Mencoba Membaca Dunia
Dunia tak hanya diwarnai masalah arsitektur keamanan dan ekonomi, tetapi juga hal lain terkait dinamika arsitektur global.
Pada Komisi Pembangunan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UN Peacebuilding Commission, Sekretaris Jenderal PBB menyebutkan bahwa saat ini terdapat dua miliar orang yang berada dalam kawasan konflik.
Jeffrey Sachs, sebagai Presiden Sustainable Development Solutions Network, dalam testimoni di Dewan Keamanan (DK) PBB, 20 November 2023, menyatakan, konflik bersenjata di empat kawasan dunia—Ukraina, Palestina, Suriah, dan Sahel—bisa diselesaikan melalui kesepakatan di DK PBB.
Justru ini masalahnya. Kesepakatan di antara negara-negara anggota tetap DK PBB sulit dicapai karena perbedaan kepentingan strategis mereka. Sebagai polisi dunia, DK PBB memiliki mandat untuk menjaga atau bahkan menciptakan perdamaian dunia. Namun, mandat ini tidak selalu sejalan dengan kondisi nyata arsitektur keamanan dunia yang mempersulit kesepakatan untuk menghentikan perang.
Arsitektur keamanan global: unipolar
Arsitektur keamanan global yang kini bersifat unipolar tidak mempermudah penciptaan kesepakatan di DK PBB. Setelah Uni Soviet pecah, satu-satunya negara yang mampu mengerahkan pasukan dan alutsistanya ke berbagai penjuru dunia pada saat yang sama di bawah 24 jam hanya Amerika Serikat (AS).
Rusia sebagai pengganti Soviet memiliki kekuatan militer besar, tetapi dengan anggaran pertahanan 86 miliar dollar AS—sepersepuluh anggaran militer AS (877 miliar dollar AS)—kapasitas Rusia terbatas. Apalagi, PDB Rusia hanya 1,8 triliun dollar AS, sangat jauh dari PDB AS 26,2 triliun dollar AS.
DK PBB memiliki mandat untuk menjaga atau bahkan menciptakan perdamaian dunia.
Belum lagi teknologi semikonduktor Rusia yang jauh tertinggal dari AS, Uni Eropa (UE), bahkan China. China memiliki anggaran pertahanan terbesar kedua di dunia, 292 miliar dollar AS, tetapi tak memiliki pangkalan militer di seluruh sudut benua dan tidak memiliki aliansi militer.
Klaim kerja sama tanpa batas China-Rusia juga bukan suatu pakta militer. China terpaksa menyerahkan kawasan sekitar Amur kepada Rusia yang kini jadi pangkalan Vladivostok. China hanya memiliki perjanjian keamanan dengan Korea Utara. AS satu-satunya negara yang memiliki perjanjian pertahanan dengan sekitar 50 negara, di Asia, Pasifik, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Selatan.
Dunia juga sulit mengharapkan DK PBB mampu atau mau menyelesaikan konflik bersenjata terkait kepentingan strategis mereka. Memang, DK PBB pernah mengambil berbagai keputusan aklamasi, misalnya tentang terorisme atau perompak Somalia, dan perang pembebasan Kuwait dari invasi Irak. Namun, dalam konflik di mana mereka secara langsung terkait, seperti Ukraina dan penjajahan Palestina oleh Israel, dipastikan DK PBB tak akan dapat berbuat banyak. Bahkan, untuk kasus Palestina, terlihat pengaruh Israel ke AS lebih besar daripada pengaruh AS ke Israel. Maka, apa pun yang dilakukan Israel, DK PBB tak akan mampu membuat keputusan aklamasi karena pasti akan ada veto dari AS.
Arsitektur keamanan global yang unipolar dengan dominasi kekuatan militer AS ini berpengaruh dalam proses reformasi DK PBB. Rusia yang militernya tak sekuat yang dibayangkan dan China yang sedang meroket kekuatan militernya tentu tak bersedia berbagi kekuasaan di DK PBB dengan negara lain, seperti India atau Jepang.
Demikian pula Inggris dan Perancis, sebagai eks penguasa dunia ratusan tahun, tentu juga enggan berbagi kekuasaan di DK PBB dengan Jerman atau Italia. Kekuatan yang tersisa dari Rusia, Inggris, dan Perancis dalam geopolitik global adalah furnitur saja, kursi anggota tetap DK PBB. Menerima negara baru dalam posisi ini adalah kesalahan strategis.
Ilustrasi/Heryunanto
Arsitektur ekonomi global: tumpang tindih dan multipolar
Arsitektur ekonomi global bersifat sebaliknya, tak didominasi AS. Ada berbagai kelompok ekonomi kawasan yang, meski terjadi overlapping, masing-masing terpisah dengan regulasi internal mereka sendiri. Misalnya, pasar tunggal ASEAN, RCEP, NAFTA, Mercosur, African Economic Community, dan UE.
Tiap-tiap kawasan ini memiliki ciri perdagangan internal dengan jenis barang dan jasa yang khas kawasan dan tingkat keterbukaan perdagangan yang berbeda. Meski demikian, kawasan ekonomi ini juga saling berinteraksi dengan kawasan ekonomi lain atau negara dengan kekuatan ekonomi global.
Selain itu, terdapat keterkaitan ekonomi yang signifikan di antara tiga kekuatan ekonomi besar dunia, terlepas dari ideologi atau kekuatan militer. Lihat saja, angka perdagangan AS-China 758 miliar dollar AS, atau UE-China 857 miliar dollar AS, atau AS-UE 1,3 triliun dollar AS. AS sebagai negara puncak unipolar kekuatan militer belum mampu memaksa negara-negara lain hanya berdagang dengan AS atau Barat.
AS akan sulit mempertanyakan kebijakan suatu negara untuk menjalin hubungan ekonomi dengan China, sementara ekspor AS ke China pada 2022 naik 1,6 persen dari 2021. Oktober lalu, China menandatangani 11 perjanjian pembelian produk pertanian AS. Ekspor produk pertanian AS ke China 40,9 miliar dollar AS pada 2022 merupakan lonjakan luar biasa dari 2018 yang 13,2 miliar dollar AS. Inikah wajah perang dagang antara AS dan China?
Arsitektur ekonomi global bersifat sebaliknya, tak didominasi AS.
”Quo vadis” arsitektur digital global
Arsitektur keamanan dan ekonomi global ini—meski sangat kompleks dan terasa bertentangan—merupakan hasil kebijakan negara yang, karena kepentingan strategisnya, akan tetap melakukan langkah terukur, misalnya tak menggunakan senjata nuklir karena akan terjadi mutual assured destruction (MAD).
Tak demikian dengan arsitektur digital global saat ini. Kekuatan pemerintah tak mutlak, bahkan disaingi oleh perseorangan atau korporasi yang sering disebut big tech. Prof Galloway dari NYU, yang berkali-kali meminta Pemerintah AS menghancurkan monopoli Apple, Meta, Amazon, dan Alphabet, menyimpulkan masalah big tech antara lain: (1) menghapus lapangan kerja; (2) mengutamakan keuntungan daripada keamanan nasional, demokrasi, dan perlindungan data pribadi; (3) menghindari pajak; dan (4) monopoli.
Dalam masalah pajak, misalnya, Amazon UK, dengan pendapatan 1,6 miliar pound sterling, ternyata sama sekali tak membayar pajak di Inggris. Google juga sama. Dengan berbagai teknik penghindaran pajak, Google tidak membayar pajak atau mengurangi pajak secara substansial di berbagai tempat operasinya. Google bersengketa pajak dengan AS, Inggris, Italia, Perancis, dan India.
Dengan berkembangnya teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang secepat kilat dan dapat memberikan pengaruh positif terhadap sains atau ekonomi, tetapi juga sekaligus dapat berdampak negatif, membuat pengaturan AI semakin genting.
Jack Clark, pendiri Anthropic, dalam testimoni di DK PBB pada Juli 2023 mengingatkan dunia bahwa AI berpotensi mengancam perdamaian, keamanan, dan stabilitas global karena karakter AI juga meliputi sifat yang multiguna dan sulit ditebak: positif dan malapetaka. Misal, AI dapat meningkatkan pemahaman kita tentang biologi, tetapi juga bisa digunakan untuk membuat senjata biologi.
Prof Bradford dari Columbia Law School memetakan tiga ciri regulasi AI dari tiga kekuatan ekonomi dunia, AS, China, dan UE. AS memiliki regulasi AI yang market-driven, China state-driven, sementara EU rights-driven.
Ilustrasi/Didie SW
Market-driven adalah pendekatan yang membatasi peran pemerintah dan memberi ruang gerak bagi swasta untuk kebebasan berpendapat, kebebasan internet, dan inovasi teknologi. AS sebenarnya hanya memiliki pedoman umum bersifat sukarela, antara lain The Blueprint for an AI Bill of Rights.
China menggunakan pendekatan state-driven untuk kemajuan ekonomi dan kepentingan politik, khususnya pengawasan publik, dan propaganda. Teknologi AI terbaru, misalnya, facial recognition, digunakan untuk keperluan ganda: transaksi ekonomi dan monitoring kebebasan warga.
Pendekatan rights-driven UE sudah terlihat dari regulasi sebelumnya: General Data Protection Regulation, Digital Markets Act, dan Digital Services Act.
Kini, UE memiliki EU Artificial Intelligence Act yang antara lain melarang AI risiko tinggi seperti AI facial recognition; membatasi AI risiko sedang seperti self-driving car; dan memperbolehkan AI risiko rendah seperti ChatGPT. Cakupan regulasi juga sangat luas karena meliputi semua AI yang ”placed on the market, put into service or used in the EU”. Artinya, aturan AI UE akan berlaku di negara eksportir. Semangatnya seperti EU Deforestation Act: imperialisme regulasi.
AS, China, dan UE dengan kekuatan ekonomi dan digitalnya ingin memengaruhi dunia dengan pola pendekatan regulasi mereka. Tak semua negara demokrasi memilih pendekatan AS, dan AS sudah pasti tak akan memilih pendekatan UE atau China. Negara-negara otoriter telah menerapkan pola China.
Big tech yang berhasil bergerak di kawasan abu-abu, misalnya, menghindari pajak, tentunya tak akan tinggal diam dan akan terus mengembangkan teknologi yang dapat mengakali berbagai regulasi itu, termasuk juga kemungkinan untuk lepas tanggung jawab atas AI ciptaan mereka, sama dengan keengganan mereka bertanggung jawab dalam konten medsos yang sering berisikan hoaks dan penyebaran kebencian.
China menggunakan pendekatan state-driven untuk kemajuan ekonomi dan kepentingan politik, khususnya pengawasan publik, dan propaganda.
Kekuatan mereka sama, bahkan lebih dari negara. Simak argumen kuat Yanis Varoufakis, mantan Menkeu Yunani, yang menjelaskan big tech saat ini tengah mempraktikkan techno feudalism, yakni suatu pola hubungan sosial baru dalam dunia digital yang sama dengan sistem feodalisme abad pertengahan, di mana big tech adalah raja pemilik aset cloud dalam bentuk platform medsos atau bisnis digital yang digunakan para pengguna yang dengan sukarela menjadi budak digital yang memberikan data pribadi dan uang mereka.
Kekuatan vs pengaruh
Dunia memang tak hanya diwarnai oleh masalah arsitektur keamanan dan ekonomi, tetapi berbagai hal lain seperti masalah energi, pangan, dan kesehatan sangat terkait dengan dinamika arsitektur global ini. Energi dapat terkait dengan arsitektur keamanan karena pasokan gas Rusia ke UE, pasokan global terigu dan minyak goreng terkait perang di Ukraina, kerja sama kesehatan global terkait dengan aliansi Barat vs China.
Hal-hal lain, seperti critical raw materials, juga dipengaruhi kondisi ini, di mana UE, AS, dan China memiliki posisi strategis berbeda. Untuk nikel, misalnya, birokrasi UE menyerang Indonesia, negara anggota UE secara individu mendukung Indonesia, AS bersedia bekerja sama; Jepang, Korea, dan Kanada sudah investasi. Demikian pula China.
Sejumlah analis, think tank, bahkan pejabat sipil atau militer Asia, termasuk Asia Tenggara, menyatakan, negara-negara kawasan harus memilih beraliansi secara jelas dengan AS atau China, dua kekuatan besar yang bersaing di Asia. Pandangan ini kurang komprehensif.
Hubungan antarnegara menunjukkan, kekuatan tak selalu menghasilkan pengaruh. Kekuatan AS dan China tak serta-merta dapat memengaruhi negara lain mengikuti keinginan mereka.
Kekuatan laut China yang jauh lebih besar dari negara-negara pengklaim Laut China Selatan (LCS) pun tak mampu memaksa negara-negara itu mundur dari klaim mereka. Filipina bahkan menggunakan hukum internasional dalam melawan China dan hakim arbitrase hukum laut tidak tunduk pada kekuatan militer dan ekonomi China.
Keterbatasan AS dan China dalam mengubah kekuatan menjadi pengaruh di tengah arsitektur keamanan, ekonomi, dan digital yang kompleks justru merupakan suatu teater hubungan internasional yang sangat sesuai dengan karakter politik luar negeri bebas-aktif yang pada dasarnya adalah politik luar negeri yang memiliki strategic independence.
Indonesia sebagai negara kekuatan menengah, dengan beberapa kekhususan yang tak dimiliki negara lain di Asia Tenggara, harus memainkan posisinya dalam percaturan geopolitik di Asia dan bahkan di kawasan lain. Kekhususan itu: kemampuan militer terkuat (global firepower), penduduk terbesar keempat dunia, anggota G20, calon anggota OECD, negara kepulauan terbesar di dunia, kekuatan demokrasi Muslim terbesar di dunia, stabilitas politik dan ekonomi, kekayaan critical raw materials yang penting bagi teknologi masa depan.
Hubungan dengan China dan AS perlu dikelola dengan memperhatikan arsitektur keamanan unipolar, arsitektur ekonomi multipolar, dan arsitektur digital yang mungkin bisa dikatakan ”multiaktor-multipolar”. Indonesia tidak dapat hanya menjadi penonton pasif dalam persaingan pengaruh di Asia Tenggara.
Pilihan mitra latihan militer dan pembelian alutsista strategis, misalnya, harus memperhatikan kepentingan nasional di bidang kewilayahan, keamanan kawasan yang berdampak langsung terhadap kepentingan Indonesia, aspek kualitas, dan transfer teknologi. Dana besar pembelian alutsista kiranya dapat digunakan sebagai leverage kepentingan strategis Indonesia. Ini bukan transaksional, melainkan kondisionalitas yang juga diterapkan banyak negara, misalnya kebijakan UE: boleh ekspor asal bukan sawit.
Untuk hal strategis yang spesifik subregional di mana kekuatan militer besar pun tak selalu menghasilkan persuasi pengaruh, Indonesia harus berupaya menangani secara aktif.
Indonesia tidak dapat hanya menjadi penonton pasif dalam persaingan pengaruh di Asia Tenggara.
Mantra ASEAN’s in driver seat sudah tak relevan di era mobilitas gagasan dan inisiatif yang cepat. Banjirnya kembali warga Rohingya ke Indonesia tak akan berhenti tanpa penyelesaian di akar masalahnya. Belajar dari pengalaman pengungsi Vietnam tahun 1970-an di Pulau Galang, di mana negara tetangga kita justru tak membantu, masalah Rohingya bisa jadi persoalan yang sama bagi Indonesia kini dan ke depan. Bisa jadi, ini justru bagian dari strategi junta.
Pengalaman dan kemampuan diplomasi Indonesia sebagai peace maker perang Indochina perlu direplikasi.
Di kancah arsitektur ekonomi global, Indonesia harus dapat memanfaatkan posisi baru AS dan UE terhadap kawasan China, dan juga persaingan geopolitik AS dan China. Indonesia bisa tetap menjalin hubungan ekonomi dengan semua kekuatan ekonomi dunia, dengan kekhususan tiap-tiap mitra. Dan, untuk hal tertentu, seperti critical raw materials, Indonesia dapat memimpin negara-negara penghasil dengan membentuk suatu forum kerja sama, seperti terbukti dalam kepemimpinan Indonesia di Archipelagic and Island States Forum.
Diplomasi ekonomi as usual dengan pendekatan tanpa dana, kelembagaan, dan strategi juga tak akan banyak berhasil. Kombinasi persuasi total dan berkala ke semua elemen kunci serta litigasi hukum di peradilan internasional terhadap elemen anti-Indonesia secara agresif, misal pendukung label no-palm oil, perlu dipertimbangkan mendalam. Tak semua kebijakan ekonomi negara/kawasan lain bisa dipengaruhi hanya dengan diplomasi. Aturan asing yang merugikan Indonesia adalah produk hukum yang hanya bisa diubah oleh proses hukum.
Soal regulasi AI, Indonesia perlu memimpin penyusunan regulasi ini di tingkat kawasan dan forum multilateral yang relevan. Namun, Indonesia perlu memutuskan terlebih dulu regulasi nasionalnya karena saat ini terdapat kesenjangan antara teknologi dan regulasi. Indonesia tak bisa tinggal diam menjadi penonton pasif dalam proses pengaturan AI di dunia, atau hanya jadi co-sponsor, mengekor inisiatif AS, UE, China, India, Brasil, atau bersembunyi di balik G77.
Banyak sekali hal strategis yang dapat dilakukan Indonesia dalam kondisi arsitektur keamanan, ekonomi, dan digital dunia saat ini, tak sekadar pelaksanaan fungsi-fungsi Pasal 3 Konvensi Vienna tentang Hubungan Diplomatik 1961. Satu hal strategis terkait kekuatan persuasi Indonesia di tingkat global yang belum terwujud hingga kini adalah mengantar warga terbaiknya sebagai sekjen, dirjen, atau posisi strategis organisasi internasional.
Politik luar negeri bebas-aktif harus dilakukan dengan benar-benar independen dan benar-benar aktif. Strategic independence ini adalah aset utama politik luar negeri kita. Tahun 1958, Deklarasi Djuanda diputuskan demi kepentingan nasional dan bahkan menabrak hukum internasional laut yang ada yang disusun tanpa partisipasi negara-negara korban kolonialisme. Dobrakan ini berhasil dan konsep negara kepulauan akhirnya diakui menjadi prinsip hukum internasional.
Nyali Djuanda ini harus tetap hidup di diri kita dalam menavigasi Indonesia di antara ratusan karang di tengah samudra yang tidak jelas arah anginnya dengan badai di mana-mana.
Baca Juga: Minilateralisme, ”Mainan Baru” Geopolitik
Arif Havas Oegroseno Alumnus Harvard Law School
Arif Havas Oegroseno