logo Kompas.id
OpiniKebutuhan Manajemen Perubahan ...
Iklan

Kebutuhan Manajemen Perubahan dalam Pemilu Kita

Kampanye dan pileg telah kehilangan maknanya, masyarakat kehilangan kesempatan mengetahui rekam jejak caleg.

Oleh
AMANDA SETIORINI
· 5 menit baca
Ilustrasi
SUPRIYANTO

Ilustrasi

Beberapa waktu terakhir ini kita pasti sudah ”kenyang” dengan suguhan pesta demokrasi, baik berupa keriuhan debat para pasangan calon presiden-wakil presiden maupun maraknya poster para calon anggota legislatif di setiap ruas jalan yang dilalui.

Satu hal yang menarik, kebanyakan poster tersebut menampilkan foto diri calon anggota legislatif (caleg). Padahal, pada surat suara nanti, tidak mungkin foto semua caleg yang mengikuti pertarungan ditampilkan. Di sinilah—antara lain—terlihat betapa kampanye dan pemilu kita kehilangan maknanya.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Pertama, kita kehilangan kesempatan untuk mengetahui rekam jejak calon tersebut: siapa dia, apa latar belakang pendidikannya, kemampuan apa yang dia miliki dan nanti akan dibutuhkan dalam kedudukannya sebagai anggota legislatif, dan seterusnya.

Ibarat saat menyeleksi karyawan untuk sebuah pekerjaan, tentu kita perlu mengetahui kesesuaian antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan pelamar tersebut. Jika tidak, bagaimana ia bisa bekerja dengan baik?

Baca juga: Menelaah Daftar Caleg Partai Politik di Pemilu 2024

Namun, bukan berarti, misalnya, seorang penyanyi lalu tidak memiliki kesempatan untuk menjadi anggota legislatif. Namun, katakanlah begini, penyanyi tersebut perlu memahami apa yang akan diperjuangkannya saat duduk sebagai anggota legislatif. Misalnya, dengan memahami dunia industri kreatif seperti seni, ia dapat mengusulkan undang-undang untuk melindungi para pekerja seni.

Atau, atlet olahraga yang memperjuangkan nasib para atlet—kita tentu sudah mendengar banyak mantan atlet yang pada masa tuanya berada dalam posisi yang sangat kekurangan. Singkatnya, masuk sebagai anggota legislatif sesuai dengan pengalaman, kompetensi, dan keterampilan yang dimiliki.

Perkara lain, kampanye selalu saja hanya menjadi ajang bagi-bagi sembako (dan uang). Tentu, niat baiknya adalah mengenalkan si caleg kepada masyarakat. Namun, yang kemudian menjadi proyek utama adalah ”bagi-baginya”, bukan ”pengenalannya”.

Coba saja hitung berapa banyak caleg yang menyampaikan visi-misinya kepada masyarakat, dibandingkan mereka yang memberi sembako (dan uang) beserta pengumpulan identitas warga yang menerima? Itu pun, yang mendatangi masyarakat adalah tim suksesnya, bukan caleg itu sendiri (Liputan Investigasi Kompas, 19 Januari 2024).

Sama seperti ketika sekolah dahulu diajari bahwa ”perut yang lapar membuat tidak bisa berpikir”, maka di sini yang berlaku adalah ”perut yang lapar membuat tidak bisa memilih”. Tidak salah juga memberikan sembako (baca: memenuhi kebutuhan masyarakat), tetapi penyampaian visi-misi dan pengenalan caleg jangan sampai dilewatkan.

Atau, jangan-jangan visi-misi tidak perlu disampaikan karena—jika toh nanti terpilih—anggota legislatif tersebut tidak bisa berbuat banyak karena berbagai kepentingan yang menjerat? Semua rencana dan niat baik yang disusunnya saat mencalonkan diri ”bubar jalan” ketika duduk di parlemen? Hal ini terkait dengan poin berikutnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/BiIZFelF0opDx9ex6ksRW1J3VQ8=/1024x853/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F17%2F26995009-3263-4f43-b324-9b21b8e3691c_png.png

Kedua, kita tidak tahu apa yang dikerjakan para anggota legislatif. Dengan latar belakang partai-partai pendukungnya, kebanyakan anggota legislatif tersandera dengan berbagai kepentingan. Tentu tidak semuanya adalah kepentingan yang buruk, tetapi banyaknya kepentingan tersebut bisa membuat hati nurani siapa pun tergadaikan.

Era media sosial cukup membawa perubahan, di mana para anggota legislatif dapat menyampaikan kegiatan-kegiatan mereka kepada masyarakat. Sayangnya, masih banyak sidang yang dilakukan secara tertutup, entah dengan pertimbangan apa. Toh, lembaga ini bukan perusahaan pribadi. Keterbukaan informasi kepada publik seharusnya menjadi hal yang utama.

Ketiga, kita tidak memiliki sarana untuk menilai kinerja anggota legislatif. Anggota legislatif kita adalah tenaga kerja dengan gaji tertinggi di Indonesia (dan mungkin juga di dunia) yang tidak memiliki pengukuran kinerja dan tidak harus memberikan pertanggungjawaban pada akhir masa kerjanya.

Di perusahaan mana pun, ketika karyawan menggunakan uang perusahaan, ia harus mempertanggungjawabkan pemakaian dana tersebut: apakah untuk pembelian tiket, untuk entertain pihak lain, untuk tip, dan lain-lain.

Iklan

Setelah mereka duduk sebagai anggota legislatif, kita pun tidak tahu apa yang mereka lakukan.

Anggota legislatif kita, menggunakan uang negara (yang berasal dari pajak, tentu), tetapi tidak dimintai pertanggungjawaban atas pengeluarannya. Pun, tidak perlu mempertanggungjawabkan apa saja yang dilakukannya selama masa jabatan beserta hasil dan kendalanya (yang mustahil tidak ditemui).

Tidak heran jika banyak orang enggan terlibat dalam pesta demokrasi ini. Memilih anggota legislatif bak memilih kucing dalam karung. Setelah mereka duduk sebagai anggota legislatif, kita pun tidak tahu apa yang mereka lakukan. Lantas, kita pun tidak dapat meminta pertanggungjawaban mereka pada tugas tersebut.

Tentu saja alasan yang sering kita dengar adalah, ”Kalau tidak suka, jangan dipilih lagi saja.” Baiklah, ini bukan masalah suka atau tidak suka, melainkan terkait kinerja mereka dan pertanggungjawabannya. Jangan lupa bahwa mereka digaji oleh negara dengan menggunakan pajak masyarakat.

Sudah saatnya melakukan perbaikan pada pemilihan anggota legislatif kita. Pertama, berikan mereka tempat yang sesuai: pekerjaan mereka adalah mewakili masyarakat. Jadi, pastikan mereka melakukan tugas itu dengan sebaik-baiknya.

Apakah mereka hanya mendatangi konstituennya pada saat menjelang pemilihan? Apakah mereka memahami masalah yang ada di daerah pemilihannya? Apakah ada rekam jejak korupsi dalam kariernya?

Jika ada kriteria yang ”tidak pas”, jangan dipilih. Sama seperti ketika memilih karyawan yang akan bekerja di perusahaan, bukan? Masih banyak calon lain yang mungkin lebih peduli untuk mengisi jabatan tersebut dengan benar dan memperhatikan masyarakat yang diwakilinya.

https://cdn-assetd.kompas.id/VNMOHUt6NvxIEjyoCrVwhvTfiMI=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F13%2Fc3d00e38-a892-49d4-baa9-1c2a5bb930d6_jpg.jpg

Kedua, sudah bukan zamannya lagi menggunakan politik uang, pun sembako. Bisa jadi ini adalah hal yang sulit dilakukan, tetapi perlu dimulai. Memang betul bahwa mereka yang menerima belum tentu memilih, tetapi menerima saja sudah akan menyuburkan iklim tidak sehat ini.

”Memangnya kami peduli? Yang penting, kan, dapat sembako,” mungkin begitu yang ada di benak para penerima. Namun, bukankah kepedulian ini yang dibutuhkan? Kepedulian untuk memilih orang yang akan peduli kepada kita.

Kepedulian ini bisa juga dilakukan dengan meminta pertanggungjawaban mereka yang mencalonkan diri kembali. Atau apa saja, yang menunjukkan bahwa kita peduli terhadap keberlangsungan negara ini dengan memilih wakil rakyat yang kompeten.

Ketiga, siapa pun mereka, jabatan apa pun, dalam setiap pekerjaan selalu ada evaluasi dan pertanggungjawaban. Nah, ini merupakan hal yang krusial. Kalau saja di akhir masa jabatan setiap anggota melaporkan kinerja mereka, berbagai proses yang terjadi sebelumnya juga akan mengalami perbaikan.

Orang-orang yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif memiliki pengetahuan apa yang diharapkan dari pekerjaan tersebut dan menyusun kompetensi yang sesuai untuk posisinya, mendapatkan penempatan yang sesuai dengan kompetensi, melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan pengalamannya, sehingga—di akhir prosesnya—dapat menghasilkan kinerja yang baik.

Baca juga: Rekamjejak.net, Ikhtiar agar Pemilih Tak Salah Pilih

Keempat, perbaikan sistem. Di antara yang lain, poin ini bisa jadi yang paling sulit dilakukan karena perbaikan sistem terkait dengan aturan-aturan yang berada di dalamnya. Pasalnya, yang membuat aturan adalah orang-orang dan lembaga yang mau diubah. Dalam manajemen perubahan, salah satu penyebab resistansi atau perlawanan terhadap ide perubahan adalah hilangnya kenyamanan yang selama ini dirasakan.

Kenyamanan yang diberikan sistem memang sulit diubah. Namun, kita bisa mengubahnya lewat kenyamanan yang selama ini diberikan masyarakat kepada para anggota legislatif. Tanyakan program kerjanya—minta program kerja yang konkret, bukan sekadar wacana. Bagi mereka yang mencalonkan diri kembali, minta pertanggungajwaban atas masa jabatan sebelumnya. Minta bertemu langsung dengan calegnya, bukan sekadar tim suksesnya.

Dan, jangan lupa, caleg tidak bisa terlepas dari partainya. Periksa kembali partai pendukungnya. Dalam hal memasarkan diri (baca: kampanye), tidak akan pernah ada kekurangan atau hal negatif yang ditampilkan. Maka, perlu diperiksa rekam jejaknya untuk melihat seberapa konsisten partai tersebut menjaga amanah yang diberikan kepadanya.

Dalam hal ini memang penting untuk menaikkan tingkat literasi (kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup—KBBI). Karena itu, pendidikan dalam bentuk apa pun perlu untuk selalu ditingkatkan. Tetap optimistis untuk menjadikan Pemilu 2024 lebih baik daripada sebelumnya karena setiap langkah—sekecil apa pun—pasti memiliki arti.

Amanda Setiorini, Dosen Fakultas Bisnis Universitas Multimedia Nusantara

Amanda Setiorini
ARSIP LINKEDIN

Amanda Setiorini

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000