Tengkes, Antara Definisi dan Angka
Tengkes merupakan dampak dari lingkungan yang tidak memadai. Karena itu, sebaiknya prevalensi tengkes diukur ketika sudah terjadi perbaikan terhadap lingkungan yang tidak memadai, bukan sekadar angka yang menurun.

Ilustrasi
Akhir-akhir ini, informasi tentang tengkes (stunting) beredar sangat luas, baik melalui media elektronik maupun cetak. Sekarang kita dapat melihat informasi tentang pencegahan tengkes, tidak hanya di fasilitas kesehatan, tetapi juga di tempat ibadah atau fasilitas umum. Informasi yang benar tentang tengkes sangatlah penting disampaikan agar semua kalangan di masyarakat memiliki pemahaman yang sama.
Tengkes merupakan dampak
Tengkes bukanlah sejenis penyakit, melainkan dampak dari kekurangan gizi kronis yang dialami sejak di dalam kandungan ibu. Mengacu pada definisi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tengkes adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak adekuat.
Ciri-ciri seorang anak mengalami tengkes pada umumnya dapat terlihat dari tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan rata-rata anak seusianya. Namun, tengkes bukan hanya masalah tinggi badan saja, melainkan juga keterlambatan pertumbuhan kronis, seperti terlambat tumbuh gigi dan pubertas.
Baca juga: Tengkes dan Rumitnya Persoalan Riil di Lapangan
Tidak semua pendek itu tengkes
Seorang anak disebut stunted atau pendek apabila tinggi atau panjang badan menurut usia lebih dari dua standar deviasi di bawah median kurva standar pertumbuhan anak menurut WHO. Tidak semua anak stunted atau pendek adalah stunting.
Pendek dapat saja disebabkan kurangnya asupan gizi, tetapi ada juga penyebab lainnya, seperti genetik, dan penyakit, seperti growth hormone deficieny (GHD), dan penyebab secara klinis lainnya. Pengertian ini sangat penting dipahami bersama untuk menghindari terjadinya stigma di masyarakat yang melabel bahwa anak pendek identik dengan tengkes.
Karena stunting (tengkes) dan stunted (pendek) berbeda, maka perlu kehati-hatian dalam menentukan apakah seorang anak mengalami tengkes atau tidak. Tengkes bukan hanya pengukuran tinggi badan berdasarkan usia, melainkan juga pengamatan terhadap tumbuh kembang anak selama masa pertumbuhan, terutama selama 1.000 hari pertama kehidupan.

Gambaran perilaku
Berdasarkan Kerangka Konseptual Stunting WHO tahun 2017, tengkes adalah outcome dari lingkungan yang tidak memadai/adekuat, baik lingkungan di rumah tangga maupun masyarakat atau negara. Beberapa faktor yang mungkin tidak adekuat di lingkungan rumah tangga yang dapat menyebabkan tengkes adalah penyakit infeksi, kondisi ibu, care (perawatan/pengasuhan/perlakuan), perilaku menyusui, makanan tambahan, kualitas makanan, keamanan makanan dan air, serta rumah.
Beberapa faktor yang mungkin tidak adekuat di lingkungan masyarakat atau negara yang dapat menyebabkan tengkes antara lain terkait dengan pendidikan, ekonomi politik, sistem pertanian dan makanan, air, sanitasi, dan kualitas lingkungan, kesehatan dan pelayanan kesehatan, serta masyarakat dan budaya.
Mengutip dari alur pikir yang disampaikan Leroy dan Frongillo pada 2019, sejatinya apabila prevalensi tengkes tinggi, hal tersebut memberikan indikasi bahwa telah terjadi perubahan pada lingkungan di mana kejadian tersebut terjadi. Tengkes disebutkan menjadi penanda atau marker terhadap ketidakcukupan/adequacy lingkungan di mana anak-anak terpapar, sekaligus juga menjadi marker untuk masa depan.
Tengkes disebutkan menjadi penanda atau marker terhadap ketidakcukupan/ adequacy lingkungan di mana anak-anak terpapar sekaligus juga menjadi marker untuk masa depan.
Ketika satu wilayah dilaporkan memiliki prevalensi tengkes yang tinggi, ada dua hal yang dapat disimpulkan. Pertama bahwa anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang tidak adekuat. Kedua, menunjukkan konsekuensinya di masa depan, yaitu anak akan tidak berkembang sesuai dengan potensi tumbuh kembangnya secara penuh.
Antara angka dan definisi
Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi tengkes menjadi 14 persen pada 2024. Ini berarti pemerintah mengharapkan terjadinya penurunan sebesar 16,8 persen dalam enam tahun sejak hasil Riset Kesehatan Dasar 2018.
Target tersebut terbilang sangat ambisius mengingat tengkes sangat terkait dengan perubahan perilaku masyarakat yang umumnya membutuhkan waktu setidaknya sepuluh hingga 15 tahun. Peru saja yang telah berhasil menurunkan prevalensi tengkes, dapat menurunkan 18,2 persen dalam kurun 17 tahun.
Pada 2023, pemerintah mengumumkan bahwa prevalensi tengkes secara nasional sebesar 21,6 persen berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022. Hasil ini sangat fantastis karena dalam empat tahun, prevalensi tengkes dapat turun sebesar 9,2 persen. Pencapaian ini dapat menggambarkan keberhasilan sekaligus juga kehati-hatian. Sangat diperlukan pemikiran yang kritis untuk menginterpretasikan capaian tersebut. Setidaknya ada tiga pertanyaan kritis yang diajukan penulis.
Baca juga: Meretas Sukses Berantas Tengkes
Pertama, mungkin saja tengkes secara nasional memang turun, tetapi perlu diingat kembali tingginya kesenjangan antarwilayah di Indonesia. Beberapa wilayah di Indonesia memiliki angka prevalensi tengkes yang ekstrem rendah, tetapi di banyak wilayah lain juga memiliki angka yang ekstrem tinggi. Dalam hal ini, melihat angka secara spasial sangatlah penting agar tidak terlena dengan angka nasional.
Kedua, mengacu kepada definisi tengkes (stunting) dan perbedaannya dengan stunted (pendek) yang telah dipaparkan sebelumnya, maka apakah cukup mengukur prevalensi tengkes hanya dengan melakukan pengukuran tinggi/panjang badan dan siapakah yang dapat menentukan bahwa seorang anak mengalami tengkes atau tidak? Pertanyaan ini perlu dijawab dengan kesepakatan bersama agar semua pihak memiliki persepsi yang sama dalam menginterpretasikannya.

Seorang petugas menempelkan stiker bertuliskan Hore Berat Badanku Naik di tangan anak setelah dilakukan pengukuran berat badan di Posyandu Mawar Merah, Dusun Klangon, Sedayu, Bantul. Yogyakarta, Jumat (10/2/2023). Dalam pelayanan posyandu tersebut dilakukan pemantauan tumbuh kembang anak, pemberian vitamin A, serta pemberian makanan sehat dengan protein hewani pada setiap anak. Pelayanan ini guna mencegah dan menangani tengkes (stunting) secara lebih tepat.
Ketiga, karena tengkes adalah outcome dan bukan penyakit, apakah mengukur prevalensi tengkes setiap tahun efektif untuk dilakukan? Jika kita mengacu kepada alur pikir Leroy dan Frongillo, mungkin sebaiknya prevalensi tengkes diukur ketika sudah terjadi perbaikan terhadap lingkungan yang tidak adekuat seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya.
Ketika lingkungan tersebut sudah mengalami perbaikan, prevalensi tengkes menjadi satu indikator yang sangat penting untuk menggambarkan perbaikan yang sudah terjadi di masyarakat. Tengkes adalah dampak bukan sakit yang sewaktu-waktu hilang dan timbul karena ketika seorang anak disebut mengalami tengkes maka akan mengalami efek yang cenderung permanen.
Tengkes merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menjadi masalah kita bersama. Oleh karena itu, penting untuk bersama-sama menyepakati definisi tengkes yang selama ini disampaikan kepada masyarakat beserta cara ukurnya.
Baca juga: Tengkes dan Beban Ganda Perempuan
Pencapaian angka secara nasional memang penting untuk melihat gambaran secara keseluruhan, tetapi bagaimanapun juga, Indonesia adalah negara yang luas sehingga informasi secara spasial harus lebih digaungkan dan termasuk di dalamnya informasi tentang determinan tengkes di setiap satu unit wilayah Indonesia. Informasi spasial penting untuk menentukan jenis intervensi yang efektif dan efisien di setiap wilayah.
Hal terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah mengkaji ulang urgensi pengukuran prevalensi tengkes yang dilakukan setiap tahun mengingat tengkes merupakan outcome dari lingkungan yang tidak adekuat sehingga yang mungkin lebih urgen adalah mengukur indikator lingkungan yang telah diintervensi. Dengan demikian, sumber daya, baik dana, waktu, maupun sumber daya manusia, dapat lebih efektif dan efisien dimanfaatkan.
Tiopan Sipahutar, Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Tiopan Sipahutar