Perayaan Natal selalu identik dengan pohon natal, Sinterklas, ornamen, dan segala pernak-perniknya. Semarak itu menjadi satu episode dari sejarah panjang Natal. Masyarakat pun punya banyak kisah memaknai hari raya itu.
Stevanus Bayu (34), pengendara ojek daring di kawasan Jakarta, berusaha keras mencari penumpang, Selasa (12/12/2023) siang. Biasanya ia keluar hanya sore hari. Namun, kini ia mengejar penumpang hampir 24 jam nonstop.
Bagi Bayu, Natal bisa menyibukkan. Ia harus menyiapkan bingkisan kecil untuk tiga anaknya. Minimal baju baru untuk ke gereja. ”Jadi, narik terus. Istri saya juga kerja. Nah, akhir tahun gini kalau enggak bisa ngajak liburan, ya, minimal ada kado buat anak-anak,” katanya.
Di rumahnya, Bayu dan istri sudah mulai membersihkan pohon natal yang selama ini disimpan di atas loteng. Jadi, pohonnya tampak baru bagi anak-anaknya. Pohon ini penting untuk membedakan momen Natal dan hari biasa.
Meski terasa melelahkan dan merepotkan, Natal tetap momentum yang ia tunggu. ”Sehari itu ajalah (libur Natal), enggak mikirin kreditan sama uang sekolah,” katanya sambil tertawa.
Begitu juga Magdalena Oa Eda Tukan (30), pemuda asal Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Momentum Natal yang diingatnya adalah saat keluarga berkumpul sambil makan bersama, ngobrol di dekat pohon natal yang kerlap-kerlipnya menerangi ruangan.
Suasana itu, menurut dia, langka. Apalagi, Eda dan lima saudaranya tinggal berjauhan. Natal pun acapkali menyatukan mereka. ”Yang paling diingat dari Natal itu, 10 persen berdoa, 90 persen makan-makan,” ucapnya tersenyum.
Beda lagi dengan artis, pembawa acara, dan model Sandra Dewi. Sejak dini, ia sudah ditanamkan bahwa asal muasal Natal begitu beragam dan identik dengan budaya Eropa.
”Jadi, tradisinya di Eropa. Sejarah pohon natal yang kutahu juga dari Jerman. Dari dulu dipakai karena tahan diterpa badai salju,” katanya.
Natal memang identik dengan kerlap-kerlipnya, Sinterklas, kado, hamper, dan banyak lagi. Namun, Ketua Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) 2023 Pendeta Albertus Patty menjelaskan, segala budaya Eropa itu hanya ekspresi merayakan Natal. Natal jauh lebih besar dari itu, di mana dalam sejarah mana pun Natal merupakan perayaan kelahiran Yesus Kristus.
Dalam situs britannica.com dan catholicculture.org, tanggal 25 Desember pertama kali diidentifikasi sebagai tanggal kelahiran Yesus oleh Sextus Julius Africanus pada tahun 221. Lalu, tanggal itu diterima secara universal. Di Roma, Natal mulai dirayakan pada tahun 336 M.
Kelahiran Yesus ke dunia merupakan titik awal paling penting dalam misi Kristus. Ia dilahirkan dengan campur tangan Allah melalui kuasa Roh Kudus atas Bunda Perawan Maria. Walakin, sampai saat ini tidak ada yang mengetahui pasti tanggal kelahiran Yesus.
”Natal itu momen Allah memberikan diri-Nya untuk umat manusia lewat Yesus, yang kemudian menebus dosa umat manusia. Hal itu yang perlu diingat dan dimaknai,” ungkap Patty.
Hal itu sejalan dengan tema Natal 2023. Setiap tahun, PGI bersama Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) selalu menentukan tema besar Natal bersama. Tahun ini disepakati ”Kemuliaan bagi Allah dan Damai Sejahtera di Bumi” sebagai tema besar Natal 2023.
Ketua Umum PGI Pendeta Gomar Gultom mengatakan, Natal yang selalu dirayakan pada akhir tahun menjadi momentum yang tepat untuk refleksi bagi seluruh umat manusia, bukan hanya Kristiani. Tema yang diambil tahun ini pun sangat relevan dengan kondisi dunia kini.
Setiap orang, kelompok, ataupun negara menginginkan damai sejahtera. Tapi, pada kenyataannya ada saja kekuatan yang merusak jalan damai itu.
”Setiap orang, kelompok, ataupun negara menginginkan damai sejahtera. Tapi, pada kenyataannya ada saja kekuatan yang merusak jalan damai itu sehingga konflik, kekerasan, dan perang masih saja terjadi,” ungkap Gomar.
Konflik, lanjut Gomar, tak pernah usai karena masih merebaknya egosentrisme dan yang lebih buruk lagi ialah keserakahan. ”Jika Natal adalah peristiwa prakarsa Allah mengosongkan diri hingga rela menjadi manusia, maka pengosongan diri itu harus diikuti manusia. Pengosongan dari egosentris tadi,” ungkapnya.
Hal serupa juga disampaikan Sekretaris Eksekutif KWI Romo Paulus Christian Siswantoko. Menurut dia, kemuliaan digambarkan sebagai kejujuran dan segala kebaikan lainnya. Kebaikan itulah yang perlu dibagi di momen Natal, khususnya di momen politik yang penuh persaingan.
”Umat harus menjadi pembawa damai, kebaikan, di lingkungannya dalam situasi apa pun, termasuk politik sehingga tidak ada permusuhan,” kata Siswantoko.
Apa pun sejarah Natal, momen itu selalu menjadi peristiwa yang penuh makna bagi umat manusia dengan pengalamannya masing-masing.