Badai tanpa henti menerpa Komisi Pemberantasan Korupsi. Setelah diguncang problem pelanggaran etika, Ketua KPK Firli Bahuri mengundurkan diri.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Pengunduran diri Firli Bahuri terkait tiga dugaan pelanggaran etik. Ketiganya adalah pertemuan dan komunikasi dengan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, harta yang tidak dilaporkan secara benar dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), termasuk utangnya, dan penyewaan rumah di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Kompas, 22/12/2023).
Firli menyampaikan pengunduran dirinya seusai menemui Dewan Pengawas KPK, Kamis (21/12/2023) sore. Hal itu ia sampaikan setelah Dewan Pengawas KPK selesai menggelar sidang terkait pelanggaran etik. Selama sidang etik, Firli tak hadir. ”Saya berhenti dari Ketua KPK dan tidak melanjutkan masa perpanjangan, suratnya 18 Desember 2023,” kata Firli.
Kasus dugaan pelanggaran etik yang melibatkan Firli amat mengguncang lembaga antirasuah tersebut, karena harapan publik teramat tinggi akan optimalisasi kinerja KPK. Maklum, seperti ditulis sosiolog Meuthia Ganie-Rochman, ”Meski ada masa-masa posisinya membaik, Indonesia masih selalu berada di posisi kelompok sangat buruk di antara 180 negara yang diukur Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI)” (Kompas.id, 21/12/2023).
Dengan Indeks Persepsi Korupsi yang masih ”sangat buruk”, perang terhadap korupsi semestinya menjadi kesadaran bersama. Kelahiran KPK yang dicita-citakan sebagai jawaban atas stagnasi pemberantasan korupsi, sangat disayangkan, cukup sering diwarnai kontroversi dan silang sengketa. Sebut saja konflik dengan Polri dalam polemik ”Cicak vs Buaya”.
Indonesia, seiring praktik korupsi yang melingkupinya, harus bersama dan serentak menghentikan badai di KPK. Komisioner KPK, terlebih ketuanya, sepatutnya membentengi diri sehingga bersih seutuhnya sebelum memastikan pemberantasan korupsi berjalan maksimal.
Prinsip refrain from doing any harm first, before doing any good (lebih dulu mencegah berbuat salah sebelum berbuat baik) harus dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh komisioner, penyidik, bahkan semua insan KPK. Lebih makro lagi, seharusnya diwujudkan segenap aparat penegak hukum, baik di kepolisian, kejaksaan, maupun KPK.
Dalam penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, wibawa penegak hukum menjadi faktor krusial yang tak bisa ditawar-tawar. Celakanya, praktik kolusi dan nepotisme yang kerap melandasi terjadinya korupsi kini terus meluas dan lama-lama dimaknai sebagai fenomena biasa.
Tak pelak, perlahan kolusi dan nepotisme itu menggerus wibawa penegak hukum. Pada akhirnya, pejabat, baik itu di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, lantas berstatus tersangka koruptor. Sebagian telah jadi terpidana.
Komisioner KPK harus menjadikan KPK kuat secara internal. Dimulai dari bersih diri, sehingga dengan demikian mampu secara legal dan etik, memaksa yang lain bersih. KPK yang bersih menjadi harapan kita semua.