Pembengkakan biaya kesehatan terjadi, antara lain, karena jumlah kasus penyakit katastropik terus bertambah.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Tanpa upaya mitigasi, defisit, bahkan potensi gagal bayar, kembali mengancam nasib pendanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ke depan (Kompas, 12/1/2024).
Peringatan itu diungkapkan kalangan praktisi dan pengamat jaminan sosial nasional. Tahun ini defisit antara pembayaran klaim manfaat dan penerimaan iuran diperkirakan mencapai Rp 19 triliun. Defisit yang kemungkinan terus membesar ini akan menggerus dana jaminan kesehatan BPJS Kesehatan; dan jika tak segera ditanggulangi, pada akhirnya akan mengancam kesinambungan program JKN itu sendiri.
Untuk mengatasi defisit ini, opsi menaikkan tarif iuran yang haus dibayar masyarakat, dinilai menjadi keniscayaan. Persoalannya, menaikkan iuran sudah pasti bukan langkah populer, terlebih di tahun politik seperti sekarang.
Pembengkakan biaya kesehatan itu terjadi seiring meningkatnya pemanfaatan layanan dan terus bertambahnya kasus penyakit katastropik di masyarakat, sebagai penyumbang terbesar peningkatan biaya kesehatan secara nasional.
Langkah pemerintah menaikkan tarif Indonesian Case Base Groups (INA-CBG’s) dan biaya kapitasi yang dibayarkan ke fasilitas kesehatan pada 2023 juga menyumbang pada pembengkakan biaya manfaat. Ditambah lagi, perluasan manfaat baru seperti perawatan Covid-19 dan vaksinasi untuk peserta penerima bantuan iuran yang kini juga ditanggung JKN.
Semua itu kian membebani program JKN. Persoalannya, kenaikan biaya manfaat ini tak ditopang oleh meningkatnya pendanaan dari iuran peserta. Iuran terakhir naik pada 2020. Berdasarkan Perpres Nomor 82 Tahun 2018, tarif iuran disesuaikan dua tahun sekali. Namun, dari pengalaman sebelumnya, kenaikan iuran selalu jadi isu sensitif dan memunculkan reaksi penolakan. Belum lagi dampak berupa risiko naiknya tunggakan iuran dan terhambatnya target cakupan kesehatan semesta.
Selain menaikkan tarif iuran, upaya menekan defisit juga harus didorong melalui upaya meningkatkan kepesertaan aktif progam JKN itu sendiri dan mengendalikan biaya manfaat. Khususnya biaya CBG, dengan menekan rasio rujukan dan meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Langkah lain, memperketat pengawasan untuk mencegah fraud. Tudingan fraud dalam pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan membuat Mahkamah Agung membatalkan perpres yang menaikkan iuran pada 2020.
Beberapa mitigasi lain yang pernah diwacanakan adalah peninjauan manfaat jaminan kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan, mengurangi manfaat jaminan kesehatan yang diterima peserta JKN, mengeluarkan orang kaya dari beban JKN, dan menerapkan kebijakan mandatori keanggotaan JKN bagi pengguna beberapa layanan penting pemerintah.
Namun, semua langkah ini memunculkan polemik karena bertentangan dengan tujuan program JKN itu sendiri. Jangka pendek, opsi menaikkan iuran tampaknya sulit dihindari. Tak kalah penting, dalam jangka lebih panjang, pemerintah harus lebih serius mendorong upaya promotif/preventif guna menekan angka kasus penyakit, sekaligus beban biaya kesehatan.