Indonesia peringkat kedua eksportir rumput laut di dunia, tetapi kontribusi ekonomi biru terhadap PDB belum optimal.
Oleh
MEIZANI IRMADHIANY
·3 menit baca
Salah satu hal yang mengemuka pada Konferensi Perubahan Iklim Ke-28 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pada awal Desember ini adalah target net zero/netral karbon dalam rencana pangan dunia. Dalam kesempatan yang dihadiri para pemimpin dunia itu, Penasihat Senior Bidang Kelautan pada UN Global Compact Vincent Doumeizel menyebutkan bahwa revolusi rumput laut dapat mengatasi krisis iklim sekaligus menjaga ketahanan pangan dan krisis sosial.
Pada forum itu juga, Pemerintah Jepang mengungkapkan, mereka berencana menghitung jumlah karbon dioksida yang diserap oleh rumput laut dan lamun sebagai strategi pengurangan emisi gas rumah kaca. UN Global Compact mengindikasikan bahwa rumput laut punya kemampuan luar biasa dalam menyerap karbon, dan membudidayakannya terbukti mampu menciptakan lapangan kerja dan memberdayakan masyarakat.
Di Indonesia, produksi rumput laut tersebar di 23 provinsi, dan kita berada di peringkat kedua sebagai eksportir rumput laut terbesar di dunia yang berdaya saing baik. Kendati ekonomi rumput laut berkembang, secara umum, kontribusi ekonomi biru terhadap produk domestik bruto (PBD) Indonesia belum optimal, yaitu 3,6 persen selama lima tahun terakhir.
Target pemerintah, PDB ekonomi biru bisa mencapai 7-12,5 persen pada Indonesia Emas 2045 dan butuh investasi Rp 3,64 triliun hingga Rp 3.307 triliun. Investasi tersebut tergantung bukan hanya dari produksi, tetapi juga berdasarkan laju degradasi sumber daya alam yang penting untuk menopang aspek produksi. Lalu bagaimana mendatangkan investasi yang tepat sasaran?
Mengidentifikasi potensi produk kelautan di setiap daerah adalah hal yang penting agar kita bisa menentukan model pembiayaan yang tepat. Konservasi Indonesia melakukan studi ekonomi dan sosial terhadap industri rumput laut di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur—provinsi dengan produksi rumput laut terbesar kedua setelah Sulawesi Selatan—dan menemukan, potensi seluas 6.000 hektar (ha) yang baru dimanfaatkan 580 ha. Padahal di tingkat industri, dampak sosial dan ekonomi dari pengembangan industri pengolahan rumput laut sangat positif.
Dampak tersebut terlihat dari keuntungan yang dihasilkan dari budidaya rumput laut yang nilainya di atas upah minimum regional (UMR), yaitu Rp 2,1 juta per bulan hingga Rp 6,7 juta per bulan. Dari identifikasi tersebut, Konservasi Indonesia telah merancang peta jalan investasi dengan merekomendasikan empat strategi untuk mencapainya.
Strategi pertama, penguatan kelembagaan berupa penyediaan kebun bibit oleh balai pembibitan, diperkuat dengan kebijakan dan regulasi agar dapat mengatasi kesulitan utama petani mengakses bibit unggul. Penguatan lain adalah menerapkan sistem sehingga harga produk diatur dan transparan.
Kedua, membantu akses pasar di dalam dan luar negeri, misalnya dengan menghubungkan ke pasar potensial dan mengurangi hambatan seperti kendala logistik. Ketiga, hilirisasi produk rumput laut guna menambahkan nilai sekaligus pendapatan petani. Keempat, pengembangan SDM bagi masyarakat lokal dan praktik-praktik usaha yang ramah terumbu karang dan ekosistem lainnya.
Pengembangan SDM diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengolahan bagi pembudidaya agar produk yang dihasilkan memenuhi standar kualitas. Selain itu, agar petani rumput laut punya kemampuan pembukuan sehingga produksi dan pendapatan dapat terukur dan menghindari gagal panen. Pemahaman usaha yang ramah lingkungan juga penting untuk menjamin keberlanjutan usaha dan lingkungan, terutama isu kerusakan karang, sampah plastik, dan praktik-praktik nonberkelanjutan.
Strategi itu membutuhkan sumber daya besar, terutama dari segi pembiayaan. Pendanaan campuran (blended financing)—yang memadukan pendanaan publik dan swasta—dapat menjadi solusi. Misal, pendanaan campuran dari Global Fund for Coral Reefs yang kami terima untuk mentransformasi industri rumput laut di Sumba Timur, kami gunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Sebagian dana kami pakai sebagai pinjaman berdampak dengan persyaratan lunak seperti bebas bunga selama dua tahun agar UMKM punya waktu untuk berkembang.
Obligasi biru (blue bond) juga menjadi sebagai salah satu dana komersial/swasta dapat dikembangkan dengan menstimulasi bank—milik negara ataupun swasta menerbitkan obligasi biru untuk selanjutnya dipinjamkan kepada UMKM atau korporasi dengan pembatasan ketat dalam penggunaan dana. Misal, yang selaras dengan Prinsip Pinjaman Biru.
Pemerintah dapat terus berkolaborasi dengan pihak swasta, organisasi nirlaba, perguruan tinggi, serta instansi lainnya untuk mengidentifikasi setiap potensi ekonomi maritim yang dapat kita optimalkan. Sambil memberikan kepastian regulasi dan insentif yang bisa mendorong investor agar tertarik melirik proyek-proyek ekonomi biru yang inklusif dengan menjaga kelestarian ekosistem pendukung pembangunan ekonomi ke depan.