Pekatnya kabut ketidaktahuan dan kurangnya kesadaran membuat kita tak sadar betapa bahaya tengkes pada masa depan anak benar-benar nyata. Tengkes ibarat musuh senyap tak terlihat dan harus diberantas.
Oleh
J SATRIJO TANUDJOJO
·4 menit baca
Tangisan pertama seorang anak yang terlahir ke dunia senantiasa diiringi doa dan harapan dari keluarga tercinta agar sang anak tumbuh sehat, kuat, cerdas, dan berprestasi.
Tak ada orangtua yang menginginkan anaknya bodoh atau berpenyakitan. Begitu juga dari perspektif yang lebih luas. Negara ingin rakyatnya tumbuh optimal dan cerdas sehingga dapat bersaing dan membawa kemajuan di masa depan.
Tingginya angka prevalensi tengkes (stunting) bisa memudarkan semua harapan itu. Pekatnya kabut ketidaktahuan dan kurangnya kesadaran membuat kita tak sadar betapa bahaya tengkes pada masa depan anak benar-benar nyata.
Tengkes ibarat musuh senyap tak terlihat dan harus diberantas. Kondisi akibat kekurangan gizi kronis ini menjadi trisula maut yang mengoyak masa depan anak. Dampak pertama, menghambat pertumbuhan fisik. Kedua, menghambat perkembangan kognitif dan motorik sehingga menggerus kecerdasan anak. Ketiga, memantik gangguan metabolik sehingga anak bertumbuh berpenyakitan.
Tengkes ibarat musuh senyap tak terlihat dan harus diberantas.
Sepuluh tahun lalu, pada 2013, prevalensi tengkes di Indonesia 37,2 persen. Empat dari 10 anak menderita tengkes. Ini tentu alarm bahaya. Mimpi Indonesia menikmati bonus demografi bisa menjelma menjadi beban demografi jika itu tak ditanggulangi.
Angkat jempol! Pemerintah mengambil tindakan tegas dan prevalensi tengkes terus menurun setiap tahun. Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 yang dirilis Kementerian Kesehatan, 25 Januari 2023, angkanya turun dari 24,4 persen (2021) menjadi 21,6 persen (2022). Sungguh melegakan dan perlu diapresiasi.
Namun, perjuangan memberantas tengkes harus semakin ditingkatkan. Target prevalensi 14 persen pada 2024 yang dicanangkan Presiden Joko Widodo menjadi tantangan kita bersama. Indonesia kini berada di fase krusial memberantas tengkes.
Penyebab utama tingginya angka tengkes di Indonesia bukan karena tak adanya akses ke makanan bergizi, melainkan lebih karena kurangnya kesadaran akan bahaya tengkes dan minimnya pengetahuan tentang cara pencegahannya.
Contoh, kasus tengkes banyak ditemui di masyarakat nelayan. Padahal, ikan sebagai sumber protein tersedia. Banyak anak nelayan, karena pola makan dan pola hidupnya, terjerat tengkes. Contoh lain, banyak calon pengantin yang menghabiskan jutaan rupiah untuk foto pre-wedding, tetapi abai tak membeli dan meminum tablet penambah darah sehingga kadar hemoglobin (HB) atau protein dalam sel darah merahnya rendah.
Kondisi ini disebut anemia dan mengakibatkan bayi di kandungan berisiko terjerat tengkes. Terlebih, jika menjelang menikah, calon pengantin melakukan diet ketat, maka asupan makanan bergizi pun makin tersendat. Data berbicara. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan menunjukkan pada 2018, prevalensi remaja putri anemia 32 persen dan pada ibu hamil 48,9 persen. Ini mengkhawatirkan.
Karena itu, perubahan perilaku jadi kata kunci. Di sinilah letak kompleksitasnya. Mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat butuh waktu dan upaya ekstra, sementara target penurunan tengkes ke 14 persen tinggal hitungan dua tahun. Butuh orkestrasi oleh pemerintah di bawah koordinasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) agar berbagai pihak bisa berkolaborasi, bergerak seirama, bersama-sama berkontribusi, sehingga target tercapai.
Tengkes tak muncul begitu saja. Proses mitigasi menjadi krusial dan kuncinya pencegahan dari hulu, mulai dari calon pengantin (masa prakonsepsi), ibu hamil, hingga anak usia 0-24 bulan, sebab perkembangan fisik dan kecerdasan anak pada periode krusial 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) sangat menentukan dan harus ”digarap” secara optimal.
Keberhasilan menekan angka tengkes hingga 21,6 persen menjadi pelajaran berharga. Kontribusi lima pilar Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting menjadi nyata. Komitmen pemimpin puncak jelas, bahkan Presiden menantang kita mencapai 14 persen prevalensi pada akhir 2024.
Ketahanan pangan berjalan baik. Indonesia tak kekurangan bahan pangan. Konvergensi berbagai upaya semakin nyata. BKKBN ditunjuk menjadi ketua pelaksana Program Percepatan Penurunan Stunting. Pemantauan dan evaluasi juga kian dicermati. Perubahan perilaku mulai menunjukkan titik terang, tetapi masih menjadi tantangan utama.
Perubahan perilaku memang butuh waktu. Namun, waktu kita sangat terbatas. Kita harus bertindak cepat dan tepat. BKKBN telah menggandeng multipihak: pesantren, perguruan tinggi, TNI, Polri, BIN, dan banyak organisasi lain, termasuk lembaga multilateral dan filantropi. Kerja sama multipihak akan menciptakan sebuah pergerakan pemberantasan tengkes.
Tanoto Foundation, September 2022, di bawah koordinasi BKKBN, menggandeng mitra Yayasan Bakti Barito, BCA, Amman Mineral, USAID, dan WVI untuk bekerja sama serta melaksanakan program perubahan perilaku memberantas tengkes. Kolaborasi semacam ini perlu dimultiplikasi untuk menangani isu multidimensi tengkes.
Banyak yang menganggap target 14 persen pada 2024 sebagai angka ilusif. Namun, penurunan prevalensi tengkes di 2022 menantang anggapan itu. Kalau di tahun-tahun sebelumnya kita hanya berhasil menurunkan prevalensi tengkes maksimum 1,6 persen per tahun dan kemudian, dengan segala upaya, pada 2022 berhasil turun 2,8 persen, bukankah angka yang sebelumnya tampak di awang-awang itu kini makin dekat ke jangkauan?
Dengan semangat menyelamatkan Generasi Emas dari jerat tengkes, pada akhir 2024 kita wujudkan target 14 persen itu. Sebagaimana dikatakan Nelson Mandela, ”It seems impossible until it is done”.