Tengkes dan Obsesi Indonesia Emas 2045
Masalah gizi, termasuk tengkes, harus dijadikan sebagai arus utama pembangunan. Ini adalah soal masa depan bangsa.
Pada suatu pagi, tahun 2016, ketika saya memasuki ruang tempat penyelenggaraan seminar gizi, salah seorang yang duduk di kursi depan menghampiri dan menyalami saya sambil berkata dengan lantang, ”Gara-gara kau, anggaranku disetujui DPR.” Dia seorang direktur di Kementerian Kesehatan yang saat itu menjadi narasumber seminar.
Lalu, dengan merasa heran, saya meminta penjelasannya perihal andil saya dalam persetujuan anggarannya itu. Menurut dia, ketika mereka membahas anggaran dengan DPR, hampir semua anggaran terkait dengan perbaikan gizi sudah dicoret sebelum dirapatkan.
”Kesal aku! Lalu, kubilang, bukan kami yang menyatakan itu penting, tetapi akademisi, sambil menunjukkan artikel opinimu di Kompas yang kebetulan fotonya masih saya simpan di HP saya. Akhirnya, mereka menyetujui semuanya,” katanya sambil tertawa.
Baca juga: Gizi Anak yang Memprihatinkan
Artikel yang dimaksud tersebut adalah tulisan saya di rubrik Opini Harian Kompas, bertajuk ”Revolusi Komitmen Pembangunan Gizi” (Kompas, 6 Februari 2016).
Sementara itu, pada berbagai kesempatan menjadi narasumber pada acara pertemuan lintas-sektor dalam upaya perbaikan gizi, termasuk percepatan penurunan tengkes, dengan pemangku kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten, sangat sedikit pemangku kebijakan yang menghadirinya. Mereka biasanya mengutus salah seorang anggota stafnya yang bukan pengambil kebijakan. Tampaknya, mereka merasa bahwa masalah gizi, termasuk tengkes pada anak balita, bukanlah masalah yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Kedua cerita di atas mengindikasikan bahwa persoalan gizi, secara khusus tengkes pada anak balita, bukanlah persoalan serius bagi sebagian penyelenggara negara dan pemerintahan di tataran implementasi. Padahal, berbagai program perbaikan gizi masyarakat sudah berulang kali dicanangkan.
Pada kurun waktu 10 tahun terakhir, misalnya, setidaknya ada empat program berskala nasional upaya perbaikan gizi, yaitu Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK) pada 2013. Inilah yang dikenal sebagai Gerakan 1.000 HPK. Sasarannya adalah perbaikan kesehatan dan gizi pada ibu hamil dan bayi.
Setahun kemudian, pada 2014, Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Seratus (100) Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Tengkes).
Pengalaman juga mengungkapkan bahwa secara rata-rata kita hanya bisa menurunkan prevalensi tengkes sebesar 2 persen per tahun.
Selanjutnya, pada 2017, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengeluarkan Program 100 Kabupaten Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil. Tak tanggung-tanggung, program ini langsung dikomandoi oleh wakil presiden. Targetnya, pada 2021, semua kabupaten/kota telah melaksanakan program prioritas intervensi anak tengkes.
Itu juga bermakna bahwa pada 2021, semua kabupaten/kota terbebas dari tengkes sebagai masalah kesehatan masyarakat (cut off point prevalensi tengkes pada anak balita sebagai masalah kesehatan masyarakat kurang dari 20 persen). Setali tiga uang dengan program sebelumnya, prevalensi tengkes masih enggan turun.
Seberkas sinar di ujung terowongan sempit terkait penurunan tengkes menampakkan cahayanya di pertengahan tahun 2021. Pada Agustus 2021, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Targetnya, prevalensi tengkes pada anak balita menjadi 14 persen (artinya, Indonesia dinyatakan terbebas dari tengkes sebagai masalah kesehatan masyarakat).
Baca juga: Tengkes, Antara Definisi dan Angka
Hal senada ditargetkan oleh pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (calon wakil presiden) yang akan mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden 2024. Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menargetkan prevalensi tengkes turun menjadi 11,0-12,5 persen pada 2029. Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD mematok prevalensi tengkes menjadi 9 persen pada kurun waktu yang sama. Hal senada dicanangkan oleh pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka melalui program EMAS (emak-emak dan anak-anak minum susu).
Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) mencatat prevalensi tengkes sebesar 24,4 persen (2021), turun sebesar 3,2 persen dari 27,6 persen (2019). Artinya, secara realistis prevalensi tengkes hanya bisa diturunkan menjadi kira-kira 21 persen pada 2024. Pengalaman juga mengungkapkan bahwa secara rata-rata kita hanya bisa menurunkan prevalensi tengkes sebesar 2 persen per tahun. Kembali, harapan menurunkan tengkes menjadi 14 persen pada 2024 tampaknya hanyalah angan-angan belaka.
Fakta ini mengindikasikan bahwa di tataran program dan kebijakan, upaya perbaikan gizi, terutama penurunan prevalensi kekurangan gizi, termasuk tengkes, sudah sangat lengkap dan baik. Yang bermasalah adalah pada tataran implementasinya.
Perbaikan ekonomi, lalu perbaikan gizi?
Secara umum, terkait dengan perbaikan gizi, pola pembangunan kita menganut prinsip pembangunan ekonomi mendahului perbaikan gizi. Artinya, dengan peningkatan ekonomi akan mendorong perbaikan gizi masyarakat.
Akan tetapi, pada pendekatan gizi dan pembangunan disebutkan bahwa pembangunan gizi haruslah mendahului peningkatan ekonomi. Secara sederhana, hal itu dapat digambarkan sebagai berikut. Perbaikan gizi, terutama pada anak-anak, akan meningkatkan kemampuan mereka untuk mencapai potensi kecerdasannya.
Dengan demikian, tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusianya meningkat. Hal itu akan diikuti oleh peningkatan daya saing dan produktivitasnya. Muaranya adalah peningkatan atau perbaikan indikator ekonomi.
Setiap program pembangunan harus mempertimbangkan kontribusinya pada perbaikan gizi masyarakat. Makna implisitnya adalah perbaikan gizi harus mendahului perbaikan ekonomi.
Oleh karena itu, Bank Dunia jauh-jauh hari telah mengingatkan negara-negara berkembang yang mengalami permasalahan gizi, termasuk Indonesia, untuk menempatkan gizi sebagai pusat pembangunan bangsa. Dalam laporannya yang bertajuk Repositioning Nutrition as Central to Development: A Strategy for Large Scale Action (2006), Bank Dunia mengingatkan kita agar pembangunan yang kita selenggarakan, pembangunan di bidang apa pun itu, berarus utama gizi (nutrition mainstreaming of development).
Artinya, setiap program pembangunan harus mempertimbangkan kontribusinya pada perbaikan gizi masyarakat. Makna implisitnya adalah perbaikan gizi harus mendahului perbaikan ekonomi.
Untuk itu, dibutuhkan komitmen yang tegas dan kuat penyelenggara negara, baik pihak eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Jadikan pembangunan gizi sebagai fondasi atau pusat pembangunan bangsa. Jadikan program perbaikan gizi, khususnya tengkes pada anak balita, salah satu aspek penilaian atau evaluasi kinerja penyelenggara negara, khususnya pihak eksekutif. Tentu saja, hal ini perlu dukungan pihak legislatif dan yudikatif.
Mahbub ul Hag, penggagas teori Pembangunan Manusia, mengatakan bahwa tujuan pembangunan adalah meluaskan pilihan rakyat (enlarging the people choices). Hal senada dinyatakan Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998. Sen menyatakan bahwa demokrasi adalah sarana yang melaluinya rakyat dapat mengekspresikan tuntutannya untuk kehidupan yang lebih baik.
Baca juga: Meretas Sukses Berantas Tengkes
Masih tingginya prevalensi tengkes pada anak balita adalah pertanda belum meluasnya pilihan rakyat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya akan pangan dan kesehatan. Itu adalah salah satu indikasi masyarakat yang belum terbangun (undeveloped people).
Indeks pembangunan manusia sebagai ukuran keberhasilan pembangunan manusia adalah agregat dari tiga dimensi dasar pembangunan, yaitu umur harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup yang layak. Untuk diketahui, faktor gizi berkontribusi besar bagi ketiga dimensi dasar tersebut.
Oleh karena itu, kepada pasangan presiden dan wakil presiden terpilih nanti, saya menghimbau untuk menjadikan masalah gizi, termasuk tengkes, sebagai arus utama pembangunan bangsa. Ini adalah soal masa depan bangsa. Kalau tidak, siap-siaplah kita melihat generasi muda kita menjadi pecundang pada 20 tahun di depan, masa yang kita sebut sebagai Generasi Emas atau masa yang penuh dengan persaingan kualitas sumber daya manusia itu.
Albiner Siagian, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara; Rektor Institut Agama Kristen Negeri Tarutung