Indonesia dalam Pusaran Geopolitik dan Geoekonomi
Pengampu diplomasi Indonesia mencari keseimbangan antara kebijakan bersifat strategis dan kebijakan di tataran praksis.
Berbeda dengan penyelenggaraan pemilihan umum beberapa periode lalu, proses menuju pesta demokrasi Indonesia 2024 ditandai dengan diangkatnya tema hubungan internasional dan geopolitik dalam debat calon presiden pada 7 Januari 2024.
Sehari sesudahnya pada 8 Januari 2024, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri 2024 (PPTM 2024). Persinggungan waktu dari kegiatan debat capres dan PPTM ini tentu hanya kebetulan karena jadwal PPTM sudah ditetapkan sejak semester II-2023.
Penyampaian PPTM selalu dicermati para pengamat kebijakan luar negeri Indonesia untuk menakar pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya dan mengetahui prioritas Indonesia ke depan.
Pada kesempatan itu, Menlu RI memaparkan perjalanan diplomasi Indonesia untuk kurun waktu sembilan tahun terakhir berdasarkan prioritas 4+1. Prioritas 4+1 yang secara berkesinambungan dijalankan dari tahun ke tahun mencakup diplomasi ekonomi, perlindungan WNI, diplomasi kedaulatan, perdamaian dan stabilitas kawasan dan dunia, serta penguatan infrastruktur diplomasi.
Pengampu diplomasi Indonesia mencari keseimbangan antara kebijakan yang bersifat strategis dan kebijakan yang berada di tataran praksis, yaitu yang langsung menyentuh hajat hidup masyarakat.
Melalui penetapan prioritas ini, pengampu diplomasi Indonesia mencari keseimbangan antara kebijakan yang bersifat strategis dan kebijakan yang berada di tataran praksis, yaitu yang langsung menyentuh hajat hidup masyarakat Indonesia pada umumnya.
Itu sebabnya, dalam dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, diplomasi ekonomi dan perlindungan WNI dijadikan alat ukur capaian konkret para pelaku diplomasi Indonesia di mancanegara.
Sembilan tahun menavigasi kepentingan Indonesia di tengah pusaran geopolitik dan geoekonomi internasional yang dinamis tentu bukanlah perkara mudah. Banyak masalah, tantangan, bahkan onak dan duri yang harus dihadapi, disikapi, dan direspons dari waktu ke waktu.
Di sisi lain, kerja diplomasi tidaklah sebatas pada merespons. Kerja diplomasi juga harus mampu memunculkan gagasan dan mengarusutamakannya agar Indonesia tetap diperhitungkan dalam percaturan politik global. Hal ini yang telah dan akan terus dilakukan Indonesia.
Gagasan atau kekuatan dari suatu gagasan merupakan denyut nadi dari diplomasi Indonesia. Hal ini antara lain dibuktikan saat Indonesia menggagas dan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 1955.
KAA merupakan cerminan semangat zaman pasca-Perang Dunia II. Hasil akhir dari KAA 1955 hingga sekarang tetap menjadi suluh yang mempertautkan suasana kebatinan negara-negara berkembang untuk berjuang mengatasi berbagai tantangan pembangunan yang mereka hadapi. Negara-negara tersebut kini kerap diistilahkan sebagai The Global South.
Kerja diplomasi tidaklah sebatas pada merespons. Kerja diplomasi juga harus mampu memunculkan gagasan dan mengarusutamakannya.
Pada 2019, salah satu contoh kepemimpinan Indonesia tecermin lewat gagasan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP). Melalui AOIP, Indonesia ingin menjadikan ASEAN sebagai tuan rumah di kawasan (master of their own destiny). Tidak semata-mata menjadi obyek rivalitas geopolitik dan geoekonomi negara-negara besar, khususnya antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat China (RRC).
Perspektif dan rancang bangun AOIP yang bersifat konkret dan inklusif ini kemudian mendorong negara-negara yang memiliki kepentingan dan kepedulian atas kawasan Indo-Pasifik untuk memberikan dukungan mereka. Namun, beberapa negara, termasuk AS, muncul dengan visi dan perspektif Indo-Pasifik mereka.
Adalah satu keniscayaan apabila perspektif yang dimunculkan negara-negara itu tidaklah selalu seirama dengan apa yang diinginkan Indonesia. Namun, terdapat benang merah dari berbagai perspektif yang mencerminkan kesamaan harapan bagi stabilitas dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik sehingga terwujud kemakmuran.
Baca Juga: Politik Luar Negeri Indonesia, Potensi Besar Belum Tergarap Maksimal
Saat mengetuai ASEAN pada 2023, Indonesia menyelenggarakan ASEAN-Indo-Pacific Forum sebagai turunan dari konsepsi AOIP. Dari forum itu, dicatat 93 kesepakatan proyek kerja sama bernilai 38,2 miliar dollar AS. Sebesar 13,5 miliar dollar AS di antaranya di bidang kesehatan, pengolahan mineral, dan keuangan milik swasta Indonesia.
Dalam konteks keberhasilan mengarusutamakan gagasan ini, adalah tepat kiranya apabila Menlu Retno mengutip Lowy Institute yang pada 2023 menempatkan Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) di Asia dengan pengaruh diplomatik dan kekuatan yang komprehensif dan terus meningkat.
Lebih jauh lagi, Lowy Institute menyebutkan, pengaruh diplomasi Indonesia yang terus meningkat, antara lain didorong oleh peran penting Indonesia selaku Ketua ASEAN pada 2023 dan Ketua Kelompok Negara-negara 20 (G20) pada 2022.
Kiprah diplomasi dan kepemimpinan Indonesia di tingkat global ini telah meningkatkan rasa percaya masyarakat dunia atas Indonesia. Salah satunya tecermin dengan terpilihnya Indonesia sebanyak enam kali sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB (Dewan HAM PBB). Bahkan, dalam pencalonan untuk periode 2024-2026, Indonesia memperoleh dukungan suara terbanyak, yaitu 186 dari 192 negara, mengungguli negara-negara calon anggota yang lain.
Tingkat kepercayaan internasional yang tinggi atas Indonesia di Dewan HAM ini sudah sepatutnya dibarengi dengan kesinambungan upaya untuk meningkatkan perlindungan dan pemajuan HAM di dalam negeri, seraya memperkokoh infrastruktur dan kinerja demokrasi Indonesia.
Kiprah diplomasi dan kepemimpinan Indonesia di tingkat global ini telah meningkatkan rasa percaya masyarakat dunia atas Indonesia.
Tantangan ke depan
Dalam banyak kesempatan di tahun 2023, Presiden Joko Widodo—juga kerap diungkapkan Menlu RI—menyebutkan bahwa kondisi internasional saat ini sedang tidak baik-baik saja. Sewaktu masyarakat internasional tengah berupaya bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19, pada 2022, pecah perang di Ukraina yang mendorong ketegangan global baru.
Berbeda dengan era Perang Dingin yang melahirkan pengelompokan kepentingan atau polaritas, yakni Blok Barat dan Blok Timur serta Gerakan Non-Blok, realitas atau kondisi internasional dewasa ini tampak lebih cair.
Indonesia sendiri, posisi prinsipnya atas perang di Ukraina, dapat dicermati melalui suara atau voting yang diberikan di Majelis Umum PBB. Di sisi lain, Indonesia secara bilateral mencoba berkontribusi dalam penanganan ekses dari peperangan dengan menjalin komunikasi yang baik terhadap Rusia dan Ukraina.
Untuk itulah, saat menjadi Ketua G20, Indonesia fokus berdiplomasi agar gandum dan pupuk yang menyentuh hajat hidup masyarakat dunia dapat diberikan akses ekspor, keluar dari zona perang.
Contoh lain, persaingan internasional dalam konteks geoekonomi dewasa ini adalah perluasan keanggotaan BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) yang kini mengikutsertakan Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Etiopia, dan Mesir.
Namun, perkembangan ini tidak serta-merta dapat dibaca sebagai suatu kumpulan atau persamuhan untuk melawan hegemoni AS, karena Arab Saudi dan UEA khususnya, memiliki kedekatan hubungan dengan AS.
Kompleksitas pusaran geopolitik dan geoekonomi internasional ini masih akan berlanjut pada 2024, bahkan diperkeruh sejak akhir kuartal 2023 dengan eskalasi perang di Gaza.
Konflik Israel-Palestina yang kerap diistilahkan sebagai ”ibu dari semua konflik” (mother of all conflicts) kini kembali menjadi fokus perhatian dunia internasional setelah terpinggirkan oleh konflik-konflik lain, termasuk perang di Ukraina.
Selain itu, upaya untuk menormalkan Israel di mata negara-negara Timur Tengah dan Islam pada umumnya melalui Abraham Accord sempat pula melenakan perjuangan bangsa-bangsa di dunia bagi kemerdekaan Palestina.
Indonesia termasuk sedikit dari negara yang secara konsisten berdiri di depan untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Indonesia di berbagai forum internasional secara konsisten terus menggugah empati masyarakat dunia atas penderitaan bangsa Palestina.
Indonesia juga mengingatkan The Global South soal belum tuntasnya isu dekolonisasi Palestina pasca-KAA 1955.
Dalam kaitan ini, komitmen yang telah diutarakan para calon presiden apabila terpilih untuk melanjutkan ikhtiar diplomasi Indonesia bagi kemerdekaan Palestina merupakan keberlanjutan dari konsistensi sikap Indonesia. Konsistensi sikap ini dilandasi Mukadimah UUD 1945 yang menegaskan, kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
Indonesia termasuk sedikit dari negara yang secara konsisten berdiri di depan untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina
Memasuki tahun ke-10 pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia telah menampilkan kinerja diplomasi yang lentur, tetapi terukur, seraya tetap berpegang pada nilai-nilai dasar bangsa, posisi prinsip Indonesia, dan tentu politik luar negeri bebas aktif.
Siapa pun capres yang terpilih nanti diharapkan dapat menjalankan amanah dan kekuasaan (power) yang dititipkan publik kepadanya secara bijak. Termasuk, dalam menjalankan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia.
Lev Nikolayevich Tolstoy, penulis yang lebih dikenal dengan nama Leo Tolstoy, dalam novelnya, War and Peace, menyebutkan, ”Power is the sum total of the wills of the masses, transferred by express or tacit agreement to rulers chosen by the masses”.
Mesin diplomasi yang akan mengawal pelaksanaan diplomasi pasca-pemerintahan Presiden Joko Widodo kiranya akan selaras dengan harapan yang disampaikan Menlu Retno saat menutup pernyataan persnya, yaitu sosok diplomat yang senantiasa menjalankan profesionalisme, bermartabat, dan terus menebarkan energi positif serta kebajikan.
Pada akhirnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) patut diapresiasi atas diangkatnya tema hubungan internasional yang strategis ini dalam debat calon presiden.
Terlebih lagi, banyak pihak di dalam dan luar negeri yang ingin sedari awal mengetahui kiat-kiat para capres dalam menyikapi berbagai isu geopolitik dan geoekonomi seiring dengan makin diakuinya peran Indonesia sebagai middle power di Asia.
*Teuku Faizasyah, Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan Eslandia