PBB adalah lembaga multilateral satu-satunya yang secara de facto bisa menjadi arena untuk dialog di antara semua bangsa dengan landasan sebuah kesepakatan prinsip-prinsip minimal yang disebut dengan Piagam PBB.
Oleh
ULIL ABSHAR ABDALLA
·3 menit baca
Kali ini, saya tidak akan menulis tentang keadaan politik domestik di Indonesia. Saya akan ”break” sebentar untuk melihat sejenak situasi politik global. Perkembangan yang terjadi di Gaza, Palestina, dua bulan terakhir ini sungguh amat memilukan. Serangan Israel atas warga Palestina dengan alasan membalas ”tindakan terorisme” Hamas pada 7 Oktober lalu masih terjadi dan dengan cara yang makin membabi buta.
Serangan Israel ini makin tidak terkendali karena hampir mayoritas pemerintahan di Barat memberikan persetujuan, baik langsung maupun tidak, atas tindakan brutal itu.
Seruan untuk gencatan senjata di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mentah sementah-mentahnya karena diveto oleh Amerika Serikat walau mendapat sokongan mayoritas negara dunia.
Dalam hal Israel, tampaknya memang ada ”konsensus suci” di kalangan semua politisi di negeri-negeri Barat, baik di kiri maupun kanan: Israel has every right to defend itself. Seolah-olah bangsa Palestina tak memiliki hak mempertahankan diri tersebut. Keadaan semacam ini menimbulkan sebuah keadaan di mana ”negara kuat bisa melakukan apa saja tanpa ada risiko dan tanggung jawab moral”.
Menghadapi keadaan ini, lembaga multilateral seperti PBB pun lumpuh total. Suara-suara skeptis terhadap lembaga ini terus menguat karena negara-negara besar seperti ingin bermain dengan aturannya sendiri, menghindari tanggung jawab dan konsekuensi moral dari petualangannya.
Ini tidak saja AS, tetapi juga negara-negara kuat lain di pelbagai kawasan di dunia, termasuk Rusia.
Di tengah skeptisisme yang meluas terhadap PBB, tiba-tiba ada sosok dari dunia ketiga yang ”ujug-ujug” menggaungkan kembali ajakan untuk memulihkan kepercayaan dunia kepada PBB. Sosok itu ialah Yahya Cholil Staquf yang dikenal sebagai Gus Yahya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Sejak November 2022, Gus Yahya menggagas tak kurang dari empat event besar di tingkat internasional dengan tujuan pokok: memulihkan kembali peran PBB dalam menyelesaikan sengketa dan konflik yang kini berkecamuk di pelbagai kawasan dunia. Meski bukan faktor determinan, agama jelas menjadi salah satu pemicu dalam konflik-konflik tersebut.
Langkah terbaru yang digagas oleh Gus Yahya ialah konferensi persiapan menuju Konferensi Asia-Afrika-Amerika Latin (AAA) yang berlangsung di Gedung Merdeka, Bandung, Rabu (20/12/2023).
Konferensi persiapan ini digelar Kementerian Agama RI bekerja sama dengan PBNU dan didukung penuh oleh Kementerian Luar Negeri RI. Konferensi AAA itu akan diadakan tahun depan pada Agustus 2024. Tak pelak lagi, konferensi ini memang diilhami oleh Konferensi Asia-Afrika yang pernah diadakan pada April 1955.
Dalam ceramah pembukaannya di Konferensi Persiapan AAA yang dihadiri tak kurang dari 22 perwakilan sejumlah negara, Gus Yahya kembali mengemukakan gagasan tentang perlunya kembali pada PBB sebagai satu-satunya lembaga multilateral yang ada dan bisa menjadi penengah dalam pelbagai konflik dunia.
”Jika ingin selamat dari kehancuran bersama karena konflik-konflik dunia saat ini, tak ada jalan lain kecuali jalan perdamaian dan dialog melalui PBB,” kata Gus Yahya.
Apakah Gus Yahya naif dalam langkahnya ini? Bukankah PBB selama ini lumpuh dan hanya menjadi arena peragaan kekuasaan serta ”menang-menangan” oleh negara-negara besar dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB?
Saya kira tidak. Saya menyebutnya sebagai ”optimisme yang realistis”. Mengingat, dengan segala kekurangan dan kelemahannya, PBB adalah lembaga multilateral satu-satunya yang secara de facto bisa menjadi arena untuk dialog di antara semua bangsa dengan landasan sebuah kesepakatan prinsip-prinsip minimal yang disebut dengan Piagam PBB.
Dalam artikelnya di koran The Wall Street Journal (8/12), Prof Mary Ann Glendon dari Harvard University menyambut optimisme Gus Yahya itu.
Dalam tulisannya yang berjudul ”There’s Life Yet in the Universal Declaration of Human Rights”, Glendon menegaskan, antara lain, agama punya peran yang penting dalam mencegah konflik-konflik besar di masa depan. Ia menulis, ”It isn’t beyond the power of religious leaders and groups to reject ideologies that manipulate religion for political purposes or use it as a pretext for violence.”
Sebagai ketua dari ormas Islam terbesar di dunia, yaitu Nahdlatul Ulama, suara dan optimisme-realistis dari Gus Yahya ini jelas carries a heavy weight, membawa bobot dan pengaruh besar.