logo Kompas.id
OpiniMalu Menjadi Bangsa
Iklan

Malu Menjadi Bangsa

Kita malu kepada para pendiri bangsa jika pemilu dibiarkan sebagai pesta gila ketakadaban, merecoki nilai-nilai luhur.

Oleh
YASRAF A PILIANG
· 5 menit baca
Ilustrasi
KOMPAS/HERYUNANTO

Ilustrasi

Andaikan para pendiri bangsa menyaksikan rangkaian peristiwa politik menjelang pesta demokrasi, Pemilihan Presiden 2024, mereka tentu akan menangis.

Betapa tidak. Warisan nilai-nilai luhur keadaban bangsa telah digerogoti oleh perilaku politik yang merayakan individualisme, altruisme dan egoisme kelompok; keculasan, kecurangan dan kelicikan; intimidasi, ancaman dan teror; wacana ejekan, hinaan dan cercaan; manipulasi aturan hukum, etika dan norma publik.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Demokrasi bak sebuah layar, yang di baliknya bekerja kekuatan oligarki, mafia dan kartel politik, yang ikut menggerus norma publik (Asrinaldi et al, 2021). Di pihak lain, negara membungkam suara publik, hingga memasung kebebasan sipil (illiberalism) (Mietzner, 2020). Dalam kondisi demikian, para broker politik berkeliaran ke pelosok desa menawarkan jasa demi perolehan suara (Berenschot et al, 2023). Para buzzer merajalela di medsos, memanipulasi data.

Dua pesta demokrasi (2014 dan 2019) menjadi monumen kelam kerasnya polarisasi politik, yang memecah-belah anak bangsa. Ini akibat gagalnya antisipasi terhadap ekses sosial pemilihan langsung. Pada Pilpres 2024, ada tanda-tanda polarisasi akan terus mengeras, dan mengancam kesatuan bangsa. Di sini, negara mestinya menjadi mediator untuk merajut kembali persatuan bangsa. Ironisnya, negara justru menjadi bagian dari polarisasi itu—the divided society.

Di sini, negara mestinya menjadi mediator untuk merajut kembali persatuan bangsa. Ironisnya, negara justru menjadi bagian dari polarisasi itu—the divided society.

Dosa pemilu langsung

Model pemilihan langsung sebagai amanat amendemen keempat UUD 1945 tahun 2002 memiliki berbagai konsekuensi pada postur demokrasi, hubungan negara dan masyarakat politik, dan hubungan antarmasyarakat politik.

Tampaknya tak ada kajian mendalam, deliberasi publik, dan uji publik sistematis dan terukur, untuk mengantisipasi segala konsekuensi sosial itu. Aneka kegaduhan, perseteruan, dan permusuhan berujung polarisasi di setiap pilpres adalah bukti gagalnya antisipasi ini.

Pertama, pemilihan langsung butuh biaya besar sehingga uang menjadi faktor penentu. Untuk itu, berbagai pihak berkepentingan melibatkan diri dan menjadi aktor belakang layar dalam proses demokrasi, dengan dukungan finansial atau fasilitas, demi kepentingan sendiri (Tavits, 2008; Reilly, 2018).

Maka, terbentang karpet merah bagi para oligark, pialang dan kartel politik, dengan dukungan dana besar demi imbal balik keuntungan ekonomi dan/atau politik (Asrinaldi et al, 2021).

Kedua, pemilihan langsung terpusat pada individu calon pemimpin. Agar mampu bertarung, mesti dibangun opini publik tentang calon pemimpin itu melalui pencitraan, dengan cara cenderung populis: glorifikasi diri sendiri dan degradasi pihak lawan (Bouvier & Way, 2021). Karena publik umumnya tak memiliki pengetahuan komprehensif tentang calon pemimpin, pembentukan opini publik rawan dimanipulasi dengan memainkan psikologi massa, lewat media massa atau survei publik (Fishkin, 2009).

https://cdn-assetd.kompas.id/Hnq8vVlR1NMm6QHXGTb32J-SPFo=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F24%2F5498d805-e302-47f3-aff8-89df4fe74776_jpg.jpg

Ketiga, melalui pemilihan langsung, pemimpin dipilih murni berdasarkan perolehan suara terbanyak, tanpa proses deliberasi. Ini membawa ke tirani mayoritas, padahal suara mayoritas itu justru produk dari arus pendek manipulasi psikologi massa (debat publik, jajak pendapat, iklan, komunikasi politik) dengan mengabaikan rekam jejak. Akibatnya, jurang menganga antara suara mayoritas dan pemimpin ideal bangsa (Haskell, 2001).

Keempat, pemilihan langsung memerlukan komunikasi dan kampanye politik yang panjang agar terbentuk opini publik positif. Akan tetapi, karena opini publik dibangun berbasis populisme—melalui bahasa, narasi, dan simbol-simbol kontroversial yang mendorong polarisasi ketimbang persatuan bangsa—semua ini cenderung meningkatkan iklim konfrontasi, konflik, permusuhan, yang rawan bagi kian mengerasnya polarisasi anak bangsa.

Kelima, dalam pemilihan langsung—karena faktor utang finansial—pemimpin terpilih cenderung ”tersandera” para penyandang dana (oligark, donor asing). Akibatnya, arah kebijakan politik-ekonomi cenderung melayani kepentingan mereka, mengabaikan kepentingan rakyat luas. Di sini, pemimpin berbalik mengkhianati suara konstituen pemilih, dan secara pasti menggiringnya ke singgasana otoritarianisme (Tavits, 2008).

Keenam, pemilihan langsung menuntut budaya politik yang sehat dan maju, dengan ketepercayaan (trust) dan akuntabilitas sebagai syarat mutlak. Akan tetapi, dalam demokrasi yang mengalami pembusukan, ketakadaban yang meluas—ketidakjujuran, kecurangan, kebohongan, dan keculasan—menjadi penghalang bagi proses demokratisasi. Direcoki ketakadaban, proses demokratisasi mustahil akan mengalami kemajuan, sebaliknya malah kemunduran (Reilly, 2018).

Iklan

Tanda-tanda ketakadaban ini sudah mulai tampak pada Pilpres 2014 dan 2019, dan kian mengeras menjelang Pilpres 2024.

Runtuhnya keadaban bangsa

Sebagai negara-bangsa, setiap tindakan dan gerak-gerik komponen bangsa di ruang publik diatur oleh norma atau kode perilaku publik, yang membentuk ”keadaban” bangsa (civility). Keadaban ditunjukkan di ruang publik melalui kesopanan, kesusilaan, kesantunan, penghargaan, dan rasa hormat. Keadaban adalah kode perilaku dan interaksi interpersonal yang tepat atau pantas di ruang publik (Balibar, 2016).

Sebaliknya, ”ketakadaban” (incivility) adalah pelanggaran terhadap kode-kode perilaku publik, yang ditunjukkan oleh hilangnya rasa hormat, respek, dan penghargaan terhadap pihak lain; oleh perilaku kasar, menghina, mengumpat, menyerang, merendahkan, melecehkan, culas, curang, bohong disengaja, mengejek secara personal, pembunuhan karakter, ungkapan bahasa sangat emosional, sikap berlebihan, dan mengerdilkan pihak lain (Feldman, 2023).

Runtuhnya Orde Baru—dan dimulainya proses demokratisasi tahun 1998—telah membuka keran kebebasan bagi warga negara. Terbentang ufuk harapan sebuah negara-bangsa lebih terbuka, maju, dan beradab, dengan direbutnya kuasa rakyat melalui sistem pemilihan langsung. Akan tetapi, sistem demokrasi langsung justru membawa nilai-nilai asing dalam budaya politik bangsa, khususnya individualisme, yang mengikis habis nilai permusyawaratan.

Demokrasi permusyawaratan, sebagai sistem demokrasi otentik warisan pendiri bangsa (Latif, 2011), digantikan demokrasi individualis ala pemilihan langsung. Sistem ini kontradiktif karena di satu pihak memberikan kuasa kepada rakyat dalam memilih langsung pemimpin, tapi di pihak lain mengikis nilai-nilai permusyawaratan, sebagai nilai inti Pancasila. Artinya, pemilihan langsung bentuk ”pengkhianatan” terhadap Pancasila.

https://cdn-assetd.kompas.id/WanOq96N44FfDVsNvk-GuGIryJk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F14%2F077d30da-ff8c-4f2a-ae32-0b2291af70d7_jpg.jpg

Nilai individualisme—bersama nilai egosentrisme, altruisme, populisme—kini menjadi nilai-nilai utama politik demokratis. Di dalamnya, prinsip musyawarah digantikan ”pertarungan”, mufakat digantikan ”debat”, benar/salah digantikan ”menang/kalah”, rekam jejak digantikan ”pencitraan”. Tekanan harus menang di pertarungan akibat utang finansial yang harus kembali, telah mendorong cara-cara Machiavelian dalam proses politik, yang membuka pintu ketakadaban.

Tanda-tanda ketakadaban ini sudah mulai tampak pada Pilpres 2014 dan 2019, dan kian mengeras menjelang Pilpres 2024. Di media sosial—dalam kondisi menguatnya kembali polaritas politik, yang membelah anak bangsa—ketakadaban lebih ugal-ugalan.

Berbagai kata kasar, hinaan, umpatan, serangan, perendahan, pelecehan, kebohongan, ejekan, dan pembunuhan karakter di antara kelompok konstituen atau partisan politik jadi pemandangan digital sehari-hari—the digital incivility.

Ironisnya, ketakadaban juga dipertontonkan oleh para pemimpin atau calon pemimpin negara, melalui kata-kata kasar, umpatan, cercaan, makian, atau perilaku kasar lainnya di dalam acara publik; ucapan menyerang, merendahkan, melecehkan, dan memperolok lawan-lawan di dalam acara debat publik, yang semuanya terekam rapi di dalam jejak-jejak digital. Semua perilaku ini jadi penanda hilangnya nilai kesopanan, respek, penghargaan, dan rasa hormat di ruang publik politik.

Ketakadaban menjadi lebih parah ketika perilaku kasar, menghina, mengumpat, menyerang, merendahkan, melecehkan, culas, curang, dan bohong oleh para pemimpin dan calon pemimpin tak disertai dengan ungkapan rasa penyesalan, sebagai penanda hilangnya rasa bersalah dan rasa malu. Padahal, para pendiri bangsa telah menunjukkan keteladanan dalam keadaban, di mana dalam kontestasi politik yang sangat keras di antara mereka, kesantunan, respek, dan rasa hormat kepada lawan politik tetap dijaga.

Dalam kondisi mengerasnya polaritas anak bangsa, energi bangsa hendaknya tidak dikuras habis bagi pertarungan kekuasaan, tetapi untuk mengembalikan keadaban itu.

Demi rasa hormat terhadap para pendiri bangsa, Pilpres 2024 hendaknya tak dilihat sebagai pertarungan menang/kalah, tetapi pesta demokrasi untuk menegakkan kembali keadaban bangsa, yang tergerus ketakadaban.

Dalam kondisi mengerasnya polaritas anak bangsa, energi bangsa hendaknya tidak dikuras habis bagi pertarungan kekuasaan, tetapi untuk mengembalikan keadaban itu. Kita malu kepada para pendiri bangsa apabila pesta demokrasi dibiarkan sebagai pesta gila ketakadaban, yang merecoki nilai-nilai luhur bangsa.

Baca juga: Pentingnya Kritik dan Godaan Demagogi

Yasraf A Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB

Yasraf Amir Piliang
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ

Yasraf Amir Piliang

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000