Doa Kebudayaan
Cita-cita bangsa adalah doa kolektif kita yang lahir dari rahim sejarah, seperti tertuang dalam lima sila Pancasila. Inilah doa yang menggerakkan kebudayaan kita, visi lahir-batin bagi tata kelola negara-bangsa.
”Bangsa yang arif tak lain dari bangsa yang dengan daya saing tinggi terus mengukuhkan kebudayaannya sehingga ia terus pula mengukuhkan dirinya sebagai bangsa.”(Mochtar Pabottingi).
Doa atau seruan bagi yang Ilahi adalah pembeda kebudayaan religius dan sekular. Doa biasanya dipanjatkan ketika individu menemui jalan buntu, rasa pesimisme yang menikam hidup. Doa sejati juga harapan dan jalan keluar rohaniah, api optimisme yang menyalakan hidup. Doa adalah ratapan masa silam sekaligus harapan masa depan!
Dalam momen pergantian tahun, di tengah tawa dan canda, selalu terbuka ruang untuk merenung. Doa merupakan bentuk renungan tertinggi, bahkan suatu bentuk kreativitas rohaniah. Semua pemikiran kreatif dan pemikiran ilmiah yang orisinal, bagi Muhammad Iqbal dan Charles Peirce, harus dimulai dengan sesuatu, seperti musement atau ”doa”.
Peirce mengembangkan teori musement, yakni ”permainan murni”, cara berpikir yang menyenangkan, meditatif, bebas, kreatif, dan kontemplatif. Bahkan, sesungguhnya, bagi Iqbal, ”Semua pencarian pengetahuan pada hakikatnya adalah suatu bentuk doa.”
Di dalam momen doa, pikiran kita tertambat pada suatu harapan atau cita-cita tertentu. Dalam konteks lebih besar, cita-cita bangsa adalah doa kolektif kita yang lahir dari rahim sejarah, seperti tertuang dalam lima sila Pancasila: Ketuhanan, Kemanusiaan, Kesatuan dalam Keragaman, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial! Ini bukan paksaan, melainkan tekad bersama. Inilah doa yang menggerakkan kebudayaan kita, visi lahir-batin bagi tata kelola negara-bangsa.
Sayangnya bila mencermati kenyataan di dalam naungan konstitusi yang mengharuskan proses pencerdasan kehidupan bangsa dan demokratisasi pendidikan dan politik, gerak kebudayaan yang berkembang justru ke arah sebaliknya.
Sayangnya bila mencermati kenyataan di dalam naungan konstitusi yang mengharuskan proses pencerdasan kehidupan bangsa dan demokratisasi pendidikan dan politik, gerak kebudayaan yang berkembang justru ke arah sebaliknya. Entah karena kejengkelan intelektual atau panggilan untuk selalu mengingatkan cita-cita kolektif itu, sejarawan Taufik Abdullah pernah menyebut gejala lingkaran kebodohan yang menukik ke bawah.
Bukankah di balik bayangan retorika keadilan sosial, kita justru menjalankan ekonomi yang kapitalistik? Bukankah di dalam hasrat ideologis yang demokratik, kita mengalami sistem dan perilaku yang payah untuk disebut demokratis?
Jika bangsa yang arif adalah bangsa yang dengan daya saing tinggi terus mengukuhkan kebudayaannya sehingga terus pula mengukuhkan dirinya sebagai bangsa, sebagaimana diharapkan Mochtar Pabottingi. Doa kolektif sejatinya menumbuhkan kearifan kita untuk menempatkan kebudayaan sebagai kerangka perubahan menjadi bangsa yang beradab dan berkeadilan.
Guna mendukung tekad bersama untuk membangun suatu negara-bangsa demokrasi yang maju, seperti impian Indonesia emas, sudah seharusnya kita menyusun secara bertahap suatu konsep pendidikan dan pengembangan kebudayaan yang menyiapkan generasi kita menjadi warga negara yang demokratis.
Baca juga: Pahlawan dalam Ekonomi Perhatian
”Pendidikan,” kata budayawan Umar Kayam, ”bukan hanya bahkan bukan terutama, berbicara banyak tentang mengejar ketertinggalan iptek.... Yang pertama dikembangkan adalah semangat dan mentalitas kerakyatan yang mendasari segalanya. Mentalitas kerakyatan inilah yang nantinya akan membuka berbagai kemungkinan-kemungkinan lain.”
”Kemungkinan-kemungkinan lain” adalah peluang terbuka bagi generasi masa depan yang memerlukan visi dan persepsi. Di tengah meluapnya hasrat perebutan kekuasaan, kita merindukan negarawan dengan visi dan persepsi kekuasaan yang lebih berorientasi kepada rakyat banyak.
Visi tentang keadilan bagi rakyat banyak. Visi tentang moralitas publik yang harus berorientasi pada kepentingan orang banyak. Bukan Negara (dengan huruf besar) yang duduk mengangkang di atas beribu, berjuta rakyat banyak. ”Apabila sistem pendidikan dimulai dari dasar kerakyatan atau demokrasi yang kokoh, kita akan dapat melaju ke mana saja,” keyakinan Umar Kayam.
Di atas semua itu, kita membutuhkan keberanian, keteguhan, determinasi diri dan kolektif, untuk menciptakan bangsa besar multikultur yang adil dan rukun, yang selalu diilhami dengan semangat untuk membangun masyarakat beradab, tidak feodal, tidak menjadikan kekuasaan sebagai milik keluarga atau kelompok sendiri, dan menjunjung kualitas integritas dan kerohanian yang tinggi.
Baik WS Rendra maupun Ariel Heryanto sudah mengingatkan bahwa sejarah pergulatan kebudayaan sebagai daya hidup sudah lama dirongrong dan dilucuti dari masyarakat pendukungnya sehingga transformasi budaya manusia Indonesia memerlukan pembebasan dari berbagai belenggu takhayul masyarakat pra-industrial, industrial, dan pasca-industrial.
Akhirnya, Mochtar Pabottingi meyakinkan doa kita bahwa kebudayaan yang sehat ialah yang tiada henti memperkaya rohani serta meningkatkan harkat dan daya hidup bangsa atau masyarakatnya.
Baca juga: Perang Wacana Karhutla
Idi Subandy Ibrahim adalah Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK) Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar LB di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya (UB) Malang: dan Pengajar LB di Program Doktor (S3) Agama dan Media/Studi Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.