Memaknai Indeks Kepariwisataan Indonesia
Sumber daya wisata Indonesia sangat berlimpah, tetapi pemanfaatannya sering kali kurang memperhatikan keberlanjutannya.
Sebelum pandemi Covid-19, peringkat Indeks Daya Saing Perjalanan dan Kepariwisataan (Travel and Tourism Competitiveness Index/TTCI) Indonesia selalu naik: dari peringkat ke-70 pada 2013 menjadi peringkat ke-50 pada 2015, peringkat ke-42 pada 2017, dan peringkat ke-40 pada 2019. Kemudian pemerintah mencanangkan target peringkat ke-34/29 pada akhir pembangunan jangka menengah, 2024. Meski selalu naik, peringkat Indonesia masih di bawah Thailand dan Malaysia yang juga menjadi sasaran kunjungan wisatawan internasional dengan jumlah lebih besar.
Setelah pandemi mereda, World Economic Forum (WEF) mengubah sistem pemeringkatannya dari TTCI dengan empat pilar menjadi lima pilar utama dalam Travel and Tourism Development Index (TTDI) 2021 yang terbit 2023. Perubahan yang menggembirakan. Indonesia naik ke peringkat ke-30, berhasil melampaui Malaysia (38) dan Thailand (35).
Empat pilar utama TTCI: pertama, lingkungan pendukung (lingkungan bisnis, keamanan dan keselamatan, kesehatan dan higiene), sumber daya manusia dan pasar tenaga kerja, serta kesiapan dalam teknologi informasi dan komunikasi. Kedua, kebijakan dan kondisi pendukung (prioritasi perjalanan dan pariwisata, keterbukaan internasional, daya saing harga, dan keberlanjutan lingkungan). Ketiga, infrastruktur (udara, darat, dan laut serta infrastruktur pariwisata). Keempat, sumber daya alam dan budaya dan perjalanan bisnis.
Sementara dalam TTDI, yang terdiri atas lima pilar utama, keberlanjutan menjadi satu pilar khusus: mencakup tak hanya keberlanjutan lingkungan, tetapi juga resiliensi dan kondisi sosial ekonomi serta tekanan dan dampak akan permintaan perjalanan dan pariwisata. Sementara itu, pilar keempat terkait sumber daya wisata dikembangkan menjadi faktor pendorong permintaan—selain sumber daya alam dan budaya juga mencakup sumber daya non-leisure.
Baca juga : Peringkat Pariwisata Indonesia Meningkat
Kenaikan peringkat Indonesia melampaui Thailand dan Malaysia belum dapat dipakai sebagai ukuran kemenangan. Namun, perlu diingat bahwa tujuan akhir kita bukanlah peringkat atau ”mengalahkan” negara tetangga dalam jumlah kunjungan wisatawan mancanegara atau perjalanan domestiknya. Perjuangan masih panjang—karena Indonesia membangun kepariwisataan untuk mendorong pembangunan dan menyejahterakan masyarakat—bukan hanya sebagai wisatawan, tetapi juga sebagai tuan rumah.
Kondisi intranasional yang dipetakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), melalui terbitannya tentang Indeks Pembangunan Kepariwisataan Nasional (IPKN) (2022), menunjukkan bahwa provinsi di luar Jawa-Bali yang masuk dalam 10 peringkat teratas adalah Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, dan Kalimantan Timur. Apakah indeks ini dapat kita pakai sebagai indikasi tingkat pembangunan kepariwisataan antarprovinsi?
Dari indeks IPKN didapatkan bahwa empat dari lima destinasi superprioritas, yaitu Toba (Sumatera Utara-14), Lombok-Gili-Tramena (NTB-11), Labuan Bajo-Komodo (NTT-23), dan Likupang (Sulawesi Utara-15) berada di provinsi dengan peringkat ke-11 hingga ke-23. Padahal, pemerintah sudah melakukan banyak hal dan mendukungnya dengan berbagai program dan anggaran yang tidak kecil, terutama, dan tidak terbatas pada pembangunan berbagai infrastruktur pendukung.
Destinasi prioritas lain, yaitu Wakatobi di Sulawesi Tenggara di peringkat ke-25 dan Raja Ampat di Papua Barat di peringkat ke-30, merupakan contoh lain kesenjangan antara destinasi prioritas dan peringkat indeks pembangunan kepariwisataan. Hal ini dapat menjadi bahan pemantauan dan evaluasi terkait dengan efektivitas upaya atau program pembangunan selama ini. Pertanyaan lain: dapatkan IPKN dipakai sebagai pertimbangan untuk memilih dan menetapkan prioritas selanjutnya yang memperhatikan kesiapan provinsi terkait?
Pada awal milenium, pemerintah pernah menggerakkan penghitungan Neraca Satelit Pariwisata Daerah (Nesparda Provinsi). Sayangnya, upaya tersebut berhenti sebelum tuntas. Dari sejumlah provinsi, di mana perhitungan pernah dilakukan, dapat dilihat angka-angka yang dapat membantu pemerintah pusat dan daerah untuk memahami posisi provinsi dalam pembangunan kepariwisataan dan posisi pariwisata di provinsi terkait.
Nesparda yang tersedia, meskipun dengan tahun perhitungan yang berbeda-beda, secara jelas memperlihatkan variasi antarprovinsi. Contohnya, bagi Bali (2007), kontribusi pariwisata terhadap PDB sebesar 46,16 persen, bagi DKI Jakarta (2009) hanya 5,85 persen, Jawa Barat (2010) 3,91 persen, Riau (2007) 2,14 persen, Sumatera Selatan (2006) 1,07 persen. Angka nasional saat itu (2008) menunjukkan kontribusi pariwisata sebesar 4,7 persen.
Hasil perhitungan tersebut mengindikasikan tingkat kepentingan pariwisata bagi tiap-tiap daerah yang bervariasi, terlepas dari keberadaan sumber daya wisata di wilayah masing-masing. Apabila perhitungan ini untuk semua provinsi, perbandingan hasilnya dapat dipakai sebagai salah satu pertimbangan dalam prioritasi pembangunan kepariwisataan nasional. Apabila dilakukan berkala, hal ini akan dapat mengindikasikan dampak pembangunan di sejumlah provinsi terpilih, sebagai bahan evaluasi.
Intinya, Indonesia sebagai negara besar yang sangat majemuk dalam berbagai sisi perlu memahami perbedaan/variasi antarprovinsi dan menyadari bahwa angka nasional tidak mewakili kondisi provinsi mana pun.
Secara umum dapat dilihat adanya keterkaitan antara tingkat kemajuan negara dilihat dari pendapatan per kapitanya dengan peringkat dalam TTDI.
Dalam kaitannya dengan TTDI, juga perlu disadari bahwa penilaian (2021) dilakukan terhadap 117 negara, mencakup negara besar (China, India, AS, Indonesia) ataupun negara kecil/pulau kecil dari segi penduduk, misalnya Benin (13 juta), Moldova (3,3 juta), Lesotho (2,3 juta), Maladewa (0,5 juta). Selain itu, pemeringkatan TTDI dilakukan terhadap negara dengan pendapatan per kapita yang sangat bervariasi: 45 negara dengan pendapatan di atas 12.696 dollar AS, 33 negara dengan pendapatan 4.096 dollar AS-12.695 dollar AS, 33 negara dengan pendapatan 1.046 dollar AS-4.095 dollar AS (termasuk Indonesia), dan 6 negara dengan pendapatan kurang dari 1.045 dollar AS.
Di kelompok masing-masing, Indonesia, China, dan Jepang mencapai peringkat tertinggi dalam kelompoknya. Lima dari enam negara dengan pendapatan terendah berada dalam peringkat 10 persen terbawah. Secara umum dapat dilihat adanya keterkaitan antara tingkat kemajuan negara dilihat dari pendapatan per kapitanya dan peringkat dalam TTDI.
Dengan memperhatikan pengelompokan tersebut, Indonesia (32) boleh berbangga menjadi juara di kelompoknya, melampaui negara besar lain: India (54); juga tidak hanya karena berada di peringkat yang lebih tinggi dari Malaysia (38), Thailand (35), dan Brasil (49) yang sudah masuk ke dalam kelompok pendapatan per kapita lebih tinggi. Bahkan, Indonesia juga melampaui Saudi Arabia (33), Chile (34), atau Qatar (43) yang berada di tingkat pendapatan lebih tinggi lagi.
Esensinya adalah memaknai dan menyikapi peringkat secara lebih rasional dengan nalar yang tidak emosional serta menggunakan penilaian rincinya untuk menemu kenali kelemahan yang harus diperbaiki. Kita boleh berbangga, tetapi tetap mawas untuk justru melihat di mana kekurangan masih ditemukan.
Kekurangan
Dalam perjalanan waktu, infrastruktur transportasi sudah mengalami banyak kemajuan, tetapi kekurangan justru masih di infrastruktur pariwisata; dan berbagai infrastruktur dasar yang terkait dengan masalah kesehatan dan kesehatan lingkungan, masalah keamanan, terutama di dan di sekitar destinasi yang masih perlu ditingkatkan.
Dalam hal tenaga kerja, masalahnya bukan sekadar jumlah tenaga kerja dan serapan, tetapi kesesuaiannya dengan permintaan pasar tenaga kerja (kebutuhan industri ataupun pemerintah), dan pekerjaan layak yang ramah lingkungan (green jobs). Masalah lain yang masih menunjukkan kesenjangan adalah pemanfaatan dan penguasaan teknologi informasi.
Masalah lain terkait dengan sumber daya alam dan budaya yang meskipun berlimpah, tetapi justru kelestarian dan kesiapannya untuk menjadi daya tarik bagi wisatawan masih kurang. Salah satu kelemahan lain dalam menciptakan/mendorong permintaan adalah ketersediaan/kondisi sumber daya non-leisure. Hal terakhir ini menunjukkan keterkaitannya dengan fungsi bisnis yang dapat menarik wisatawan non-leisure yang umumnya berada di kota/kota besar.
Baca juga : Skor Indeks Pengembangan Perjalanan dan Pariwisata 2021 Global Stagnan
Sejauh ini tampaknya pengembangan pariwisata perkotaan belum mendapat perhatian khusus apabila dibandingkan dengan wisata perdesaan (desa wisata) yang menjadi program prioritas dan banyak didukung oleh kementerian lain. Pariwisata perkotaan tampaknya masih lepas dari perhatian kebijakan kepariwisataan Indonesia. Sejumlah kota mengembangkannya menurut selera masing-masing, bahkan tanpa ragu menggunakan berbagai ikon dari negara lain.
Belakangan kita juga dihadapkan dengan adanya Meaningful Tourism Index, yang mengukur sejauh mana pariwisata mempunyai makna bagi para pemangku di 88 negara yang dinilai, termasuk Indonesia. Indeks yang dikembangkan oleh Meaningful Tourism Center di Hamburg ini menggunakan 72 indikator untuk negara-negara yang dalam lima tahun terakhir sedikitnya mencapai besaran 2 miliar dollar AS dalam setahun. Penilaian mencakup tujuh kategori: industri pariwisata nasional dan infrastruktur, dan situasi keberlanjutan yang dialami oleh pemangku: wisatawan; masyarakat tuan rumah, pekerja dalam industri pariwisata, penyedia layanan, pemerintah, dan lingkungan.
Dalam semua kategori tersebut, Indonesia antara lain muncul dalam 10 besar terkait dengan kekayaan sumber daya alamnya dan masuk dalam 10 terbawah untuk lingkungan. Artinya, potensi utama Indonesia terletak dalam kekayaan sumber daya alam yang berada dalam kondisi kurang baik.
Dari berbagai sudut pandang lain, penilaian menunjukkan bahwa Indonesia masih perlu melakukan perbaikan dalam memberikan kepuasan wisatawan, menjadi lebih ramah sebagai tuan rumah, memperbaiki kondisi pekerja sektor pariwisata, serta kinerja penyedia layanan (industri), kualitas pengelolaan yang terkait dengan fungsi pemerintah, dan tentu saja bukti keberlanjutan lingkungan di berbagai destinasi.
Penilaian menarik lain adalah tentang negara terindah, yang dilakukan oleh sejumlah lembaga; Indonesia sering kali masuk sebagai salah satu negara terindah, bahkan tahun 2023 ini disebut oleh Forbes.com sebagai terindah di dunia.
Kesimpulannya, dari sisi sumber daya wisata, potensi Indonesia tidak diragukan, bahkan luar biasa, baik di darat maupun di perairan. Kebijakan pendukung yang propariwisata juga cukup (sangat) kuat, termasuk dalam hal keterbukaan internasional. Capaian yang, antara lain, diukur dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara belum memenuhi harapan. Paling tidak sejumlah indikator di atas telah mengungkapkan berbagai kelemahan sebagai tuan rumah dan memberi kesempatan bertindak secara lebih cerdas.
Sumber daya wisata yang berlimpah masih perlu diwaspadai pemanfaatan yang sering kali kurang bertanggung jawab, kurang memperhatikan keberlanjutan/kelestariannya. Infrastruktur, terutama jalan, sudah diprioritaskan dan dibangun dengan cepat di berbagai destinasi, tetapi infrastruktur dasar di banyak lokasi/destinasi kurang/belum memenuhi standar. Banjir masih terjadi di sekitar kawasan pariwisata prioritas.
Masyarakat lokal yang sudah diberdayakan melalui berbagai program di berbagai destinasi masih belum tampak mampu menjadi pemain utama dan belum semua dapat masuk ke dalam pasar tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Pemanfaatan teknologi informasi juga dinilai masih perlu ditingkatkan.
Kekurangan ini perlu segera diatasi dan sebaiknya kita tidak bersaing dengan membanting harga atau melunakkan peraturan untuk menarik investasi tanpa pilih-pilih, dan membuka lebar gerbang internasional yang rentan wisatawan gadungan, demi mengejar target kunjungan yang dipengaruhi oleh banyak hal lain.
Masyarakat lokal yang sudah diberdayakan melalui berbagai program di berbagai destinasi masih belum tampak mampu menjadi pemain utama.
Kita perlu fokus pada penyiapan dan kesiapan masyarakat untuk bersaing, tanpa mengorbankan jati diri dan mengganggu kelestarian sumber daya yang dimiliki. Perjalanan masih jauh, Indonesia masih tergolong muda sebagai destinasi ataupun sebagai pasar jika dibandingkan dengan sejumlah negara maju, seperti disebutkan sebelumnya. Indonesia juga tampak masih bingung dalam memosisikan pariwisata dalam kepemerintahan. Hal ini ditandai dengan perubahan yang belum kunjung berhenti atas kelembagaan yang dipasrahi untuk mengurus pariwisata pascakemerdekaan.
Satu hal yang jelas, dari penilaian di atas, Indonesia sudah mendapat nilai baik untuk keterbukaan internasional; peningkatan dalam infrastruktur transportasi. Sementara nilai kurang masih melekat pada masalah mendasar: kesehatan lingkungan, kelestarian lingkungan alam, konservasi warisan budaya, dan pasar tenaga kerja.
Daripada membuka lebar pintu masuk yang penuh risiko, mari kita melakukan pembenahan internal seperti diungkapkan di atas. Mari kita memilih destinasi prioritas juga dari sisi kesiapan daerah, melangkah maju, bangkit lebih baik dan lebih kuat dengan kecepatan sesuai kemampuan.
Myra P Gunawan, Pemerhati Kepariwisataan