Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Sebaiknya Terbuka
Meski secara normatif prosesnya tertuang dalam permendagri, lebih bijaksana apabila hasil rapat TPA diumumkan terbuka.
Oleh
M HARRY MULYA ZEIN
·3 menit baca
Pengangkatan penjabat gubernur, bupati, dan wali kota saat ini dilakukan di beberapa daerah, sebagai pejabat sementara karena kepala daerahnya sudah selesai masa baktinya. Pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Meski peraturan menteri dalam negeri (permendagri) ini mengatur secara normatif tata cara proses perekrutan, di lapangan banyak terjadi penolakan terhadap pengangkatan penjabat droping atau yang ditunjuk pemerintah pusat.
Alasan penolakan adalah penjabat yang ditugaskan di daerah tidak memiliki dan memahami pengetahuan teritorial dan sosial budaya masyarakat lokal di daerah penjabat kepala daerah itu ditempatkan. Bahkan, wujud ungkapan penolakan itu dalam bentuk aksi unjuk rasa.
Berdasarkan Permendagri Nomor 4 Tahun 2023, Pasal 9 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), pengusulan penjabat bupati dan penjabat wali kota dilakukan oleh: a) menteri; b) gubernur; dan c) DPRD melalui ketua DPRD kabupaten/kota.
Ketiga entitas pejabat negara itu mengusulkan masing-masing tiga calon penjabat bupati dan wali kota yang memenuhi persyaratan kepada Presiden Republik Indonesia untuk selanjutnya dibahas dalam forum rapat tim penilai akhir (TPA) yang melibatkan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.
Meski secara normatif prosesnya tertuang dalam permendagri, alangkah lebih bijaksana apabila hasil pembahasan rapat TPA ini diumumkan secara terbuka kepada publik sehingga publik bisa menilai bahwa pengangkatan seorang penjabat bupati atau penjabat wali kota bersandarkan pada prinsip sistem merit.
Berdasarkan UU No 20/2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), sistem merit merupakan penyelenggaraan sistem manajemen ASN sesuai dengan prinsip meritokrasi.
Pada 28 September 2021, saya mengajukan permohonan pembuatan sertifikat ke BPN Jakarta Timur (nomor berkas 56663/2021) atas sisa tanah Verponding Indonesia (VI) No 990/844 atas nama eyang saya, Tjitrodarsono, yang belum dibuat sertifikat, di mana setelah dilakukan pengukuran adalah seluas 577 meter persegi.
Sebelumnya, pada tahun 1985, ayah saya, Sunarto Tjitrodarsono, telah membuat sertifikat untuk VI No 990/844 seluas 740 meter persegi atas nama beliau dengan nomor SHM M630 yang dipecah menjadi tiga sertifikat, No 5 dan No 6 dijual ayah saya pada tahun 1987 dan Sertifikat No 7 (140 meter persegi) saya jual pada tahun 2022.
Ada masalah dalam waris untuk pengurusan sertifikat ini. Namun, pada 24 Maret 2022, Ibu I (Kasi Permohonan dan Peningkatan Hak) memutuskan mengeluarkan Akta Notaris Kadiman yang dalam proses permohonan dan hanya memakai VI No 990/844 yang lengkap dengan peta bidang.
Sebagai ganti masalah pewarisan, saya diminta membuat pernyataan dari semua cucu dan cicit Eyang Tjitrodarsono yang menyatakan bahwa benar tanah VI No 990/844 adalah memang bagian waris dari ayah saya, Sunarto Tjitrodarsono. Hal ini sudah saya lakukan juga proses lapor polisi atas VI 990/844 asli yang hilang (saya hanya pegang fotokopi). Akhirnya, semua persyaratan untuk pembuatan sertifikat ini selesai pada 31 Oktober 2022.
Pada 23 Agustus 2023, saya menghadap ke Bapak R (Kasi Permohonan dan Peningkatan Hak) sebagai pengganti Ibu I. Bapak R mempermasalahkan Surat Keterangan Waris yang telah dibuat keluarga atas anjuran Ibu I. Bagi saya, membingungkan sekali kalau pejabat yang berbeda mempunyai kebijakan yang berbeda. Kalau saya masuk kantor BPN Jakarta Timur tertulis di dinding lobi, ”Melayani Profesional, Terpercaya” yang ternyata pejabat BPN Jakarta Timur tidak profesional seperti yang diharapkan.
Pada 20 September 2023 saya mengadukan hal ini ke 08111068000, tetapi hanya dijawab akan dikoordinasikan dengan BPN Jakarta Timur tanpa tindak lanjut lagi.
Mohon bantuan pihak terkait untuk menyelesaikan sertifikat saya. Terima kasih.