Maju Bersama OECD?
Tujuan OECD meletakkan dasar bagi kerja sama pembangunan berkelanjutan dan perdagangan bebas tetap relevan hingga kini.
Indonesia tampaknya begitu ”kebelet” untuk menjadi anggota organisasi negara-negara maju dunia, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Dalam pertemuannya dengan delegasi OECD pada Agustus lalu, Presiden Joko Widodo bahkan telah meminta agar proses keanggotaan Indonesia dapat dilakukan dengan cepat.
Naldo Helmys dalam artikelnya, ”Geopolitik Aksesi ke OECD” (Kompas, 31/10/2023), menyatakan bahwa bergabung dengan organisasi ini adalah langkah tepat untuk menjadi negara maju.
Meskipun Indonesia sudah lama bekerja sama, akan dibutuhkan waktu setidaknya 5-8 tahun untuk menjadi anggota. Kolombia, misalnya, resmi diterima jadi anggota pada Mei 2018 melalui proses aksesi lima tahun dan menjalani investigasi oleh 23 komite OECD.
Diperlukan reformasi besar untuk menyelaraskan undang- undang (UU), kebijakan, dan praktik yang sesuai dengan standar OECD, termasuk sistem perdagangan, finansial, pajak, ketenagakerjaan, peradilan, dan tata kelola BUMN.
Sejak Januari 2022, OECD sudah mulai diskusi aksesi dengan enam negara kandidat lainnya, yaitu Argentina, Brasil, Bulgaria, Kroasia, Peru, dan Romania; sementara Indonesia, China, India, dan Afrika Selatan masih merupakan mitra.
Tujuan OECD untuk meletakkan dasar bagi kerja sama pembangunan berkelanjutan dan perdagangan bebas dinilai tetap relevan hingga kini.
Dari Marshall Plan ke OECD
OECD merupakan produk pasca-Perang Dunia II dan selama Perang Dingin dari Amerika Serikat untuk Eropa Barat.
Cikal bakalnya, Menteri Luar Negeri AS George Marshall menggagas Rencana Marshall (Marshall Plan)—resminya disebut Program Pemulihan Eropa, diluncurkan pada 1947—untuk membantu Eropa Barat bangkit dari kehancuran akibat perang. Rencana ini berupa upaya rekonstruksi dan pemulihan ekonomi secara teknis dan finansial, serta meletakkan dasar bagi perdamaian dan kerja sama abadi di Eropa.
Pada 16 April 1948, dibentuk Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi Eropa (OEEC) untuk mengelola, mengalokasikan, dan mendistribusikan bantuan ke negara-negara Eropa Barat. Dengan keberhasilannya memulihkan perekonomian Eropa, pada 1961 dibentuklah organisasi permanen (OECD) untuk melanjutkan upaya pemulihan ini. OECD bermarkas di Château de la Muette, Paris, Perancis.
Keanggotaannya pun diperluas mencakup AS, Kanada, dan Jepang. Tujuan OECD untuk meletakkan dasar bagi kerja sama pembangunan berkelanjutan dan perdagangan bebas dinilai tetap relevan hingga kini.
Diakui bahwa Marshall Plan berkontribusi dalam menghidupkan kembali perekonomian Eropa Barat dengan mengendalikan inflasi, menghidupkan kembali perdagangan, dan memulihkan produksi. Hal ini dimungkinkan karena negara-negara Eropa Barat memiliki kesamaan: miskin sumber daya alam, tetapi memiliki ”software” infrastruktur yang kuat meskipun ”hardware”-nya hancur selama perang.
Ilustrasi/Supriyanto
Bagi AS, Marshall Plan menyediakan pasar bagi produk- produknya dan menciptakan mitra dagang yang diandalkan, serta mendukung pengembangan pasar bebas (kapitalisme) dan demokrasi (liberalisme).
Koherensi kebijakan?
Melalui kerja sama internasional dan nilai-nilai bersama, OECD menggagas kebijakan yang lebih baik dan terpadu. Perdagangan dan investasi, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kerangka kelembagaan yang tepat telah menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi global 60 tahun terakhir, baik di negara-negara maju maupun berkembang.
Untuk menciptakan kemitraan global ini, OECD berupaya menciptakan koherensi kebijakan (policy coherence) untuk pembangunan negara-negara anggotanya dan dunia. Mewujudkan koherensi kebijakan merupakan urat nadi kerja sama OECD.
Koherensi kebijakan yang dimaksudkan OECD adalah menyinergikan kebijakan antara negara-negara maju dan berkembang agar selaras (compatible) dengan standar internasional (baca: OECD). Pelaksanaan koherensi kebijakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang disepakati, seperti ekonomi di negara-negara miskin menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
Dengan slogan ”to build better policies, for better life”, koherensi kebijakan pada dasarnya adalah upaya menyamakan kebijakan di berbagai bidang sesuai dengan standar internasional. Artinya, semua produk UU suatu negara harus selaras dengan ketentuan OECD.
Melalui kerja sama internasional dan nilai-nilai bersama, OECD menggagas kebijakan yang lebih baik dan terpadu.
Menariknya, sekalipun masih sekadar mitra, penyelarasan kebijakan Indonesia dan OECD telah mulai dilakukan dengan menandatangani kesepakatan kerja sama Joint Work Program (JWP) 2022-2025 yang mencakup sejumlah area kebijakan prioritas. Di antaranya: (1) kebijakan makroekonomi, kepatuhan pajak dan tata kelola pemerintahan yang baik; (2) iklim bisnis dan digitalisasi (3) modal manusia dan inklusi sosial; (4) pembangunan berkelanjutan.
Isu transparansi pajak
Padahal, koherensi dalam kebijakan pajak saja, misalnya, kini menjadi sorotan sejumlah pihak. Eurodad (European Network on Debt and Development) dan Oxfam, misalnya, menilai OECD merupakan lembaga rahasia (secretive body) dan tidak transparan.
Lembaga ini tidak hanya memihak pada kepentingan negara besar dan kaya; yang akibatnya hanya mengorbankan negara-negara miskin di dunia.
Kesepakatan perpajakan baru dalam kerangka inklusif (inclusive framework) yang disepakati dalam Pertemuan OECD pada Oktober 2021 dinilai tidak adil (unfair) dan cenderung menyimpang (bias) karena hanya mengedepankan kepentingan negara-negara besar dan kaya, dengan mengorbankan negara-negara miskin.
Kesepakatan tersebut gagal menghentikan penghindaran pajak perusahaan dan persaingan pajak antarnegara yang merugikan. Akibatnya, empat negara anggota kerangka tersebut—Kenya, Nigeria, Sri Lanka, dan Pakistan—telah memutuskan untuk tidak bergabung dalam perjanjian tersebut.
Ilustrasi/Supriyanto
Tove Ryding dari Eurodad sampai mengatakan, ”Kesepakatan ini berdampak buruk bagi semua orang, tetapi lebih buruk lagi bagi negara berkembang…. Negosiasi yang dipimpin OECD sangat rahasia dan tidak pernah bersifat global.”
Maka itu, Joseph Stiglitz, pemenang hadiah Nobel ekonomi (2001), dan Jayati Ghosh, ekonom Jawaharlal Nehru University, mengapresiasi temuan Financial Times (FT) ”OECD melobi untuk melemahkan rencana pajak” (FT, 8/7/2023).
Laporan tersebut tuntas menjelaskan bagaimana organisasi tersebut menekan Pemerintah Australia, yang notabene negara Barat, untuk melemahkan persyaratan transparansi yang penting dalam perpajakan perusahaan multinasional; dan bahwa kekhawatiran itu memang benar. Artinya, apabila Australia saja ”dikerjain”, besar kemungkinan negara berkembang mengalami yang sama.
Dalam suratnya kepada FT (17/7/2023), kedua ekonom itu di antaranya menyatakan, ”Komisi Independen untuk Reformasi Perpajakan Perusahaan Internasional (ICRICT) telah lama mengkhawatirkan peran OECD dalam mendorong perusahaan multinasional membayar pajak secara adil.”
Ditambahkan, ”Kami semakin khawatir karena pada 2021 OECD mengeluarkan rancangan yang lemah, yang hanya akan memberikan jumlah yang sangat kecil kepada negara-negara berkembang, sebagai imbalan atas penundaan penerapan pajak digital dan lainnya bagi perusahaan multinasional.”
Ditegaskan bahwa keanggotaan Indonesia, antara lain, harus didahului pertimbangan prioritas nasional dan dilakukan berdasarkan analisis biaya, manfaat, dan seterusnya.
Oleh karena itu, ICRICT mendesak negara-negara berkembang untuk, pertama, berpikir matang sebelum menandatangani kesepakatan multilateral untuk menerapkan pilar pertama perjanjian kerangka kerja inklusif G20-OECD (Oktober 2021), yang melarang perpajakan digital dan langkah- langkah lain untuk meningkatkan penerimaan pajak.
Kedua, OECD harus mendukung upaya untuk perundingan baru di PBB, sesuai seruan Kelompok Afrika, untuk meningkatkan kerja sama perpajakan internasional, memerangi aliran keuangan gelap dan melawan penghindaran dan penggelapan pajak yang agresif.
Banyak jalan menuju Roma
Ketentuan mengenai keanggotaan Indonesia dalam organisasi internasional diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2019. Ditegaskan bahwa keanggotaan Indonesia, antara lain, harus didahului pertimbangan prioritas nasional dan dilakukan berdasarkan analisis biaya, manfaat, dan seterusnya.
Yang belum tercakup adalah perlunya mempertimbangkan situasi geopolitik dunia dan hubungan internasional.
Sejumlah organisasi internasional lintas kawasan yang eksklusif (terbatas) telah hadir sejak pasca-Perang Dingin, termasuk APEC, G20, dan BRICS.
Umumnya organisasi-organisasi itu memiliki tujuan untuk mempererat kerja sama di berbagai bidang, meningkatkan kesejahteraan, dan berkontribusi terhadap stabilitas dan pertumbuhan ekonomi dunia. Yang perlu diperhatikan, terdapat organisasi yang dibentuk atau berafiliasi kepada negara-negara besar yang bersaing dewasa ini, khususnya AS, Rusia, dan China.
.ilustrasi/Didie SW
APEC dan G20, di mana ketiga negara itu dan Indonesia menjadi anggota dan ikatannya lebih longgar, sebenarnya dapat memenuhi kebutuhan kerja sama ekonomi dan pembangunan walaupun saat ini tidak dapat berfungsi maksimal karena perang Rusia-Ukrania.
Untuk menjaga prinsip bebas aktif, hingga kini Indonesia masih ”keukeuh” (konsisten) tidak bergabung dengan BRICS, yang kini beranggotakan 11 negara, karena ”warna” China-Rusianya kuat meskipun Beijing beberapa kali ”membujuk”.
Sementara di OECD peran AS jelas sangat dominan, apalagi dengan regulasi dan kewajiban berstandar Barat yang mengikat. Dengan 4.000 pertemuan dan 500 laporan per tahun, serta 450 standar internasional yang ada, menjadi anggota OECD akan memerlukan tenaga, waktu, pikiran, dan biaya ekstra untuk menanganinya.
Mengingat masih lemahnya koordinasi antarkementerian dan lembaga, bukan tidak mungkin akan banyak advisor OECD ”berkantor” di instansi-instansi itu. Di ASEAN, yang pengaruh AS sudah dapat dipetakan, tidak satu pun menjadi anggota OECD.
Pepatah ”banyak jalan menuju Roma” tampaknya tepat untuk menggambarkan situasi Indonesia saat ini. China, yang memiliki banyak kesamaan potensi dengan Indonesia, bisa jadi negara maju bukan karena OECD, melainkan karena menegakkan prinsip ”berdikari”.
OECD bukan merupakan panasea yang mujarab, bahkan dapat menambah berat beban yang sudah ada dan hanya salah satu jalan, dan belum perlu menjadi prioritas ”menuju Roma” (baca: kesejahteraan).
Mengingat Indonesia memiliki posisi yang serba strategis, ”bermain” dalam kerangka minilateralisme—apalagi terkait nikel, batubara, tembaga dan juga kelapa sawit, dan karet—mungkin akan jauh lebih berdaya dan berhasil guna, seperti OPEC dulu. Mengutip bahasa gaul anak gen Z, bebas itu memang ”kereeen”.
Baca juga : Menimbang Untung-Rugi RI Masuk “Klub Negara Maju”
Baca juga : Geopolitik Aksesi ke OECD
Dian WirengjuritAnalis Geopolik dan Hubungan Internasional
Dian Wirengjurit