Indonesia di Tengah Bangkitnya Negara Kekuatan Menengah Asia
Di tengah ketegangan dunia, penting bagi Indonesia melakukan pendekatan baru, tapi tetap berprinsip politik bebas aktif.
Dalam beberapa tahun terakhir, di tengah geo- fragmentasi ekonomi dan politik global, negara-negara berkembang di Asia tampil memegang peranan penting sebagai motor penggerak ekonomi global. Bahkan berani tampil mendorong perubahan dunia yang lebih baik melalui forum-forum internasional.
Tampilnya negara-negara tersebut menjadi satu fenomena yang menarik, terutama ditilik dari sisi peran negara-negara kekuatan menengah (middle power states) di tengah percaturan dunia internasional saat ini.
Indonesia dan India menjadi dua negara yang paling banyak jadi perbincangan. Sementara Vietnam, yang juga berambisi menjadi negara maju lewat visi Vietnam 2045, secara progresif aktif terlibat dalam kerja sama internasional strategis. Indonesia perlu menyigi posisi strategisnya sebagai negara middle power di kancah global, terutama dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Negara middle power digambarkan sebagai negara yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi serta pengaruh di tingkat global, tetapi memiliki pendekatan yang berbeda dari negara adidaya (superpower), melalui diplomasi yang lebih normatif.
Negara-negara seperti Jepang, Kanada, dan Australia telah lama masuk dalam kategori middle power. Namun, belakangan, negara-negara berkembang di kawasan Amerika Latin dan Asia juga masuk, yang kemudian disebut sebagai emerging middle power.
Indonesia perlu menyigi posisi strategisnya sebagai negara middle power di kancah global, terutama dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.
India, Indonesia, dan Vietnam masuk dalam kategori ini bukan hanya karena pertumbuhan ekonominya yang konsisten di atas pertumbuhan ekonomi dunia serta resiliensi terhadap krisis, melainkan juga karena faktor strategis regional dan internasional.
Di sisi lain, semakin aktifnya emerging middle power Asia di percaturan dunia juga tak bisa dilepaskan dari situasi dunia saat ini.
Belum pulihnya negara-negara dari pandemi Covid-19 (scaring effect), meningkatnya tensi geopolitik terutama karena konflik AS-China, melemahnya kepemimpinan global, kerja sama yang didasarkan pada aliansi sangat kental (friendshoring), serta tantangan perubahan iklim dan persaingan akses pada teknologi mendorong tren kebijakan negara-negara dunia saat ini cenderung mementingkan kepentingannya sendiri (inward looking) ketimbang mengusahakan kepentingan kolektif.
Di tengah situasi dunia yang muram, pilihan paling logis bagi emerging middle power Asia adalah proaktif dalam membangun kerja sama dan kreatif dalam melihat celah. Alih-alih memilih pendekatan normatif dalam diplomasi, saat ini mereka menjadi lebih pragmatis.
India, sebagai negara dengan kekuatan terbesar keempat di Asia berdasarkan Asia Power Index, secara masif bergerak menjalin kerja sama.
Ditopang dengan kekuatan ekonomi, demografi, konektivitas industri IT dengan negara-negara maju terutama AS, India mampu menarik investasi negara-negara maju. Di saat yang sama, keterlibatan India dalam BRICs, dan perannya dalam Kerja Sama Selatan-Selatan, secara politik dan ekonomi menguatkan posisinya di tingkat global.
Vietnam juga menunjukkan keluwesan yang sama dalam hal diplomasi politik dan ekonomi. Secara geografis dan ideologis, negara ini dekat dengan China. Namun, dari sisi ekonomi dan industri, negara ini mampu bermain di tengah dua kubu yang berkonflik (AS-China), bahkan mampu menarik investasi dari AS saat tensi kedua negara memanas.
Bermain di dua aras
Dibandingkan dengan kedua negara, Indonesia masih memiliki potensi untuk bersaing dengan India dan Vietnam. Namun, tentu masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk memantapkan posisi Indonesia di kancah global jika tidak ingin tertinggal dari peer countries di tengah situasi dunia saat ini.
Kita telah lama mengenal kalimat yang dicetuskan oleh Bung Hatta, mendayung di antara dua karang. Gagasan tersebut dicetuskan ketika dunia di antara dua kekuatan ideologi besar dunia, antara Blok Barat dan Blok Timur.
Pasca-Perang Dingin, tentu gagasan ini sepertinya tidak lagi relevan. Namun, gagasan Bung Hatta tidaklah sesederhana itu dan masih relevan dengan konteks yang dihadapi oleh Indonesia saat ini. Dunia saat ini selalu dihadapkan pada pertentangan antara kepentingan domestik versus kolektif internasional, bipolar versus multipolar, dan globalisasi versus nasionalisme. Kebijakan suatu negara sering kali dibenturkan pada dua kepentingan secara ekstrem.
Robert Putnam mencetuskan two level game yang mengilustrasikan hubungan domestik-internasional antarnegara. Akan bisa bertahan di tengah persaingan global jika kebijakan domestiknya bersinergi dengan kebijakan internasionalnya. Karena itu, perlu disadari bahwa Visi Indonesia 2045 tidak hanya aspirasi untuk menjadi negara maju secara ekonomi, tetapi juga menunjukkan pengaruh dan kepemimpinan di tingkat dunia sesuai cita-cita para pendiri bangsa.
Foreign policy begins at home. Maka, langkah kita bersaing di tingkat global harus mulai dari kebijakan domestik. Reformasi struktural menjadi kunci dalam membangun Indonesia.
Dunia saat ini selalu dihadapkan pada pertentangan antara kepentingan domestik versus kolektif internasional, bipolar versus multipolar, dan globalisasi versus nasionalisme.
Penguatan negara melalui institusi, efisiensi regulasi, dan transparansi harus ditingkatkan. Bonus demografi tidak hanya perlu diperkuat dengan perbaikan kualitas pendidikan dan tidak hanya untuk menopang pembangunan di dalam negeri. Di bidang pembangunan sumber daya manusia (SDM), masyarakat Indonesia perlu didorong untuk berkiprah di tingkat internasional.
Diaspora yang kuat dan berkualitas merupakan salah satu faktor dalam meningkatkan diplomasi kultural dan pengaruh suatu negara dalam hubungan internasional.
Pembangunan sektor industri yang menitikberatkan pada riset dan pengembangan serta penggunaan teknologi menjadi faktor yang krusial. Di saat yang sama membuka akses dan koneksi yang lebih luas dengan korporasi level dunia akan mempermudah SDM dan hasil industri terserap oleh pasar.
Langkah ini dilakukan China dan India, di mana jaringan diaspora yang luas dan kuat, serta penguatan SDM, mampu bersaing dan menduduki posisi tertinggi di korporasi tingkat dunia. Sementara konektivitas yang kuat dengan korporasi negara-negara maju juga berperan dalam memajukan sektor industrinya.
Di tingkat internasional, Indonesia memiliki reputasi yang sangat dihormati dan berkontribusi aktif dalam menjaga perdamaian dunia. Sebagai anggota ASEAN, G20, dan organisasi multilateral lain, Indonesia beberapa kali bertindak sebagai honest broker dalam menjembatani komunikasi antara negara maju dan berkembang, bahkan berhasil mendorong AS dan China bertemu pada pertemuan G20 di Bali yang sebelumnya mengalami kebuntuan.
Indonesia juga memiliki voting power yang cukup besar dalam organisasi pembangunan internasional. Kekuatan ini perlu dimanfaatkan secara strategis, tidak hanya untuk menunjang pembangunan nasional yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, tetapi juga untuk dunia yang sedang terfragmentasi.
Di sisi lain, dunia yang sedang dilanda ketegangan dan terfragmentasi membuat negara-negara saling curiga dan resisten dalam menghadapi perbedaan pendapat. Di sinilah pentingnya Indonesia melakukan pendekatan baru, tetapi tidak melenceng dari prinsip politik luar negeri bebas aktif.
Indonesia perlu menawarkan sesuatu yang kuat secara ekonomi dan sehat secara politik (economically profound and politically sound) bagi dunia.
Indonesia pernah mencatatkan sejarah dalam memperjuangkan konsep dan kedaulatan negara kepulauan dan perairan kepulauan yang diakui dunia dalam Hukum Laut Internasional. Pengakuan tersebut tidak hanya menguntungkan Indonesia secara politik dan ekonomi, tetapi negara-negara lain pun memetik manfaatnya.
Mengutip judul pidato Bung Karno, ”Vivere Pericoloso”, dunia memang sedang dalam situasi menyerempet bahaya. Indonesia, sebagai salah satu negara middle power penting, tak hanya di Asia, tetapi juga dunia, harus bangkit dan terus melakukan perbaikan untuk masyarakatnya dan dunia internasional.
Baca juga : Indonesia dalam Pusaran Geopolitik dan Geoekonomi
Bagus HandokoAnggota Kelompok Kerja Ekonomi Global, Investor Relations Unit, dan Rating, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan