Geopolitik Aksesi ke OECD
Bergabung dengan OECD tepat untuk jadi negara maju, tetapi tidak menggebu-gebu, seolah-olah Indonesia sudah naik kelas.
”Tanah gelap, sukar, dan penuh dengan racun adalah jalan menuju kemerdekaan”. Kutipan Tan Malaka pada Naar de ’Republiek Indonesia’ (1925) itu sama sekali tidak keliru.
Jalan menuju ”Indonesia Merdeka” tidak pernah mulus, tetapi satu hal yang pasti, 20 tahun setelah risalah itu ditulis, cita-cita mulia itu tercapai.
Tentu semua tidak berhenti setelah proklamasi, karena tujuan akhirnya memang bukan itu. Republik didirikan justru untuk mencapai sebuah negara yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, atau sederhananya, ”Indonesia Maju”.
Tenggatnya 2045 atau kurang dari 22 tahun lagi, yang tentu tidaklah lama. Dibutuhkan katalisator untuk mempercepat segala usaha untuk mencapai tujuan tersebut.
Sebagai langkah percepatan, Indonesia didorong untuk menjadi anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), himpunan negara-negara maju. Pemerintah telah mengambil sikap politik dan bergerak cepat.
Bulan Juli, arahan untuk menjadi anggota OECD datang dari Presiden Joko Widodo. Bulan Agustus, Presiden bertemu dengan Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann di Jakarta. Lalu bulan September, Dewan OECD—badan pengambil keputusan tertinggi di organisasi— mengadakan pertemuan untuk membahas rencana Indonesia.
Dukungan internasional datang silih berganti. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pun tidak henti menggalang dukungan, termasuk di sela-sela Sidang Majelis Umum Ke-78 PBB.
Sebagai langkah percepatan, Indonesia didorong untuk menjadi anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), himpunan negara-negara maju.
Dalam beberapa bulan ke depan, Dewan OECD akan mengambil sikap apakah proposal Indonesia dapat diteruskan. Jika diterima, Dewan OECD akan mengeluarkan Peta Jalan Aksesi berisi hal-hal yang harus diperbaiki Indonesia agar sesuai dengan standar OECD.
Hanya ketika Peta Jalan Aksesi ini benar-benar telah terimplementasi—setelah ditinjau oleh berbagai komite dan kelompok kerja di OECD—barulah Indonesia resmi diterima menjadi anggota OECD. Proses ini, berkaca dari pengalaman beberapa anggota terbaru OECD, butuh 3-7 tahun.
Keanggotaan pada OECD memberikan sejumlah manfaat. OECD menyediakan akses pada ketersediaan para ahli, penelitian, hingga analisis, yang dapat digunakan negara anggota.
Belum lagi kesempatan untuk bertukar praktik baik dari negara-negara maju melalui lebih dari 300 komite dan kelompok kerja OECD. Singkatnya, negara anggota dapat memanfaatkan segala sumber daya di OECD untuk mempercepat reformasi di berbagai bidang.
Bahkan, ketika belum menjadi anggota pun, negara kandidat sudah dapat meneguk banyak manfaat. Proses aksesi ke OECD dianggap sebagai katalis untuk melakukan reformasi, karena selama ditinjau kelayakannya oleh komite-komite OECD, ada banyak perbaikan yang dapat dilakukan negara kandidat.
Presiden Joko Widodo menerima delegasi dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis, 10 Agustus 2023.
Mulai dari memaksimalkan perdagangan dan investasi, menumbuhkan inovasi, mengurangi kesenjangan, memerangi korupsi, memperbaiki sistem pajak, membuat penggunaan sumber daya alam lebih berkelanjutan dan pro-lingkungan, meningkatkan efektivitas administrasi publik, hingga mengoptimalkan efektivitas kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan, dan pasar tenaga kerja.
Tinjauan geopolitik
Meski OECD fokus pada masalah ekonomi dan pembangunan, proses aksesi Indonesia memerlukan sikap politik yang tegak lurus. Komitmen politik yang kontinu diperlukan mengingat proses implementasi Peta Jalan akan butuh waktu beberapa tahun.
Tinjauan geopolitik menjadi vital mengingat aksesi akan berdampak pada konstelasi politik internasional. Tantangan geopolitik terutama ialah soal inklusivitas dan relevansi OECD.
Dipahami bahwa OECD bermula dari Organisasi Kerja Sama Ekonomi Eropa (OEEC), suatu lembaga yang dibentuk tahun 1948 untuk mengelola dana bantuan Amerika Serikat (AS) dan Kanada kepada 18 negara Eropa sebagai bagian dari rencana rekonstruksi pasca-Perang Dunia II.
Tahun 1961, OEEC berganti nama menjadi OECD. Perlahan OECD berupaya meningkatkan jangkauan global mereka dengan turut bergabungnya negara-negara di luar Eropa Barat, seperti Jepang dan Korea Selatan dari Asia; negara-negara bekas komunis seperti Ceko, Slowakia, Hongaria, Polandia, Estonia, dan Lituania; hingga negara-negara Amerika Latin, seperti Meksiko, Chile, Kolombia, dan Kosta Rika. Secara total, OECD sudah beranggotakan 38 negara.
Pola ekspansi OECD menunjukkan pergerakan organisasi yang mencoba lebih inklusif. Kemitraan yang dijalin pada tahun 2007 antara OECD dan Indonesia beserta Brasil, India, China, dan Afrika Selatan (empat dari lima anggota BRICS) bukan tanpa maksud.
Kelima negara dipandang strategis di kawasan masing-masing serta dipertimbangkan sebagai kandidat potensial.
Upaya peningkatan peran mitra ini dikonfirmasi setidaknya dalam Pernyataan Visi Perayaan 50 Tahun (2011), Resolusi Dewan mengenai Penguatan Jangkauan Global OECD (2013), dan Kerangka untuk Pertimbangan Calon Anggota (2017).
Meski OECD fokus pada masalah ekonomi dan pembangunan, proses aksesi Indonesia memerlukan sikap politik yang tegak lurus.
Sementara, Rusia—satu-satunya anggota BRICS yang tidak menjadi negara mitra OECD—sebetulnya telah diundang untuk menjadi anggota, juga pada tahun 2007. Hanya saja, karena masalah Crimea dan Ukraina, proses aksesi Rusia dihentikan.
Masalahnya, inklusivitas OECD tidak cukup sempurna. Meski empat dari 38 anggota OECD (Kosta Rika, Turki, Meksiko, dan Kolombia)—lalu empat dari enam kandidat anggota (Bulgaria, Argentina, Brasil, dan Peru), serta empat mitra kunci lainnya (China, Afrika Selatan, Indonesia, dan India) berstatus negara berkembang—OECD dinilai belum memberikan suatu peron yang strategis untuk mendorong posisi bersama. Terutama untuk memajukan kepentingan negara-negara berkembang.
Beberapa anggota OECD bahkan bertahan dengan forum multilateral negara- negara berkembang, seperti G77 yang terdiri atas 135 negara. Meksiko dan Korea Selatan memang meninggalkan G77 ketika masing-masing bergabung dengan OECD tahun 1994 dan 1996.
Namun, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G77+China, 15-16 September 2023 di Havana, Kuba, Meksiko kembali bergabung dengan G77, sembari tetap di OECD. Meksiko memandang G77 justru tetap relevan untuk memperkuat kerja sama di antara negara berkembang. Chile, Kolombia, dan Kosta Rika yang relatif baru bergabung dengan OECD juga tidak meninggalkan G77.
Apa yang dilakukan negara-negara Amerika Latin ialah memastikan langkah kaki berada pada jalur yang tepat menuju negara maju, tetapi seolah tidak mau tergesa-gesa, agar tidak menimbulkan kekagetan. Toh, perubahan yang diharapkan OECD selama proses aksesi ialah reformasi, bukan revolusi.
Kementerian Koperasi dan UKM bersama dengan UN-ESCAP dan OECD serta berkolaborasi dengan OXFAM, World Benchmarking Alliance, dan INFID, menggelar acara 6th ASEAN Inclusive Business Summit 2023 di Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu (23/8/2023).
Perubahannya cukup radikal, dan banyak hal dari regulasi nasional yang perlu disesuaikan, tetapi tidak dilakukan dengan cara-cara yang justru dapat menimbulkan banyak mudarat. Cara ini patut dipertimbangkan bagi Indonesia yang masih berprogres.
Saat ini pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita Indonesia sudah mencapai 4.580 dollar AS sehingga masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah atas. Namun, dibandingkan dengan anggota, kandidat, dan mitra OECD lainnya, PNB per kapita Indonesia hanya lebih unggul dibandingkan India (2.380 dollar AS—masih dikategorikan negara berpendapatan rendah).
Dengan membaca ketertinggalan ini, meski niat awalnya adalah untuk mengeluarkan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah, bukan berarti Indonesia melompat secara mendadak meninggalkan status negara berkembang menuju negara maju. Setidaknya, sembari tetap berupaya memenuhi standar OECD, peran Indonesia dalam kerja sama negara-negara berkembang justru tidak ditinggalkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia memosisikan diri sebagai pembangun jembatan yang menghubungkan kepentingan negara berkembang dengan negara maju. Peran ini terlihat dari banyak hal. Mulai dari upaya agar vaksin Covid-19 jadi terjangkau bagi negara-negara berkembang, berbagai bantuan hibah kepada negara-negara Afrika hingga Pasifik, kerja sama Selatan-Selatan triangular untuk mencapai pemenuhan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), hingga berbagai hasil nyata (concrete deliverables) yang dicapai selama Presidensi G20 dan Keketuaan ASEAN.
Menjaga peran sebagai penghubung ini akan memberikan sejumlah manfaat baik bagi Indonesia maupun OECD.
Pertama, politik luar negeri bebas aktif dapat terus dijaga karena dominasi negara-negara OECD pada masalah politik dan ekonomi dunia dapat diimbangi.
Bagi OECD sendiri, kehadiran negara yang bebas aktif juga dapat mencegah organisasi ini terjebak pada kepentingan politik strategis partisan, seperti didorong untuk memihak pada rivalitas AS-China atau perang Rusia-Ukraina.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia memosisikan diri sebagai pembangun jembatan yang menghubungkan kepentingan negara berkembang dengan negara maju.
Dengan mengambil peran sebagai negara netral yang punya pengaruh strategis di Indo-Pasifik, Indonesia dapat mendorong OECD untuk fokus pada tujuan mereka, yaitu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Kedua, OECD mungkin tidak cukup inklusif, tetapi Indonesia dapat mengisi kekosongan peran sebagai negara yang terus mendorong pembangunan inklusif di kawasan. Di ASEAN, Indonesia turut merancang Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik (AOIP) yang pada KTT Ke-43 ASEAN diimplementasikan melalui Forum ASEAN Indo-Pasifik (AIPF), 5-6 September 2023.
Ini dapat menjadi praktik baik yang dapat dibagikan Indonesia kepada negara-negara OECD, ihwal bagaimana pembangunan yang terkoneksi di beberapa negara dapat dilaksanakan.
Refleksinya, bergabung dengan OECD ialah langkah tepat untuk menjadi negara maju, tetapi sebaiknya semua pihak tidak menggebu-gebu, seolah-olah saat ini Indonesia benar-benar sudah naik kelas.
Kita akan naik kelas, tentu saja, tetapi tentu setelah belajar keras lalu berhasil melewati berbagai ujian. Tidak perlu pula melepaskan berbagai identitas nasional yang sudah kita tanam, termasuk kepada negara-negara sahabat.
Baca juga : Menimbang Untung-Rugi RI Masuk “Klub Negara Maju”
Naldo HelmysDiplomat Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri