Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran lisan dan tulisan, dilindungi oleh undang-undang.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 jelas memberikan kesempatan kepada siapa pun warga negara Indonesia untuk mengeluarkan pendapatnya. Tentu termasuk di dalam ketentuan ini adalah memberikan kritik atau masukan terhadap pemerintah atau aparatur pemerintahan yang sedang berkuasa. Undang-undang yang dibuat untuk mengatur lebih lanjut ketentuan dalam konstitusi itu bukanlah untuk membatasi hak warga negara, melainkan agar penyampaian hak itu tak mengganggu ketertiban umum.
Pasal 28F UUD 1945 menambahkan, ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Pasal ini menguatkan setiap warga negara bisa menyampaikan pendapat, termasuk kritik kepada pemerintah atau aparatur pemerintah, melalui media komunikasi apa pun. Apalagi, Pasal 28E Ayat (3) menyatakan pula, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Oleh sebab itu, sebuah kemunduran dalam berdemokrasi dan penghargaan pada hak asasi manusia (HAM) di negeri ini ketika dua aktivis, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ke Polda Metro Jaya. Keduanya dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, yang diubah dengan UU No 19/2016, mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Haris dan Fatia membuat konten berjudul ”Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya! Jenderal BIN Juga Ada!” yang ditayangkan di kanal Youtube pada 20 Agustus 2021.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dipimpin Cokorda Gede Arthana, dengan anggota hakim Agam Syarief Baharudin dan Mohammad Djohar Arifin, memutuskan membebaskan keduanya dari dakwaan melakukan pencemaran nama baik Luhut dan penyebaran berita bohong. Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut Haris dengan hukuman 4 tahun penjara dan Fatia dituntut 3,5 tahun penjara. Jaksa menyatakan kasasi atas putusan itu.
Dalam pertimbangannya, Senin (8/1/2024), di Jakarta, majelis hakim menyatakan, seorang pejabat harus siap mendapatkan kritik, baik secara personal maupun kebijakan. Kritik terhadap pejabat memiliki legitimasi karena dilindungi konstitusi, standar hukum, HAM, serta kovenan hak sipil dan politik yang sudah diratifikasi di Indonesia (Kompas, 9/1/2024).
Kita mengapresiasi putusan majelis hakim itu, yang menjadi penanda penghargaan kepada HAM dan tetap tegaknya demokrasi di tengah kondisi bernegara yang seperti kehilangan panutan. Namun, kebebasan ini bukan tanpa batas. Tetaplah bersuara kritis dan berani menyampaikan kebenaran.