Meski terus meningkat, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi masih rendah. Kendala utamanya faktor ekonomi, yakni biaya kuliah yang tinggi.
Angka partisipasi kasar pendidikan tinggi (APK PT) pada 2024 sebesar 39,37 persen (Kemendikbudristek, 2022), di bawah rata-rata global yang mencapai 40 persen (UNESCO, 2020). Bahkan, APK PT Indonesia termasuk rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia (43 persen), Thailand (49,29 persen), dan Singapura (91,09 persen).
Setiap tahun, jumlah lulusan SMA/SMK di Indonesia sekitar 3,7 juta, tetapi hanya sekitar 58 persen yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Faktor ekonomi menjadi kendala utama. Sebagian besar dari mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi berasal dari keluarga tidak mampu. Tak sedikit dari mereka yang bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi pun menghadapi masalah terkait tingginya biaya kuliah (Kompas, 30/1/2024).
Baca juga: Pengajuan Keringanan Biaya Kuliah Selalu Tinggi
Bantuan pendidikan kuliah S-1 dari pemerintah, mulai dari Kartu Indonesia Pintar Kuliah, afirmasi pendidikan tinggi untuk siswa di Papua dan daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), hingga beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), belum mampu menjangkau semua anak yang membutuhkan. Demikian pula program keringanan biaya uang kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi.
Kisah seorang mahasiswa sebuah PTN di Yogyakarta yang meninggal saat memperjuangkan keringanan UKT pada awal 2023 merupakan salah satu bukti bahwa tidak semua mahasiswa dari keluarga tak mampu mendapatkan bantuan pendidikan kuliah. Tawaran sejumlah perguruan tinggi agar mahasiswa mengajukan pinjaman daring juga tidak menyelesaikan masalah, justru menambah beban karena tingginya bunga pinjaman daring.
Liputan Jurnalisme Data Kompas pada 2022 juga menyebutkan bahwa orangtua Indonesia di masa depan semakin sulit membiayai kuliah anak-anak mereka (Kompas.id, 28/7/2022). Pasalnya, kenaikan biaya kuliah rata-rata perguruan tinggi lebih tinggi daripada kenaikan gaji orang Indonesia.
Karena itu, perlu upaya progresif disertai komitmen pemerintah untuk mengatasi hambatan terbesar, terutama dari masyarakat kurang mampu, guna mengakses pendidikan. Rencana pemerintah memberikan pinjaman kepada mahasiswa melalui dana abadi LPDP patut diapresiasi. Kegagalan program serupa pada 1980-1990 bisa menjadi pelajaran untuk menyempurnakan program yang direncanakan.
Baca juga: Heboh Pinjaman untuk Kuliah, Pemerintah Godok ”Student Loan” Lewat LPDP
Kita juga bisa belajar dari negara-negara yang melakukan langkah serupa untuk meningkatkan angka partisipasi di pendidikan tinggi. Namun, yang utama, perlu ada strategi khusus untuk mengatasi masalah tingginya biaya kuliah. Pendidikan tinggi merupakan hak warga dan kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Apalagi, pendidikan tinggi merupakan kunci untuk meningkatkan daya saing bangsa.