Jika ada kehendak baik, damai sejahtera menampakkan diri sebagai damai yang positif. Inilah yang diperlukan di Bethlehem pada masa kini, di Gaza, dan juga di Indonesia.
Oleh
DANIEL K LISTIJABUDI
·3 menit baca
Tahun ini tidak ada perayaan Natal di Bethlehem, tempat Yesus lahir. Berita pembatalan perayaan Natal di Gereja Kelahiran Yesus (Church of Nativity) ini diputuskan oleh para pemimpin komunitas gereja Palestina sejak bulan lalu (wliw.org). Perang Hamas-Israel telah menyebabkan penderitaan nan sedemikian masif sehingga kegiatan merayakan Natal yang gemerlap dan yang biasanya akan menarik ribuan pengunjung (turis) menjadi tidak selayaknya dilakukan.
Wali Kota Hana Haniyeh juga mengatakan hal serupa pada 17 Desember 2023 (apnews.com). Konflik Hamas-Israel sungguh memilukan. Kedua belah pihak sama-sama menderita. Pihak Israel melaporkan bahwa sejak Hamas menyerang wilayah Israel bagian selatan secara mengejutkan pada awal Oktober 2023, ada sekitar 1.139 orang, sebagian besar warga sipil, tewas dan sedikitnya 250 orang lainnya disandera. Dari pihak Palestina juga menyebutkan bahwa telah ada lebih dari 18.800 orang, kebanyakan perempuan dan anak-anak, yang tewas akibat serangan Israel (Kompas, 18/12/2023).
Harapan agar konflik laten ini dapat terurai dan membuahkan damai apakah memang suatu yang utopis? Dalam keraguan itu, patut pula kita mengajukan permenungan klasik: masih adakah sesuatu yang dapat dipetik dari kisah Natal pertama dahulu di Bethlehem sebagaimana dicatat dalam Injil?
Bethlehem, yang sering juga disebut ”Kota Daud”, memiliki arti harfiah: rumah roti. Kota kelahiran Daud ini adalah lokasi permukiman yang sederhana jika dibandingkan dengan kota di dekatnya, yakni Jerusalem yang tersohor itu. Ke-periferi-an si rumah roti ini bagi penginjil Lukas justru memainkan peran penting dalam mengantarkan suatu pesan bagi pembacanya. Dalam kisah Natal, ada ide tentang terobosan peran dan pembalikan, yakni apa yang biasanya dianggap kecil dan remeh ternyata memainkan peran penting.
Dikisahkan, Bunda Maria melahirkan bayi kudus Yesus di tempat di mana ada palungan, tempat makanan hewan. Itu tentu bukan ruangan yang sewajarnya bagi seorang yang bersalin. Alasannya, ruang untuk tamu, yang dalam bahasa Yunani disebut kataluma (Luk 2: 7), sudah penuh. Ada sensus. Bisa kita bayangkan, betapa para kerabat dari mana-mana meriung bersama di rumah saudara yang ada di Bethlehem.
Di tempat di luar rumah utama itu, bayi Yesus dilahirkan dan dibungkus lampin serta dibaringkan di palungan. Datanglah para gembala (poimen: gembala upahan, alias bukan para pemilik domba) menjenguk bayi yang baru dilahirkan itu. Ada kesesuaian tertentu di sini, di antara setting tempat yang ber-palungan dan kedatangan dari kelompok orang yang sehari-hari berurusan dengan binatang. Sekilas tampak pas. Namun, narasi Injil Lukas mengisahkan adanya gambaran perjumpaan kemarjinalitasan tersebut dalam kelindannya dengan suatu desain Ilahi nan agung.
Dalam kisah Natal, ada ide tentang terobosan peran dan pembalikan, yakni apa yang biasanya dianggap kecil dan remeh ternyata memainkan peran penting.
Para gembala yang sederhana, miskin, dan sering dipandang rendah dalam sedimentasi sosial masyarakat Yahudi (James Ermatinger, 2008) datang ke tempat bayi kudus itu atas anjuran dari suatu pengalaman extravagan. Semula para gembala itu ketakutan karena mengalami pengalaman fascinosum et tremendum (keterpesonaan nan menggentarkan) ketika melihat paduan suara malaikat menyapa mereka di padang Efrata: ”Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2: 14).
Apa yang ingin disampaikan melalui pilihan pada kelompok orang kecil menjadi pewarta berita sukacita? Mungkin sekali terletak pada intensitas Injil Lukas yang hendak menggarisbawahi esensi peristiwa Natal pertama sebagai kisah tentang terobosan penuh kejutan dalam pewartaan kabar baik. Gembala dipilih karena mereka model paling pas dari gerakan berpindah dari ketakutan ke kesukacitaan.
Orang kecil adalah korban dari segala sistem masyarakat dan terkadang juga korban dari sistem religius. Mereka terbiasa dalam keadaan tertekan, terdeskriminasi, takut, dan tersudutkan. Jika kepada mereka diberikan lawatan nan membuncahkan harapan dan membuka pintu gerbang kegembiraan, lompatan dari phobos (takut, Lk 2: 9) ke doxa dan aineo (memuliakan dan memuji Allah, Lk2: 20) akan sedemikian epik dan enigmatik sekaligus.
Untuk menegaskan peristiwa lawatan istimewa ini, perlu ada penanda. Tanda dari kejutan itu di satu pihak terasa asing, tetapi sekaligus akrab. Asing karena kaum rendahan menerima kemuliaan. Akrab, karena kemuliaan Allah terejawantahkan pada apa yang biasa dan profan: bayi terbaring di tempat makan hewan. Di situlah ketegangan kreatif Natal dihantarkan.
Simpul dari kelindan doxa (kemuliaan Ilahi) dan profanitas eirene (damai di bumi), pada Lukas Pasal 2, adalah pada karya Allah yang cosmothendric (istilah Raymundo Panikkar, yang menarikan tiga aspek, yakni cosmos: dunia, theos: Allah, dan andros: manusia). Kekosmotheadrikan ini tertala dalam suatu nilai etis-spiritual karena doxa dan eirene itu hanya dialami oleh mereka yang ”berkenan kepada-Nya” yang dalam teks Yunani adalah eudokia, yang berarti: berkehendak baik.
Itulah panggilan bagi kita semua (orang yang marjinal sekalipun). Jika ada kehendak baik, kemuliaan surga dan keprofanan bumi berjalin rapat. Dalam hal inilah damai sejahtera (shalom (Ibrani)/eirene (Yunani) menampakkan diri sebagai a positive peace, damai yang positif, dan bukan negative peace yang adalah peace without justice. Istilah ini diintrodusir oleh Martin Luther King Jr, tokoh kemanusiaan yang menjadi martir di masa modern ini.
Damai positif semacam itulah dan tekad berkehendak baik (eudokia) dalam batin nan mewujud dalam praksis semacam itulah yang diperlukan di Betlehem pada masa kini, di Gaza, dan juga di ruang bersama bernama Indonesia, terutama ketika kita mengelola berbagai ketegangan sosial, politis, hukum, dan moral serta persoalan krisis ekologi yang merebak di berbagai konteks menjelang tahun politik 2024.
Semoga semua itu dikerjakan dengan eudokia. Sebab, itulah nilai dasar panggilan bagi insan manusia untuk berpartisipasi sebisanya dalam menghadirkan kemuliaan surgawi nan berkelindan dengan keprofanan damai di bumi, termasuk di bumi Indonesia tercinta.