Keinginan Indonesia untuk bergabung ke OECD telah disampaikan ke 38 negara anggota "klub negara maju" itu. Namun, pemerintah perlu mencermati konsekuensi dan implikasi yang bisa mengikuti dari status keanggotaan itu.
Oleh
agnes theodora, Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
Siluet warga saat bersantai menikmati suasana sore di Hutan Kota Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Sabtu (18/3/2023). Keseimbangan pembangunan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan pembangunan sosial di Indonesia diperlukan untuk menopang kesejahteraan dan kebahagiaan warga.
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia mengintensifkan lobi-lobi untuk menjadi anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD. Keanggotaan di “klub negara maju” diharapkan bisa mengakselerasi upaya Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi. Meski demikian, ada sejumlah konsekuensi dan implikasi yang perlu dicermati.
Saat ini, OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) beranggotakan 38 negara yang mayoritas berstatus negara berpendapatan tinggi dengan rata-rata pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita sebesar 44.886 dollar AS pada tahun 2022.
Hanya ada dua anggota dengan status negara berpendapatan menengah-atas, yaitu Kolombia (PNB per kapita 6.630,3 dollar AS) dan Kosta Rika (PNB per kapita 13.198 dollar AS). Sebagai perbandingan, PNB per kapita Indonesia pada 2022 adalah 4.580 dollar AS, membuat RI kembali naik status sebagai negara berpendapatan menengah-atas.
Jika disetujui menjadi anggota OECD, Indonesia akan menjadi negara Asia Tenggara pertama dan negara Asia ketiga yang bergabung di organisasi yang sering disebut sebagai “klub negara maju” itu. Sebelumnya, Jepang bergabung pada tahun 1964 dan Korea Selatan pada 1996.
Akhir-akhir ini, proses lobi untuk menjadi anggota OECD semakin intens dilakukan. Pada Kamis (10/8/2023), Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann berkunjung ke Indonesia untuk bertemu Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, secara terpisah.
Usai bertemu Cormann di kantor Kemenko Perekonomian di Jakarta, Airlangga Hartarto mengatakan, menjadi anggota OECD dapat mempercepat upaya Indonesia keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap) dan menjadi negara berpendapatan tinggi.
Sebab, setiap negara anggota OECD akan didorong melakukan reformasi serta menerapkan standar kebijakan dan regulasi tertentu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas. Peluang investasi dan kerja sama perdagangan juga otomatis terbuka lebih lebar.
“Itu diharapkan menjadi patokan dan best practice untuk kita keluar dari middle income trap. Ditambah akan ada peer support dari negara anggota yang lain agar program pembangunan kita bisa berjalan baik,” katanya, Kamis.
Jika disetujui menjadi anggota OECD, Indonesia akan menjadi negara Asia Tenggara pertama dan negara Asia ketiga yang bergabung.
Saat ini, keinginan Indonesia menjadi anggota OECD telah disampaikan ke 38 anggota OECD. Menurut Airlangga, usulan itu disambut baik oleh anggota lainnya. Pengalaman RI memimpin presidensi G20 dan keketuaan ASEAN memberi posisi tawar kuat.
Indonesia juga mendapat nilai tambah karena mampu melakukan reformasi ekonomi di tengah pandemi, serta aktif dalam berbagai inisiatif global. Salah satunya, Financial Action Task Force (FATF), forum internasional untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris.
Namun, proses yang harus dilalui masih panjang. Biasanya, suatu negara harus menunggu 4-8 tahun untuk disetujui sebagai anggota OECD. Kosta Rika, sebagai negara terakhir yang bergabung pada tahun 2021, harus menunggu lima tahun. Kolombia, yang bergabung pada 2020, memakan waktu hingga tujuh tahun.
“Mereka menyambut positif, tapi untuk jadi anggota OECD itu butuh waktu panjang. Tetapi, Indonesia sudah jadi negara mitra utama OECD selama 15 tahun dan OECD sudah punya kantor di sini meski kita belum jadi anggota,” ujar Airlangga.
Konsekuensi
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal menambahkan, pemerintah perlu mencermati konsekuensi menjadi anggota OECD. Misalnya, siap atau tidak Indonesia untuk menyeragamkan kebijakan dan regulasinya mengikuti standar negara-negara maju di OECD.
Sebab, konteks kebutuhan dan kepentingan ekonomi negara berkembang berbeda dengan negara maju. Ia mencontohkan, posisi RI yang sedang bertentangan dengan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) perihal larangan ekspor bijih nikel, serta implementasi UU Anti Deforestasi yang mengganggu ekspor produk perkebunan asal Indonesia.
“Struktur ekonomi, kebutuhan, dan kepentingan negara maju dan berkembang berbeda. Jadi, sebelum masuk, kita harus mengukur diri. Siap atau tidak kita menyeragamkan kebijakan dan regulasi kita? Untuk ekspor sawit, misalnya, apakah dengan masuk OECD, berarti kita bersedia tidak mengekspor sawit dan turunannya?” katanya.
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengibaratkan kondisi Indonesia seperti seseorang yang ingin masuk menjadi anggota klub kebugaran. Meski banyak manfaat yang bisa didapat, ada implikasi biaya yang perlu dicermati.
Dengan menjadi anggota OECD, secara otomatis Indonesia bisa menaikkan reputasinya di mata dunia dan menarik lebih banyak investasi dari negara maju. Kedua, Indonesia akan terdorong untuk melakukan reformasi kebijakan sesuai standar internasional yang ditekankan OECD.
“Dengan masuk sebagai anggota, kita akan diminta mengikuti standar mereka. Itu memaksa kita untuk jadi lebih baik. Ada pressure tambahan dari luar untuk kita melakukan reform,” katanya.
Konteks kebutuhan dan kepentingan ekonomi negara berkembang berbeda dengan negara maju.
Namun, ada implikasi biaya yang perlu dicermati. Negara anggota OECD umumnya lebih aktif dalam perekonomian global. Mereka memiliki tanggung jawab lebih untuk memberi bantuan ke negara miskin dan berkembang. Sementara, selama ini, Indonesia yang masih berstatus negara berkembang lebih sering menjadi negara penerima bantuan.
Tidak hanya itu, reformasi juga umumnya memakan implikasi gejolak dan biaya politik yang tidak murah. “Kita harus lebih aktif memberi bantuan international aid, yang pasti butuh biaya tambahan. Jadi ini ibarat masuk ke health club, kita akan ditata punya gaya hidup lebih baik, tapi ada biaya yang harus kita bayar,” ujarnya.