Tahun Naga 2024 dan Potensi Perang di Laut China Selatan
Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia hendaknya terus memainkan peran diplomasi maritim yang cerdas.
Tahun 2023 baru saja berlalu dan kini kita memasuki tahun 2024 yang menurut zodiak China merupakan Tahun Naga. Sebuah shio yang diyakini memiliki karakter penuh semangat dan energi sekaligus merupakan simbol kekuasaan.
Dalam kebudayaan China, naga juga simbol kebaikan dan keberuntungan, suatu yang sangat berbeda dengan persepsi masyarakat Barat yang menganggap naga sebagai makhluk buruk dan jahat (Yoswara et al, 2011). Tahun Naga dalam tradisi budaya China disambut antusias karena dianggap sebagai tahun istimewa.
Dikaitkan dengan realitas geopolitik di Laut China Selatan (LCS), pada Tahun Naga 2024, potensi konflik di sana antara China dan negara-negara klaiman lain diperkirakan kian tajam, terutama dengan Filipina yang sepanjang 2023 sering terlibat insiden dengan kapal-kapal penjaga pantai China.
Agresivitas China dalam mempertahankan klaimnya atas perairan itu dengan memperagakan banalitas kapal-kapal penjaga pantainya atas kapal-kapal Filipina adalah indikasi peliknya penyelesaian konflik di LCS. Terlebih, dengan hadirnya armada perang Amerika Serikat, sekutu Filipina di sana dengan alasan freedom of navigation operations (FONOPs).
Agresivitas China dalam mempertahankan klaimnya atas perairan itu dengan memperagakan banalitas kapal-kapal penjaga pantainya atas kapal-kapal Filipina adalah indikasi peliknya penyelesaian konflik di LCS.
Kapal-kapal perang dari berbagai pakta pertahanan juga berlayar di LCS, seperti kapal perang Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO); aliansi kerja sama keamanan Jepang, India, AS, dan Australia yang tergabung dalam Quadrilateral Security Dialogue (QUAD); Australia, Amerika Serikat, dan Inggris (AUKUS).
Kapal-kapal perang mereka hadir di sana dengan berbagai tujuan dan kepentingan.
Sejatinya, perairan LCS yang strategis dan kaya sumber daya mineral merupakan masalah yang belum terselesaikan sejak 1947 antara China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan.
China melalui garis naga berupa ”sembilan garis putus-putus” mengklaim 90 persen perairan itu sebagai miliknya berdasarkan wilayah penangkapan ikan tradisionalnya (traditional fishing ground) dan mengabaikan semua protes negara-negara pantai LCS.
China bahkan mengubah sembilan garis itu menjadi sepuluh, dengan memasukkan seluruh perairan Taiwan ke dalam peta baru buatan Kementerian Sumber Daya Alam China, Agustus 2023. Kapal-kapal penjaga pantai China juga tampil garang, menggunakan meriam air dan sinar laser, bahkan menyenggolkan badan kapal untuk menghalau kapal-kapal yang dianggap sebagai kapal musuh.
Pada sisi lain, meskipun dalam konflik di LCS Indonesia bukan negara klaiman, Indonesia terimbas permasalahan karena China memasukkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara ke dalam garis putus-putus. Imbasnya, hak berdaulat Indonesia di ZEE jadi permasalahan antara Jakarta dan Beijing.
Dalam berbagai kesempatan, kapal-kapal ikan China secara ilegal mencuri ikan di sana yang ironisnya mendapat pengawalan dari kapal-kapal penjaga pantai China sehingga menimbulkan ketegangan dengan kapal-kapal Indonesia yang berpatroli di sana.
”Code of conduct” di LCS
Mekanisme penyelesaian konflik di LCS sebenarnya telah lama diupayakan oleh Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang berupaya membuat declaration of conduct (DoC) sebagai payung bagi code of conduct (CoC) dalam mengelola konflik di LCS.
Namun, usaha itu belum tercapai meski sudah dilakukan selama tiga dekade sejak 1992. Saat itu, ASEAN mengeluarkan ASEAN Declaration on South China Sea yang pada intinya berisi tata kelola penyelesaian sengketa secara damai di LCS.
Selanjutnya pada 2002, ASEAN bersama China mengumumkan Declaration on Conduct of the Parties in South China Sea, berisi komitmen negara-negara ASEAN dan China untuk mematuhi hukum internasional, menghormati freedom of navigation di LCS, menyelesaikan sengketa secara damai, serta menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik.
Namun, tindak lanjutnya berupa DoC/CoC di LCS belum tercapai hingga kini meski Guidelines for the Implementation of the Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea sudah disepakati pada 2011. Kabar baiknya, September 2023, ASEAN dan China sepakat untuk secepatnya menyelesaikan DoC LCS dimaksud.
Sepanjang DoC/CoC di LCS belum disepakati, gesekan antara China dan negara-negara klaiman masih berpotensi terjadi mengingat China sangat agresif mempertahankan klaim 90 persen perairan LCS sebagai miliknya.
China mengabaikan putusan PCA, padahal China merupakan salah satu negara yang sudah meratifikasi UNCLOS 1982.
China bahkan tidak mengakui keputusan Mahkamah Internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) di Den Haag tahun 2016 yang menyatakan klaim China atas LCS bertentangan dengan UNCLOS 1982.
China mengabaikan putusan PCA, padahal China merupakan salah satu negara yang sudah meratifikasi UNCLOS 1982. Selain mengabaikan putusan PCA, China juga terus mereklamasi atol di LCS dan membangun pangkalan militer di terumbu Subi, Fiery Cross, Mischief Reef, Pulau Woody, serta membuat kota seluas 800 mil di gugusan Kepulauan Spratly.
Dalam sejarah konflik di LCS, China juga tidak ragu mengobarkan perang laut di LCS sebagaimana terjadi pada 1974 dan 1988 menghadapi Vietnam yang menelan korban jiwa tentara di kedua belah pihak.
China juga menerapkan gray zone operation dengan menugaskan kapal-kapal milisi laut berupa kapal-kapal nelayan untuk ”menduduki” perairan yang disengketakan dengan pengawalan kapal penjaga pantai.
Masih belum cukup, China pun memberikan kewenangan kepada satuan penjaga pantainya untuk bertindak cursive berdasarkan perintah undang-undang (UU).
Pada Februari 2021, China mengeluarkan UU yang memberikan kewenangan kepada penjaga pantai China untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan, termasuk menggunakan senjata ketika klaim kedaulatan ataupun klaim yurisdiksi dilanggar. Satuan itu juga dapat menghancurkan bangunan yang dibuat negara lain di pulau yang diklaim China.
Indonesia, yang memegang keketuaan ASEAN tahun 2023 dan telah menyerahkannya kepada Laos sebagai ketua tahun 2024, sesungguhnya telah berupaya bersama negara-negara ASEAN mewujudkan kawasan Asia Tenggara sebagai kawasan yang stabil, aman, dan sejahtera, salah satunya dengan mempercepat proses negosiasi CoC LCS antara ASEAN dan China.
Diharapkan dalam tiga tahun ke depan CoC itu sudah dapat diselesaikan. Masalahnya, meskipun nanti CoC sudah disepakati, apakah masalah di LCS sudah berakhir? Pertanyaan itu penting diajukan sebab China, sebagai negara adidaya yang ekonominya terus tumbuh menjadi ekonomi nomor satu dunia dengan kekuatan blue water navy, memiliki catatan mengabaikan putusan PCA.
Dalam konteks seperti itulah, diplomasi maritim kooperatif ataupun diplomasi maritim persuasif (Christian Le Miere, 2014) penting untuk terus diupayakan sambil menghindari diplomasi maritim cursive.
Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia hendaknya terus memainkan peran diplomasi maritim yang cerdas melalui perkuatan kerja sama ASEAN dan China agar LCS tak berubah menjadi arena perang laut di Tahun Naga 2024 ataupun di tahun-tahun selanjutnya.
Kawasan ASEAN yang damai, stabil, dan sejahtera bisa dicapai apabila potensi konflik di LCS dapat dipadamkan.
Baca juga: ASEAN Tegaskan Kepemilikan Laut China Selatan
Marsetio, Guru Besar Universitas Pertahanan; Kepala Staf TNI Angkatan Laut 2012-2015