Film Dokumenter dan Pusaka Kuliner Nusantara
Kenikmatan menyantap makanan yang dibungkus dengan gaya populer dan menghibur banyak disukai penonton.
Alih-alih memberikan suguhan kuliner ”receh” ala televisi, Festival Film Dokumenter (FFD) yang digelar di Yogyakarta awal Desember lalu menawarkan penyelaman mendalam pada makanan dan masakan Indonesia. Setidaknya, melalui satu film dokumenter panjang berjudul Murdijati Gardjito.
Film yang disutradarai Hindra Setya Rini ini diputar pada Senin dan Kamis (4 dan 7 Desember 2023) di dua lokasi berbeda, yaitu Gedung ex Bioskop Permata dan Auditorium IFI-LIP (Lembaga Indonesia Perancis), Yogyakarta.
Latar FFD saat pemutaran film tersebut mengingatkan kita pada suasana reflektif. Penonton diimbau untuk tidak mengambil gambar, berhenti memainkan ponsel, bahkan menahan diri untuk tidak saling bicara. Lets dive in, begitu pesannya.
Apa tawaran film dokumenter di tengah riuhnya suasana perkulineran di berbagai media yang mengepung kita sehari-hari?
Situasi ini menjadi pengantar yang sangat berbeda dengan situasi ketika kita berada di depan layar televisi dengan program-programnya yang ingar-bingar. Padahal, kita disuguhi satu topik yang sama: kuliner.
Suasana reflektif itu mendorong kita menjawab satu pertanyaan menarik: apa tawaran film dokumenter di tengah riuhnya suasana perkulineran di berbagai media yang mengepung kita sehari-hari?
Cara mendekati
Televisi memotret kuliner kita dalam dua kecenderungan. Pertama, kecepatan gerak kamera dan tempo penyajian. Kedua, kegesitan host yang fasih berbicara di depan kamera. Olahan audiovisual ini meramu program kuliner televisi supaya renyah, asyik dicerna, sekaligus menyenangkan alias menghibur.
Salah satu hal yang menonjol adalah tampilan visual makanannya. Warna, tekstur, dan cara penyajiannya menggiring mata penonton untuk ikut mencicipi kesan kepedasan, kegurihan, kepanasan, dan kelezatan makanan-makanan itu dari rumah masing-masing.
Kadang host bertanya mengenai bumbu, racikan, dan cara membuatnya. Namun, biasanya itu hanya sekilas karena sekuen selanjutnya host akan segera menghadapi sepaket makanan dan minuman yang sudah matang di meja lapak/warung, siap menyantap.
Tampilan visual makanan dan gerak-gerik host saat menikmatinya adalah jualan utama program-program itu. Selama tayangan berlangsung, penonton digoda iming-iming.
Program kuliner seperti ini ada di hampir setiap stasiun televisi. Kemunculannya ditandai dengan kemiripannya satu sama lain. Modifikasi memang ada di sana-sini, tetapi nuansanya tetap tidak jauh berbeda.
Kenikmatan menyantap makanan dan minuman itu dibungkus dengan gaya yang populer dan menghibur. Gaya ini banyak disukai penonton. Namun, hal ini membawa konsekuensi serius: tidak menyisakan ruang bagi penonton untuk gelisah, apalagi merenung.
Apa jebakannya? Hiburan semata. Penonton mengecap rasa tontonan kuliner, menemukan ruang relaksasi, lalu besok melupakannya.
Program televisi semacam ini di satu sisi bisa menjadi penanda zaman, bagaimana generasi sekarang mencoba mengenali dan mengenalkan kuliner Indonesia pada khalayak. Namun, di seberang sisi, hal itu bisa menjebak. Apa jebakannya? Hiburan semata. Penonton mengecap rasa tontonan kuliner, menemukan ruang relaksasi, lalu besok melupakannya.
Berulang-ulang aktivitas itu terjadi secara konstan hampir setiap hari. Barangkali kecenderungan semacam inilah yang disebut Neil Postman (1985) sebagai kondisi yang bisa membawa kita ”menghibur diri sampai mati” (amusing ourselves to death). Hasil amatan Postman terhadap fenomena pertelevisian itu dilakukan lebih dari tiga dekade lalu, tetapi masih relevan hingga kini.
Baca juga: Murdijati Gardjito dan Dedikasi Meneliti Kuliner Nusantara
Tawaran dokumenter
Atmosfer yang memberi tawaran berbeda muncul di FFD. Film Murdijati Gardjito (2023) membuat pikiran penonton mengembara membayangkan masakan-masakan tradisional Indonesia. Bu Mur, sapaan akrab tokoh utama film dokumenter itu, adalah seorang profesor dari Universitas Gadjah Mada di bidang Gastronomi. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan gastronomi sebagai seni menyiapkan hidangan yang lezat.
Usia Bu Mur kini sudah lebih dari 80 tahun, seiring beberapa kemampuan fisik yang berkurang. Selepas periode panjang mengajar, ia justru dapat menemukan ruang baru: menulis. Ia mendokumentasikan buah pikirannya mengenai ragam kuliner di banyak daerah di Indonesia dalam wujud pustaka.
Menulis adalah hal yang selama kesibukannya mengajar dan membimbing mahasiswa sulit ia lakukan. Lebih dari 10 buku ia hasilkan saat menginjak usia senja, saat kemampuannya melihat menurun drastis. Beberapa asisten muda membantunya untuk terus bisa membaca dan terutama menulis.
Selepas periode panjang mengajar, ia justru dapat menemukan ruang baru: menulis. Ia mendokumentasikan buah pikirannya mengenai ragam kuliner di banyak daerah di Indonesia dalam wujud pustaka.
Penggambaran sosok Bu Mur sebagai tokoh utama film itu tidaklah ingar-bingar, tetapi juga tidak terlalu kaku dan formal. Sebab, Hindra Setya Rini, sang sutradara, meramunya dengan pas. Film itu menjadi terasa sangat personal bagi penonton. Tempo lambat yang seirama dengan gerakan Bu Mur mengikat penonton untuk perlahan-lahan menyelam. Masuk ke relung kegelisahan Bu Mur yang menemukan minimnya dokumentasi menyeluruh mengenai kuliner negeri ini.
Film berdurasi 47 menit itu jeli dalam mengantarkan potensi isu yang bisa menyeret penonton ke dalam kegelisahan yang sama dengan sang tokoh. Film yang menelusuri jalur personal, tetapi memiliki muara sosiokultural.
Baca juga: Menjelajahi Kekayaan Rasa dan Makna Kudapan Nusantara
Pada dasarnya, generasi produsen program televisi di atas memiliki rentang usia yang sama dengan para sineas film dokumenter itu. Menariknya, mereka memilih jalur berbeda dalam menyajikan informasi mengenai makanan dan masakan khas Indonesia. Keduanya memang tidak bisa dihadapkan secara diametral.
Sebenarnya kita harus mengakui bahwa kita membutuhkan kedua pendekatan yang berbeda itu. Kita perlu pesan-pesan ringan yang sekaligus menghibur. Di sisi lain, kita juga perlu terus-menerus melekatkan diri pada hal-hal yang ”mengganggu” kemapanan pemahaman kita pada kuliner yang (rasa-rasanya) sudah kita kenali.
FFD dan film Murdijati Gardjito memberi alternatif pada penonton untuk berpikir secara seimbang dalam mengenali kekayaan dan keunikan makanan-makanan Nusantara. Film dokumenter itu membuat kita betah berlama-lama menonton, karena kita tahu tawarannya menjamin bertambahnya perspektif kita.
Makanan tidak hanya bisa kita dekati dengan cara ”receh”, tetapi bisa pula kita dalami sebagai pusaka adiluhung.
Lukas Deni Setiawan, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta