukkan penolakan dan merendahkan, termasuk perilaku menghukum dan mempermalukan, apalagi di depan umum. Yang utama adalah adanya pesan yang disampaikan pada anak, misalnya bahwa ia ”kotor, patut dihukum, menjijikkan, pantas mengerjakan semua tugas kotor di rumah, serta tidak perlu diberi makan.”
Perilaku yang lain adalah mengancam, menakut-nakuti, atau meneror. Tidak jarang, orang dewasa membuat aturan atau tuntutan yang tidak realistis dan anak ditempatkan dalam situasi menakutkan atau berbahaya, atau diancam akan ditinggalkan atau dihukum. Kekerasan orang dewasa pada orang-orang yang disayangi anak dan atau binatang peliharaannya juga masuk di sini.
Ada pula perilaku secara sengaja tidak memberikan pemenuhan kebutuhan dasar anak. Misalnya, tidak memberi anak makan, minum, melarangnya ke kamar mandi, melarangnya tidur atau beristirahat, atau mengurungnya di ruang gelap tanpa udara cukup. Masuk pula di sini ketika orang dewasa mengisolasi anak atau tidak membolehkannya bergaul dengan orang-orang lain.
Hal lain adalah eksploitasi atau cara-cara orang dewasa mengorupsi anak sehingga anak mengembangkan sikap dan perilaku yang tidak tepat. Misalnya, memaksa anak melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum, merugikan orang lain, juga merugikan diri sendiri. Misalnya, memaksa atau memberi contoh penyalahgunaan obat, terlibat pornografi, melakukan tindakan berbahaya, mengeksploitasi anak secara seksual, atau melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain. Masuk di dalamnya, membiarkan anak ada dalam situasi berkekerasan yang membuat anak merasa tidak aman dan dapat meniru perilaku tersebut.
Memaksakan kehendak
Yang mungkin cukup sering terjadi adalah orang dewasa memaksakan pandangan, perasaan, dan pemikirannya pada anak. Anak tidak memiliki kesempatan untuk memahami perasaan dan pikirannya sendiri, menemukan minat dan bakatnya, dan mampu mengembangkan otonomi. Bila minat dan pemikiran anak berbeda, orangtua bersikap sedemikian rupa yang membuat anak merasa terancam, bersalah, dan khawatir akan ditolak. Masuk pula di sini, manipulasi dari orang dewasa, misalnya, bahwa ia menjadi sakit atau kacau gara-gara sikap anak.
Manusia memiliki kebutuhan psikologis dasar yang harus dipenuhi.
Memaksakan kehendak tampaknya cukup banyak dilakukan karena orang dewasa merasa lebih mengerti dan lebih tahu apa yang baik bagi anak. Mungkin ada cukup banyak orangtua yang berkata bahwa mereka sangat menyayangi anaknya, dan justru karena mereka tidak mau membiarkan anak masuk ke lubang kesalahan, mereka kemudian mengambilkan keputusan bagi anak.
Tentang ini, tampaknya perlu disinggung teori determinasi diri dari Ryan dan Deci (2017) yang didukung banyak penelitian, yang mengungkapkan bahwa manusia memiliki kebutuhan psikologis dasar yang harus dipenuhi. Tiga kebutuhan tersebut adalah berelasi, memiliki otonomi, dan mengembangkan kompetensi. Ketidakmampuan orangtua memberikan kesempatan bagi anak untuk menyuarakan perasaan dan pikirannya dapat berdampak pada pemenuhan tiga kebutuhan dasar tersebut. Kita pernah membahasnya dalam tulisan lain sebelumnya.
Hal yang tampaknya juga cukup sering dilakukan orang dewasa dan mungkin tidak disadari dampaknya adalah sikap yang tidak responsif kepada anak. Orangtua mendiamkan, tidak menunjukkan afeksi, menolak untuk berkomunikasi. Orang dewasa tidak peduli atau tidak sensitif dengan kesulitan yang dialami anak. Masuk pula di sini ketika orang dewasa juga tidak menyadari, atau tidak mengindahkan kebutuhan anak akan perawatan kesehatan.
Bagaimana kabar anak kita dan anak-anak lain di sekitar kita? Apakah mereka baik-baik saja? Bila sebagai orang dewasa ternyata kita masih melakukan hal-hal yang salah pada anak, apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaikinya?
Elizabeth Kristi Poerwandari, Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia