Penerbitan SDG Blue Bond penting untuk mendorong pengembangan ekonomi biru dan menutup celah pembiayaan untuk perubahan iklim.
Oleh
ITA YENNY SIHOTANG
·4 menit baca
Sebagai bagian dari 20 negara (G20) dengan potensi perekonomian terbesar di Asia, Indonesia berkomitmen menjalankan amanat UUD 1945 melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pun pada sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, September 2015, 193 pemimpin dunia, termasuk Indonesia, menyepakati program SDGs dalam mewujudkan pembangunan untuk mengatasi kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan melestarikan lingkungan hidup.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mempertegas bahwa pembangunan ekonomi sebagaimana diamanatkan UUD 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Bappenas menyebutkan bahwa SDGs adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan tatanan kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup, serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan.
Pembangunan SDGs memiliki empat pilar utama, yakni pembangunan sosial, pembangunan ekonomi, pembangunan lingkungan, serta pembangunan hukum dan tata kelola, yang diharapkan tercapai pada 2030.
Upaya penyelarasan anggaran dan target SDGs ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 pun dilakukan pemerintah. Dibutuhkan sedikitnya 400 miliar-750 miliar dollar AS untuk mencapai target pembangunan SDGs 2030 dengan kondisi kapasitas fiskal yang terbatas. Di sini, APBN menunjukkan perannya sebagai instrumen yang mendorong sustainable finance.
Selanjutnya, dalam APBN, kebijakan pembiayaan anggaran diarahkan untuk mendukung kebijakan fiskal ekspansif melalui pengembangan instrumen pembiayaan inovatif dan prudent guna menjaga keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability), salah satunya dengan menerbitkan SDG Blue Bond.
Urgensi dan potensi
Urgensi penerbitan SDG Blue Bond adalah pentingnya mendorong pengembangan ekonomi biru dan menutup celah pembiayaan untuk perubahan iklim.
”Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, serta memunggungi selat dan teluk. Ini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga jalesveva jayamahe, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu bisa kembali lagi membahana,” kata Presiden Joko Widodo pada 2014.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi sektor kelautan atau ekonomi biru yang besar. Badan Pusat Statistik (2021) menyebutkan potensi ekonomi kelautan Indonesia pada 2020 sekitar 1,3 triliun dollar AS dengan potensi kesempatan kerja 45 juta orang.
Bank Dunia pun menyebutkan bahwa Indonesia sebagai peringkat kedua sebagai negara dengan sektor perikanan terbesar di dunia setelah China. Sektor perikanan memberikan kontribusi sebesar 27 miliar dollar AS terhadap PDB kita.
Dengan melihat peranan terumbu karang dan mangrove dalam mengurangi dampak banjir dan tsunami terhadap masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir, Bank Dunia mencatat bahwa pelindungan yang diberikan oleh terumbu karang dan mangrove ini bernilai setidaknya 639 juta dollar AS per tahun.
Potensi ekonomi kelautan Indonesia pada 2020 sekitar 1,3 triliun dollar AS dengan potensi kesempatan kerja 45 juta orang.
Istimewanya adalah Indonesia mempunyai ekosistem biru yang sangat besar. Bappenas (2022) menyebutkan Indonesia memiliki terumbu karang seluas 3,9 juta hektar, mangrove seluas 3,31 juta hektar—hingga menjadikan Indonesia sebagai negara dengan mangrove terluas di dunia, serta padang lamun tervalidasi seluas 293.465 hektar. Selanjutnya, hutan mangrove dan padang lamun Indonesia menyimpan 17 persen cadangan karbon biru dunia yang memiliki potensi besar mendukung pencapaian target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) dalam penurunan emisi gas rumah kaca.
Dengan potensi dan urgensi dari pentingnya pengembangan ekonomi biru tersebut menuntut pemerintah mengembangkan sumber pembiayaan inovatif, yakni dengan menerbitkan SDG Samurai Blue Bond. Yaitu, obligasi yang diterbitkan dalam valuta asing berdenominasi yen di pasar Jepang di mana hasil penerbitannya digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang terkait dengan kegiatan maritim dan kelautan dalam rangka pencapaian target SDGs Indonesia 2030 di bidang ekonomi biru.
Melanjuti keberhasilan Pemerintah Indonesia sebagai negara Asia pertama yang menerbitkan SDG Bond dalam denominasi Euro sebesar 500 juta euro pada 2021, pemerintah pun kembali melakukan inovasinya lewat SDG Blue Bond.
Ekonomi biru
Transaksi SDG Blue Bond di pasar Jepang ini mendapat sambutan yang sangat baik dari para investor. Indonesia kembali berhasil menjadi negara pertama di dunia yang menerbitkan Blue Bonds dengan menggunakan standar International Capital Market Association (ICMA) Principles.
Pada 19 Mei 2023, pemerintah melalui Kementerian Keuangan sukses mengumpulkan dana lewat penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing berdenominasi yen Jepang atau Samurai Bond sebesar 104,8 miliar yen atau setara dengan Rp 11,34 triliun. Dari jumlah itu, 20,7 miliar yen adalah SDG Samurai Blue Bond.
Suminto, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, mengatakan, penerbitan Blue Bonds akan melengkapi portofolio pembiayaan APBN dan menunjukkan semakin kuatnya komitmen pemerintah terhadap pembiayaan berkelanjutan. Selain itu, penerbitan Blue Bonds diharapkan akan membuka alternatif pembiayaan biru lainnya untuk Indonesia.
Dana pembiayaan yang berhasil dikumpulkan dari SDG Samurai Blue Bond, yakni 20,7 miliar yen, akan digunakan untuk membiayai proyek/kegiatan yang berkaitan dengan ekonomi biru yang penerbitannya didukung oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Direktorat Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, kementerian/lembaga yang memiliki proyek underlying (seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan), dan UNDP. Contoh proyek/kegiatan ekonomi biru dimaksud antara lain pengolahan limbah, perlindungan laut dan pesisir, pemulihan ekonomi dan keanekaragaman hayati, pengembangan perikanan yang berkelanjutan, manajemen bencana dan pengurangan risiko, energi kelautan terbarukan, dan pengembangan ekowisata.
Jodi Mahardi, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, mengatakan, keberhasilan penerbitan Samurai Blue Bond tidak terlepas dari sinergi yang erat antara Kemenko Kemaritiman, Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas dan kementerian teknis terkait. Dia berharap penerbitan Samurai Blue Bond ini menjadi salah satu show best practices blue financing pada keketuaan Indonesia di ASEAN dan Pertemuan Tingkat Tinggi Negara Pulau dan Kepulauan (AIS Forum) pada akhir tahun 2023.
Penerbitan SDG Samurai Blue Bond dengan ICMA Principles ini menyebabkan pemerintah tidak hanya serta-merta melakukan penerbitan, mengalokasikan pembiayaan kepada proyek/kegiatan ekonomi biru yang menjadi underlying, lalu berhenti begitu saja. Pemerintah masih memiliki tugas untuk mempertanggungjawabkan penggunaan penerbitan SDG Samurai Blue Bond ini.
Pemerintah perlu menunjukkan sisi akuntabilitas dari kebijakan penerbitan ini sehingga investor dapat meyakini bahwa dana SDG Samurai Blue Bond telah digunakan sebenar-benarnya untuk pencapaian tujuan pembangunan SDG Ekonomi Biru Indonesia.
Oleh karena itu, kolaborasi yang baik antara Kemenkeu dengan Kemenko Kemaritiman, Direktorat Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/Bappenas, serta kementerian/lembaga teknis sangat diperlukan guna memastikan pembiayaan tersebut tepat sasaran dan nantinya akan menjadi laporan pertanggungjawaban kepada investor melalui laporan tahunan (annual report).
Ita Yenny Sihotang, Analis Pengembangan Instrumen dan Basis Investor Surat Utang Negara pada Kementerian Keuangan; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia