Krisis Ekosistem dan Transformasi Tata Kelola
Krisis ekosistem berdampak negatif pada kehidupan secara luas dalam jangka panjang.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, setiap orang berhak mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Suatu ketetapan yang perlu terus diperjuangkan dalam kondisi jumlah penduduk yang kian bertambah dengan daya dukung lingkungan hidup yang cenderung terus menurun.
Karakteristik lingkungan hidup itu tak seperti barang ekonomi biasa, semakin langka, makin mahal harganya. Semakin rentan dalam menopang kehidupan, semakin diperhatikan banyak orang.
Kelangkaan fungsi lingkungan hidup bahkan sering kali tak diikuti oleh peningkatan perhatian terhadapnya. Dengan kata lain, ”harga lingkungan hidup” bisa tetap murah, bahkan tidak dihargai walaupun pasokannya semakin terbatas.
Hal itu ditunjukkan oleh eksploitasi sumber daya alam dan tanah untuk menopang pembangunan ekonomi yang tetap dominan—walau telah terjadi krisis ekosistem, dengan dampak lingkungan yang semakin besar. Sejumlah kota di Indonesia yang semula tak pernah banjir kini jadi langganan banjir. Berbagai fakta itu belum menjadi pemicu yang dapat melahirkan strategi baru pelaksanaan pembangunan.
Krisis ekosistem ini berdampak negatif pada kehidupan secara luas dalam jangka panjang. Namun, dampak sering kali tak terjadi seketika sehingga cenderung tak menumbuhkan reaksi cepat guna menangani kerusakannya dengan upaya cukup.
Secara perorangan terlalu besar upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi, tetapi secara kelembagaan, termasuk lembaga negara, biasanya tunduk pada pengaruh politik lima tahunan daripada tunduk pada sifat perubahan ekosistem yang berjangka panjang.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, setiap orang berhak mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sifat krisis demikian itu telah melandasi norma dan praksis dalam pelaksanaan kebijakan publik. Namun, walau ada dalam pasal-pasal UU, sering kali hanya bersifat normatif. Dalam teks peraturan perundang-undangan diakui, tetapi secara politik tak dapat dukungan.
Hal itu termasuk, misalnya, dukungan anggaran sebagai penggerak untuk penguatan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup yang rendah. Padahal, pengelolaan ini mempunyai obyek lintas batas wilayah administrasi, bahkan batas negara. Pagu anggaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2023, misalnya, hanya Rp 7,51 triliun.
Dengan jumlah keseluruhan anggaran belanja pemerintah pusat untuk kementerian/lembaga (K/L) Rp 768,7 triliun, politik anggaran hanya mengalokasikan anggaran KLHK sekitar 1 persen.
Cara pikir non-ekonomi
Sektor yang secara langsung menopang kondisi ekosistem, seperti hutan, tambang, pesisir dan kelautan, serta berbagai bentuk wilayah perlindungan, saat ini sudah mengalami kerusakan hebat dan jadi penyebab terjadinya bencana. Selain itu, terdapat ketimpangan penguasaan SDA dan lahan pertanian yang subur kian menipis.
Statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada 2022 mencatat 3.544 kejadian bencana, meningkat dari 1.246 kejadian bencana tahun 2009 ke 2.575 kejadian bencana pada 2018.
Bencana yang terjadi pada 2022 itu, 3.489 di antaranya berupa banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan. Bencana ini telah mengakibatkan 6.144.534 orang menderita dan mengungsi, 8.733 orang luka-luka, 858 orang meninggal, dan 37 orang hilang. Selain itu, terdapat 95.403 rumah dan 1.983 fasilitas umum rusak.
Namun, fakta ini tak memunculkan kesadaran politik untuk mengubah strategi pembangunan menuju pendekatan ekosistem yang mampu mengerem eksploitasi SDA yang berlebihan. Untuk itu, diperlukan pemikiran ulang instrumen manajemen operasional pembangunan. Secara operasional, perlu dipertimbangkan kembali pemisahan kementerian lingkungan hidup dengan kementerian kehutanan untuk menguatkan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup secara nasional.
Penguatan fungsi lembaga negara guna mengendalikan kerusakan ekosistem dapat mengacu pada Millennium Ecosystem Assessment (MEA) 2005.
Pendekatan itu mengantarkan penilaian manfaat ekosistem ke dalam empat kategori.
Pertama, penguatan dan pengatur layanan alami, yaitu manfaat yang diperoleh semua makhluk hidup dari proses bekerjanya ekosistem yang menghasilkan kualitas udara, air, erosi, fungsi penyerbukan tanaman, iklim, dan lain-lain. Kedua, peningkatan layanan penyediaan, yaitu produk langsung yang kita peroleh dari ekosistem, seperti bahan makanan, serat, bahan bakar, serta air.
Ketiga, mempertahankan layanan kultural yang bersifat nonmaterial, seperti nilai-nilai spiritual, pendidikan, ataupun rekreasi. Keempat, menjaga layanan pendukung, yaitu proses tidak langsung atau jangka panjang yang diperlukan untuk produksi tiga kategori layanan sebelumnya, seperti pembentukan tanah, fotosintesis, dan siklus hara.
Bila dicermati secara saksama, pendekatan MEA itu sejalan dengan fakta pemanfaatan SDA oleh masyarakat adat dan lokal lainnya di Indonesia.
Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), misalnya, pernah melakukan inventarisasi dan terdapat 174 jenis barang dan jasa lingkungan dari bentang SDA yang dikelola masyarakat adat dan lokal lainnya, serta telah dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari ataupun diperdagangkan.
Ketersediaan komoditas yang beragam itu memungkinkan pemanfaatannya untuk mendukung kemandirian ekonomi masyarakat dan memenuhi kebutuhan antarwaktu, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang, tidak hanya jumlahnya, tetapi juga ragam dan ketersediaannya.
Semua itu berjalan di dalam wadah sosial-budaya masyarakat dan tidak hanya berdasarkan motivasi komersial yang cenderung berjalan berdasarkan cara pikir seragam.
Sejumlah kegiatan yang didasarkan pada kondisi sosial-budaya itu masih cukup banyak dan bertahan. Fungsi yang dijalankan, misalnya, dalam pengaturan pemanfaatan SDA, perlindungan dan konservasi alam, mengendalikan perilaku satwa liar, pengetahuan manfaat berbagi jenis tumbuhan obat, kerajinan tangan, wisata bahari.
Kritik terhadap ekonomi berbasis komoditas saat ini karena berlandaskan cara pikir yang selalu memilih sifat komoditas yang paling menghasilkan keuntungan finansial; mengabaikan sifat ekonomi kesejahteraan sosial yang lebih luas.
Selain itu, kebiasaan bekerja sama dan gotong royong, konsumsi pangan lokal, pengolahan perikanan laut, identifikasi kualitas benih, proses untuk mencapai kesepakatan, dan menyelesaikan perbedaan pandangan tentang hak dan akses ke SDA.
Kritik homogenitas sistem
Kritik terhadap ekonomi berbasis komoditas saat ini karena berlandaskan cara pikir yang selalu memilih sifat komoditas yang paling menghasilkan keuntungan finansial; mengabaikan sifat ekonomi kesejahteraan sosial yang lebih luas.
Komoditas komersial itu selalu dianggap atau diasumsikan berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan aspek sosial budaya. Strategi pembangunan seperti itu, bila kita melihat penerapannya untuk perkembangan ekonomi rakyat di beberapa lokasi—misal di Papua—aspek sosial budaya dalam praktik ekonomi sedang dipandu oleh sistem pembangunan yang bisa mempercepat kematiannya.
Meski demikian, cara berpikir itu tetap dipegang sebagai landasan berbagai dokumen resmi pemerintah sehingga terdapat pembenaran untuk mengabaikan keanekaragaman hayati yang lekat dengan keanekaragaman sosial-budaya. Maka, hilangnya keempat layanan ekosistem, seperti telah diuraikan sebelumnya, dan ini dalam praktiknya tak masuk ke dalam ”kerugian” dan metodologi pembangunan.
Homogenitas sistem pembangunan inilah yang selama ini menjadi penopang praktik konversi dukungan alam primer. Misalnya, konversi hutan alam menjadi hutan tanaman dan kebun monokultur yang lebih menguntungkan tanpa mengakui bahwa keuntungan itu didapat akibat diabaikannya nilai-nilai ekosistem dan kearifan lokal yang hilang.
Transformasi tata kelola
Ke depan, pemerintah yang akan datang mestinya tak hanya secara linier melanjutkan program pemerintahan sebelumnya. Pengembangan politik ekonomi pembangunan semestinya berpijak pada kondisi faktual krisis ekosistem yang sedang dan akan terus terjadi.
Ketika SDA hanya dianggap sebagai kumpulan berbagai komoditas ekonomi, maka telah terjadi kekeliruan substansial yang mengikat desain pembiaran terjadinya trade off sejak dalam pikiran. Lahan subur untuk produksi pangan, misalnya, terus-menerus dikonversi menjadi fasilitas pengembangan kota. Studi mengenai dampak lingkungan pun dalam praktiknya bertumpu pada dominasi pertimbangan ekonomi yang sudah given.
Baca juga: Sektor Agraria dan Kehutanan Perlu Fokus Ditangani Satu Lembaga
Saat ini tampak pelaksanaan pemerintahan bertumpu pada dua dunia. Sisi hukum formal, instruksi-instruksi internal lembaga negara, imbauan dan ajakan terbuka, sosialisasi norma, dan tindakan berdasarkan peraturan-perundangan berada di dunia pertama.
Di sisi lain, dunia kedua, yaitu adanya berbagai tindakan menyimpang, bahkan oleh orang yang sama sebagai pelaku di dunia pertama, yang menginstruksikan hal berbeda.
Dalam praktik di dunia kedua itu terdapat struktur kepemerintahan berupa jaminan atas kesetiaan.
Misalnya, akibat rendahnya fasilitas dan gaji yang diterima pegawai negeri sebagai pengawas produksi tambang, membuat pekerja pengawas lapangan seperti dijebak melakukan kesalahan. Termasuk dijebak sebagai perangkat perusahaan dengan gaji bulanan.
Mereka harus setia, tidak hanya pada perusahaan yang diawasi, tetapi juga pada atasannya dengan menjalankan perintah yang diberikan, benar ataupun keliru. Di situlah terwujud kesetiaan pelaku-pelaku pemberi, pengawas dan penerima perizinan sehingga tidak mungkin mereka melaporkan perbuatan sesamanya.
Kerugian negara yang pernah dihitung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi senilai puluhan triliun rupiah setiap tahun sama sekali tidak terkait dengan risiko atas berbagai bentuk hubungan itu.
Adanya praktik dunia kedua itu menyebabkan korupsi tidak selalu akibat dari persoalan pelaku korup, peraturan tidak berjalan, ataupun lemahnya penegakan hukum, tetapi lebih sebagai akibat adanya institusi ekstra-legal, yaitu suatu jaringan yang dipelihara oleh kekuasaan yang secara de facto melebihi kekuasaan legal negara.
Sumber daya yang digunakan dapat berasal dari berbagai perangkat negara ataupun swasta. Dalam hal ini, korupsi dapat dipahami sebagai jaringan transaksional yang berjalan secara sistematis dan sudah menjadi kebiasaan.
Dalam situasi seperti itu, di lapangan, sebagian besar orang-orang yang sedang mempertahankan kejujuran adalah orang-orang yang sedang mempertaruhkan posisinya dengan tanpa perlindungan.
Orang-orang di lapangan mempunyai jarak cukup jauh dengan regulasi formal (rule in form), sebaliknya sudah terikat oleh ”regulasi” yang melahirkan praktik (rule in use).
Dalam kondisi seperti itu, jargon keberlanjutan dan peran negara dipertaruhkan. Kita perlu menggunakan fakta dunia kedua untuk menempuh dan meletakkan strategi pembangunan di masa yang akan datang.
Hariadi Kartodihardjo,Guru Besar pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University