Ketidakniscayaan Demokrasi Indonesia
Kebanyakan warga negeri ini meyakini bahwa demokrasi Indonesia lahir terutama berkat kegigihan masyarakat sipil.
Indonesia pernah dianggap tidak mungkin mencapai demokrasi. Pernyataan ini boleh jadi terkesan mengada-ada. Bukankah Indonesia sudah menjadi negara demokrasi selama lebih dari seperempat abad?
Kenyataannya memang demikian. Namun, apabila diteropong melalui perspektif politik komparatif, keberhasilan demokratisasi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia adalah sebuah anomali. Demokrasi Indonesia, yang bagi sebagian warga terasa seperti sebuah keniscayaan, pada mulanya lebih merupakan sebuah kemustahilan.
Anomali ini segera terlihat apabila Indonesia disandingkan dengan negara- negara lain di Asia Tenggara. Kawasan ini tidaklah ramah pada aspirasi demokrasi (Hicken 2020). Ketika banyak negara di kawasan lain bertransisi ke demokrasi pada paruh keempat abad XX, kebanyakan negara di Asia Tenggara tetap tunduk pada tirani otoritarianisme.
Eksperimen demokrasi di Asia Tenggara pun kerap gagal. Nasib Thailand dan Myanmar memperlihatkan bagaimana militer sergap mengambil alih kekuasaan setiap kali demokrasi baru akan mekar. Dengan dalih menjaga keamanan dan stabilitas politik, para penggawa militer segera merobohkan tatanan kelembagaan yang menjadi pilar-pilar demokrasi, seperti pemilihan umum yang bebas dan adil serta pemisahan unsur-unsur kekuasaan.
Kawasan Timur Tengah, yang profil keagamaan penduduknya serupa dengan Indonesia, juga mengalami nasib yang sama. Musim Semi Arab, yang semula tampak seperti fajar gemilang bagi aspirasi demokrasi, berujung pada eskalasi konflik sektarian, perpecahan, dan otoritarianisme baru.
Nasib Thailand dan Myanmar memperlihatkan bagaimana militer sergap mengambil alih kekuasaan setiap kali demokrasi baru akan mekar.
Indonesia bisa saja mengalami nasib seperti itu. Ketika transisi ke demokrasi terjadi di pengujung abad XX, situasi negeri begitu mencekam. Mahasiswa dan pejuang demokrasi gugur atau hilang di tangan aparat negara. Kekerasan sektarian berkecamuk di pelosok-pelosok negeri. Rakyat banyak menjadi korban kekerasan horizontal dan vertikal. Semua ini sangat mungkin menggagalkan demokratisasi di Indonesia.
Namun, setelah beberapa tahun, demokrasi di negara ini perlahan-lahan terkonsolidasi. Tidak seperti Suriah yang luluh lantak akibat kekerasan sektarian atau Mesir yang kembali tunduk pada rezim militer, aspirasi masyarakat sipil di Indonesia berkembang menjadi tatanan kelembagaan yang relatif demokratis (Mietzner 2014).
Kebebasan berpendapat, berserikat, dan membentuk partai politik berkembang. Pemilihan umum yang relatif bebas, kompetitif, dan adil pun telah berulang kali diselenggarakan.
Tirani mayoritas pun terelakkan karena tokoh dan cendekiawan Islam dengan lantang terus menyuarakan dan membela perlindungan hak-hak minoritas. Meski transisinya masih menyisakan pelbagai persoalan, demokrasi Indonesia kini bisa dinilai telah terkonsolidasi karena baik elite maupun warga menerimanya sebagai the only game in town (Linz dan Stepan, 1996).
Bagi banyak negara, Indonesia adalah contoh keberhasilan transisi dan konsolidasi. Namun, karena kelahiran dan pertumbuhannya begitu tak terduga, demokrasi Indonesia terus bertumbuh dalam bayang-bayang kemunduran atau bahkan kegagalan.
Orangtua demokrasi Indonesia
Dalam pembahasan tentang kelahiran demokrasi Indonesia, imaji yang spontan muncul di benak banyak orang adalah potret ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR pada tahun 1998.
Itulah mengapa kebanyakan warga negeri ini meyakini bahwa demokrasi Indonesia lahir terutama berkat kegigihan masyarakat sipil dalam memperjuangkan aspirasi politiknya.
Ini tidaklah keliru. Memakai perumpamaan ilmuwan politik Dan Slater dalam artikel ”What Indonesian Democracy Can Teach the World” (2023), masyarakat sipil adalah ibu dari demokrasi Indonesia. Namun, ia juga mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia juga memiliki ayah, yakni para elite pemegang kekuasaan di negeri ini.
Peranan sang ayah ini kerap luput dari kesadaran warga. Dengan menarik dukungan kolektif mereka kepada Soeharto di hari-hari terakhir Orde Baru, para elite politik membuat Soeharto tidak mempunyai pilihan kecuali mengundurkan diri. Para elite politik ini jugalah yang menerjemahkan tuntutan warga menjadi tata kelembagaan demokrasi yang ada sekarang. Apabila pada waktu itu para elite tidak mengambil langkah-langkah ini, sangat boleh jadi demokrasi Indonesia gagal lahir.
Namun, karena kelahiran dan pertumbuhannya begitu tak terduga, demokrasi Indonesia terus bertumbuh dalam bayang-bayang kemunduran atau bahkan kegagalan.
Ini tidak serta-merta berarti para elite penguasa di Indonesia memiliki komitmen membiarkan demokrasi Indonesia tumbuh mekar seturut nilai-nilai terdalam yang terkandung dalam aspirasi masyarakat sipil. Tentu komitmen ini ada. Namun, boleh jadi para elite penguasa menyepakati demokrasi lebih karena keyakinan bahwa mereka dapat terus mengendalikan arah pertumbuhannya.
Itulah mengapa demokrasi Indonesia ibarat anak yang tumbuh besar di tengah-tengah tarik-menarik kedua orangtua yang bertolak belakang.
Di satu sisi, sang ibu, yakni masyarakat sipil, memperjuangkan agar anaknya dapat bertumbuh seturut nilai-nilai dasar demokrasi. Di sisi lain, sang ayah, yakni para elite penguasa, tak pernah rela membiarkan demokrasi tumbuh bebas dan mekar, apalagi ketika pertumbuhan sang anak mengancam takhta dan kepentingannya.
Memerdekakan sang anak
Tarik-menarik antara warga dan elite pemegang kekuasaan negara bukanlah gejala baru. Mahaguru studi politik Indonesia, Ben Anderson, menyebut tarik-menarik ini sebagai dinamika dasar politik negeri ini (Anderson 1983).
Di era kolonial, struktur kelembagaan dipaksakan dari atas oleh penguasa negara. Di era Soekarno, geliat berbagai aliran dari wargalah yang mendominasi politik Indonesia. Sebaliknya, di masa Orde Baru, elite penguasa negara begitu mendominasi warga.
Era Reformasi adalah saat masyarakat sipil berhasil bersatu untuk menekan balik cengkeraman elite penguasa. Setelah pernah muncul di tahun 1950-an, demokrasi lahir kembali di Indonesia.
Namun, pelan-pelan semarak reformasi memudar. Para elite penguasa mulai menjadi semakin bebas untuk mengendalikan arah pertumbuhan demokrasi Indonesia. Jalan yang ditempuhnya pun jauh lebih halus. Ibarat ayah yang memanjakan anaknya, warga dibuat terbuai dengan beragam narasi keberhasilan pembangunan.
Tidaklah mengherankan sebagian warga memilih diam atau justru malah membela elite penguasa ketika keberhasilan sang ibu demokrasi Indonesia satu per satu dilucuti. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah salah satu momen pelucutan paling kentara.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, semakin kelihatan siasat sang ayah untuk merenggut pencapaian utama sang ibu demokrasi Indonesia, yakni pelembagaan pemilu yang bebas dan adil.
Boleh jadi, inilah nasib demokrasi Indonesia sebagai anak yang tak pernah dimerdekakan oleh sang ayah.
Meskipun demikian, sejarah telah membuktikan bahwa ketika segenap warga bersatu di bawah panji sang ibu, demokrasi dapat lahir dan bertumbuh di Indonesia.
Itulah mengapa pada pemilu ini kehendak untuk terus memerdekakan demokrasi Indonesia dari jerat elite politik perlu menjadi pertimbangan utama warga dalam menentukan pilihan politiknya. Tanpa itu, demokrasi Indonesia bisa kembali sepenuhnya tunduk pada kehendak elite politik dalam mengamankan kekuasaannya.
Indonesia pernah dianggap tidak mungkin mencapai demokrasi.
Kini, Indonesia adalah demokrasi. Darah para martir demokrasilah yang menjadi harganya. Persis karena itu, demokrasi Indonesia terlalu mahal untuk dibiarkan hilang.
Hingga hari ini, darah para martir demokrasi Indonesia terus menjerit dari Bumi Pertiwi. Sudikah kita mendengarkan jeritan itu?
Angga Indraswara,Rohaniwan, Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik di London School of Economics (LSE)