Pindar di Pusaran Otonomi Pendidikan Tinggi
Pendidikan, yang seharusnya hak yang bisa dijangkau semua warga, kini berubah menjadi komoditas mahal sulit diakses.
Keputusan sejumlah perguruan tinggi terkemuka untuk bermitra dengan layanan pinjaman dalam jaringan Danacita dalam pembayaran uang kuliah tunggal menuai kontroversi di media sosial.
Meski langkah ini mungkin meringankan sementara bagi mahasiswa yang mengalami kesulitan membayar uang kuliah tunggal (UKT), timbul pertanyaan etis yang perlu dijawab. Pertanyaan itu: sesuaikah kerja sama ini dengan prinsip-prinsip integritas akademik dan tanggung jawab sosial perguruan tinggi, ataukah lebih menjurus pada komersialisasi pendidikan tinggi?
Tak hanya Institut Teknologi Bandung (ITB), beberapa kampus lain juga bekerja sama dengan Danacita, seperti Universitas Gadjah Mada dan Universitas Negeri Surabaya. Meski biaya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) diklaim masih terjangkau dengan adanya kelas UKT sesuai kemampuan ekonomi mahasiswa, kenyataannya biaya kuliah semakin meningkat dan memberatkan masyarakat.
Di sisi lain, keberadaan jalur mandiri yang menerapkan tarif komersial murni dengan kuota yang signifikan, hingga 30 persen, juga semakin mengukuhkan fakta kian mahalnya biaya kuliah di PTN. Di PTN badan hukum (PTNBH), kuota jalur mandiri bahkan mencapai 50 persen.
Krisis pinjaman mahasiswa
Dalam kondisi ini, mahasiswa yang kesulitan membayar UKT karena masalah ekonomi keluarga tentu tidak punya banyak pilihan. Solusi pragmatis membuka relasi dengan penyedia pinjaman dalam jaringan (pindar), yang juga dikenal dengan istilah pinjol, pun tak terelakkan.
Hal ini sejalan dengan hasil survei terbaru Populix yang mengungkap bahwa 23 persen responden menggunakan pindar untuk menutup biaya pendidikan dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat.
Meski biaya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) diklaim masih terjangkau dengan adanya kelas UKT sesuai kemampuan ekonomi mahasiswa, kenyataannya biaya kuliah semakin meningkat dan memberatkan masyarakat.
Kenaikan biaya pendidikan di PTN sejak era Reformasi mencerminkan kompleksitas antara aspirasi penyelenggaraan pendidikan berkualitas secara merata di seluruh Indonesia dan keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Otonomi yang diberikan kepada PTN sebagai solusi menghadapi keterbatasan tersebut membuka pintu bagi komersialisasi pendidikan. Ini didukung regulasi, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Namun, praktik komersialisasi ini cenderung mengarah pada pemisahan jalur penerimaan mahasiswa berdasarkan kemampuan finansial, yang mana jalur nonreguler dengan tarif komersial mendominasi, sedangkan jalur bersubsidi semakin terpinggirkan. Maka, di pintu inilah pindar berpotensi masuk ke dalam otonomi PT.
Jika alternatif bantuan pendidikan kian terbatas, pindar akan tumbuh subur di lingkungan kampus sehingga bukan tak mungkin dalam jangka panjang akan menumpuk dan menyebabkan krisis pinjaman mahasiswa, mirip student loan crisis di Amerika Serikat (AS).
Padahal, pada 1975, AS memiliki program hibah Pell Grant berbasis kebutuhan yang mampu menutup 80 persen biaya tahunan universitas negeri, termasuk biaya kuliah mahasiswa yang membutuhkan. Namun, pada 2021, proporsi bantuan menurun dan hanya menutup 30 persen biaya tahunan.
Kini, 43,8 juta warga AS memiliki pinjaman mahasiswa guna melanjutkan pendidikan tinggi. Hal itu seiring biaya kuliah yang kian meningkat, lebih dari tiga kali lipat bagi keluarga AS rata-rata sejak 1963.
Jika Indonesia mengikuti jejak AS dalam hal pemberian student loan bagi mahasiswa, tentu dalam jangka panjang kita akan menghadapi risiko yang sama. Andai kata tak ada pilihan lain selain pinjaman, mahasiswa kita perlu dibekali dengan program integrasi antara studi dan bekerja paruh waktu, seperti program Federal Work-Study di AS sebagai bantalan dalam membayar pinjaman dan membiayai hidup mereka.
Perlu diingat bahwa utang individu di lingkungan pendidikan tinggi memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian, terutama dengan membebani anggaran rumah tangga dan memperburuk kesenjangan ekonomi.
Utang ini menghambat anak muda untuk memulai investasi jangka panjang, seperti membeli rumah atau memulai bisnis, serta meningkatkan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin (Roosevelt Institute, 2023).
Karena itu, kebebasan akademik dan otonomi kampus diakui memang sebuah keniscayaan bagi PT. Akan tetapi, menurunkan bantuan APBN dalam mendukung operasionalisasi PTN serta melibatkan pindar sebagai alternatif biaya pendidikan atas nama otonomi—yang berimplikasi pada melemahnya akses masyarakat kelas bawah terhadap PTN—adalah kekeliruan dalam memahami otonomi PT.
Dalam kasus PTN, terdapat korelasi yang kuat antara dukungan dana pemerintah dan tingkat komersialisasi pendidikan. Melemahnya dukungan pendanaan pemerintah ke PTN cenderung diikuti dengan semakin tingginya tingkat komersialisasi pendidikan.
Jika melihat alokasi jumbo anggaran pendidikan dalam APBN 2024 yang sudah menyentuh Rp 665,02 triliun—tertinggi sepanjang sejarah pendidikan kita—seharusnya hal itu mampu meningkatkan akses pendidikan untuk semua jenjang pendidikan, termasuk bantuan pendidikan tinggi yang inklusif.
Jika Indonesia mengikuti jejak AS dalam hal pemberian ’student loan’ bagi mahasiswa, tentu dalam jangka panjang kita akan menghadapi risiko yang sama.
Yang terjadi justru sebaliknya, aliran dana pemerintah kian menyusut di sektor pendidikan tinggi sehingga universitas terdorong mencari sumber pemasukan alternatif, yang sering kali berdampak pada tingginya biaya kuliah. Paradoks ironis tercipta, bahwa pendidikan, yang seharusnya menjadi hak yang bisa dijangkau oleh semua, kini berubah jadi komoditas mahal yang kian sulit diakses banyak orang.
Ambil contoh di ITB, rasio bantuan dana APBN terhadap total pendapatan ITB secara konsisten terus menurun dari 44 persen pada 2016 menjadi 29 persen pada 2022. Pada waktu yang sama, rasio pendapatan layanan pendidikan terhadap total pendapatan yang awalnya turun dari 31 persen pada 2016 menjadi 22 persen pada 2019 kembali meningkat pascapandemi Covid-19 menjadi 33 persen pada 2022.
Bantuan keuangan terpadu
Pangkal masalah sebenarnya bukan pada besar atau kecilnya bantuan pemerintah karena sebenarnya kita sudah punya Program Indonesia Pintar melalui Kartu Indonesia Pintar yang merupakan program hasil transformasi dari Bidikmisi yang telah berjalan sejak 2010.
Program ini lalu berubah menjadi KIP Kuliah pada 2020 dan kemudian menjadi KIP Kuliah Merdeka pada 2021.
Namun, kebijakan baru yang diterapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terkait KIP Kuliah Merdeka 2023 ini lagi-lagi menuai kontroversi.
Masalah sentralnya adalah penerapan skema 1 dan skema 2, yang menyebabkan tidak semua penerima KIP Kuliah Merdeka 2023 mendapatkan bantuan biaya hidup yang komprehensif. Skema 1 memberikan bantuan biaya pendidikan dan biaya hidup. Sementara itu, skema 2 hanya fokus pada bantuan biaya pendidikan.
Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi mahasiswa yang seharusnya mendapat perlakuan sama, terlepas dari golongan mereka.
Selain itu, penggolongan peserta ujian tulis berbasis komputer seleksi nasional berdasarkan tes 2023 menjadi hal yang membingungkan dan tak dapat diantisipasi calon mahasiswa baru. Kurangnya sosialisasi tentang perubahan kebijakan ini menjelang pembukaan pendaftaran UTBK juga membuat situasi makin membingungkan.
Terlebih, mengandalkan data dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang bermasalah tidak sepenuhnya efektif. Selain itu, perbedaan perlakuan antara skema 1 dan skema 2 bisa menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan yang lebih besar di antara penerima KIP Kuliah.
Meskipun program-program bantuan sosial seperti KIP Kuliah bertujuan membantu kelompok miskin, masalah kelemahan basis data dan kesalahan sasaran masih menjadi kendala yang signifikan. Hal ini mengakibatkan kelompok ”rentan miskin” dan ”hampir miskin” sering kali tidak tercakup dalam program dan ini menyebabkan tingginya tingkat exclusion error (IDEAS, 2023).
Karena itu, sistem bantuan keuangan untuk kuliah perlu dirancang terpadu. KIP Kuliah hanya salah satu program bantuan keuangan yang tersedia dan informasinya tidak terintegrasi dengan sistem informasi lain, seperti data dan bantuan dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti). Hal ini membuat informasi tentang bantuan keuangan menjadi sulit diakses oleh mahasiswa dan keluarga di saat-saat genting.
Dalam hal ini, kita bisa belajar dari sistem FAFSA Amerika Serikat. FAFSA atau Free Application for Federal Student Aid merupakan aplikasi vital dalam memfasilitasi akses pendidikan tinggi bagi mahasiswa dengan memberikan akses pada berbagai bantuan keuangan, termasuk hibah, beasiswa, pinjaman, dan program kerja sambil kuliah.
FAFSA menjadi syarat dasar untuk mendapatkan semua jenis bantuan keuangan federal, termasuk Pell Grant, FSEOG (Federal Supplemental Educational Opportunity Grant), dan Federal Work-Study. Untuk mengajukan bantuan keuangan federal, mahasiswa harus mengisi FAFSA dan memberikan informasi tentang pendapatan dan aset keluarga mereka.
Paradoks ironis tercipta, bahwa pendidikan, yang seharusnya menjadi hak yang bisa dijangkau oleh semua, kini berubah jadi komoditas mahal yang kian sulit diakses banyak orang.
Jika mampu, mereka akan diarahkan untuk mendapatkan student loan. Jika tidak mampu, mereka akan diarahkan pada bantuan pemerintah. Artinya, mahasiswa yang tidak mampu tidak serta-merta diarahkan untuk mendapatkan bantuan melalui pinjaman untuk bayar kuliah, seperti yang terjadi di ITB.
Di Indonesia, data bantuan seperti inilah yang belum terintegrasi dengan baik agar serupa dengan FAFSA. Kondisi ini sangat riskan karena, jika sewaktu-waktu ada perubahan peraturan terkait bantuan, banyak mahasiswa yang akan kehilangan kesempatan mendapatkan bantuan. Ujung-ujungnya, mereka akan mencari alternatif bantuan lain, seperti pindar.
Maka dari itu, pemerintah perlu mengembangkan sistem bantuan keuangan yang terpadu. Sistem ini harus menggabungkan informasi dari berbagai sumber, seperti PDDikti, Kemendikbudristek, dan lembaga pemberi bantuan keuangan lainnya.
Dengan meningkatkan integrasi sistem bantuan keuangan pendidikan tinggi, kita dapat membantu lebih banyak mahasiswa dari keluarga kurang mampu untuk mengakses pendidikan tinggi beserta ragam alternatif sumber bantuan pendidikan sesuai kondisi ekonomi mahasiswa.
Baca juga: Biaya Kuliah yang Makin Tinggi
Irvan Maulana, Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)