Pangan Biru Jadi Solusi
Pengembangan pangan biru merupakan masa depan pemenuhan pangan dunia. Indonesia dinilai memiliki potensi besar untuk pangan biru.
JAKARTA, KOMPAS — Transisi pangan konvensional ke pangan biru didorong menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pangan masa depan. Indonesia yang kaya potensi makanan biru (blue food) dinilai masih belum mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada.
Komoditas pangan biru berupa ikan, alga, dan tumbuhan yang dihasilkan dari budidaya ataupun perikanan darat dan laut dipandang sebagai alternatif sumber pangan berkelanjutan di masa depan.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi M Firman Hidayat mengemukakan, pangan biru merupakan solusi permasalahan global terkait ketahanan pangan. Kebutuhan pangan dunia terus meningkat seiring pertambahan populasi penduduk.
Firman menambahkan, pangan biru merupakan alternatif solusi ketahanan pangan yang kaya protein dan nutrisi. Selain itu, pangan biru juga berperan membantu mitigasi perubahan iklim.
Usaha perikanan saat ini didominasi masyarakat pesisir, nelayan, dan pelaku usaha skala kecil dengan tingkat kemiskinan masih tinggi. ”Pembenahan dan peningkatan pangan biru juga akan mampu meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat pesisir,” kata Firman dalam BlueFood Forum yang digelar secara hibrida, Kamis (16/11/2023).
Pada 2050, jumlah penduduk dunia ditaksir mencapai 10 miliar orang dengan kebutuhan suplai makanan meningkat lebih dari 56 persen. Penambahan pasokan pangan dari pertanian dinilai tidak bisa lagi diandalkan karena lahan pertanian dunia semakin terbatas dan kini sudah termanfaatkan hampir 50 persen. Di sisi lain, pemanfaatan lahan diperlukan untuk pembangunan industri.
Di Indonesia, luas lahan padi terus menurun dengan tingkat produktivitas yang cenderung stagnan. Pada 2022, luas lahan padi tercatat 10,5 juta hektar (ha) dengan produktivitas 5,2 ton per ha. Luas lahan padi itu menurun dibandingkan dengan tahun 2020, yakni 10,7 juta ha dan produktivitas 5,1 ton per ha. Kendala luas lahan padi dinilai akan berlanjut dengan tren penurunan luas lahan.
Ia menambahkan, Indonesia dengan luas perairan 6,4 juta kilometer persegi atau 75 persen dari total wilayah memiliki potensi besar di sektor maritim, termasuk pangan biru. Akan tetapi, potensi sektor maritim belum termanfaatkan secara optimal.
Baca juga: Kebijakan Ekonomi Biru Indonesia Sejalan dengan Perjanjian Pencegahan Penangkapan Ikan Ilegal
Kontribusi produk domestik bruto (PDB) sektor maritim terhadap PDB nasional pada 2021 baru sekitar 7,6 persen atau naik tipis dari tahun 2020, yakni 7,38 persen. Sementara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)/Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) telah menargetkan kontribusi PDB sektor maritim pada 2045 sebesar 15 persen.
”Pertumbuhan PDB sektor maritim masih jauh kalah dibanding PDB sektor non-maritim, padahal potensinya besar. Ini menjadi indikasi kita belum merealisasikan potensi (maritim) yang dimiliki,” ujar Firman.
Adapun capaian produksi perikanan diprediksi belum akan memenuhi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pada 2024, produksi perikanan ditargetkan mencapai 32,7 juta ton, sedangkan rumput laut basah 12,3 juta ton. Adapun dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga triwulan III (Juli-September) 2023, total produksi perikanan baru 18,5 juta ton, sedangkan rumput laut sekitar 9 juta ton.
Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas/Kementerian PPN Rakhmat Mulianda, mengemukakan, Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar dunia untuk perikanan tangkap dan akuakultur hingga kini belum optimal menggarap produk olahan. Pengolahan produk perlu ditingkatkan untuk nilai tambah.
Pengembangan pangan biru sebagai kekuatan baru di tingkat lokal dan global memerlukan rencana aksi dan kolaborasi seluruh unsur pembangunan, baik pemerintah, pelaku swasta, lembaga, maupun organisasi. ”Target RPJMN yang ambisius untuk produksi perikanan dan kelautan hanya dapat dicapai melalui kerja sama mitra pembangunan,” ujarnya.
Industrialisasi
Firman mengungkapkan, permasalahan utama di sektor maritim yang perlu diperbaiki adalah industrialisasi. Dari 12 subsektor maritim, kontribusi produksi perikanan tangkap dan budidaya terhadap sektor maritim cukup besar, yakni 29,11 persen, akan tetapi industri pengolahan rendah (4,11 persen). Demikian pula kontribusi industri manufaktur perawatan kapal masih minim (0,74 persen).
Baca juga: Memanfaatkan Mikroalga untuk Pangan
Upaya merealisasikan potensi sektor maritim dinilai tidak mudah karena ada nilai tambah yang harus dikejar. Salah satu potensi maritim yang dinilai potensial untuk hilirisasi adalah komoditas rumput laut. Hasil kajian Bank Dunia, penggunaan rumput laut semakin meningkat baik untuk pangan ataupun nonpangan.
Kendalanya, produksi rumput laut turun dari 11 juta menjadi 9,3 juta ton dan sebagian besar diekspor dalam bentuk bahan mentah. Industri olahan berupa karagenan mulai kesulitan bahan baku. Pemerintah tengah menginisiasi proyek percontohan budidaya rumput laut skala industri di Nusa Tenggara Barat seluas 1 kilometer persegi dengan menggandeng swasta dan melibatkan masyarakat. ”Hilirisasi rumput laut membutuhkan peningkatan produksi. Percuma hilirisasi kalau produksi tidak ditingkatkan,” ujarnya.
Ageng S Harianto, representatif FAO, mengemukakan, budidaya berkelanjutan merupakan salah satu pilar transformasi biru. Budidaya berkelanjutan harus tumbuh sedikitnya 35 persen per tahun untuk mengimbangi kenaikan kebutuhan konsumsi 15 persen. Kesiapan rantai pasok diperlukan mulai dari produksi (on farm) hingga ke konsumen.