Tantangan demokrasi dalam jangka panjang di negeri ini, menurut saya, tidak saja terletak dalam pengelolaan kesejahteraan sosial.
Oleh
ULIL ABSHAR ABDALLA
·3 menit baca
Dalam demokrasi yang terbuka, ada dilema klasik yang sudah sering dibahas para ahli. Demokrasi menghasilkan apa yang disebut open society, masyarakat terbuka. Di sana semua golongan yang mewakili pandangan dan posisi politik beragam mendapatkan ruang yang terbuka untuk menyatakan dirinya. Dalam ruang semacam ini, kita tak bisa berharap bahwa yang akan mencuat ke permukaan hanya pandangan yang mendukung keterbukaan dan kebebasan. Risiko ruang yang terbuka ialah: kita harus menerima pula pandangan yang anti-kebebasan.
Dilema muncul ketika kita berhadapan dengan fakta ini: pandangan yang anti-kebebasan, yang anti kepada liyan dan perbedaan, yang menekankan eksklusivisme dan intoleran kadang malah mendapatkan pasar yang lebih luas ketimbang pandangan-pandangan yang toleran.
Selama era Presiden Joko Widodo, dilema ini diatasi dengan cara yang mungkin kurang memuaskan kalangan pembela hak asasi manusia, yaitu kebijakan yang state heavy, menekankan otoritas negara untuk membatasi ruang gerak kelompok-kelompok intoleran. Kebijakan ini sukses dilaksanakan pada era Jokowi karena adanya konteks sosial-politik tertentu: bayang-bayang kekerasan atas nama agama yang menggelantung di langit negeri ini dalam dua atau tiga dekade terakhir. Ancaman ini menimbulkan kecemasan pada publik tentang kehidupan kebinekaan di negeri ini. Mereka, karena itu, bisa memahami urgensi kebijakan yang state heavy ini.
Namun, dilema demokrasi ini tetap akan kita hadapi dalam jangka panjang. Kita akan terus berhadapan dengan tantangan yang datang dari golongan-golongan dalam masyarakat yang, karena latar belakang nilai dan kebudayaan yang mereka anut, cenderung eksklusif dan mendukung konservatisme, misalnya.
Salah satu gejala sosial yang menyeruak setelah Indonesia memasuki era demokrasi ialah maraknya konservatisme, baik dalam lapangan keagamaan maupun yang lain. Dalam situasi yang terbuka, kelompok-kelompok intoleran yang mendukung penegakan nilai-nilai sosial-keagamaan dengan jalan paksaan justru merebak. Sementara dalam era rezim otoriter sebelumnya (baca: Orba), kita tidak menjumpai fenomena semacam ini. Kontras semacam ini tampak ironis, tetapi sebagai kenyataan sosial, kita tak bisa menghindarinya.
Di negeri lain, situasi semacam ini menciptakan apa yang disebut dengan culture war atau perang budaya. Istilah ”perang” mungkin terasa terlalu keras bagi sebagian kalangan, tetapi ia mewakili situasi sosial yang nyata di dalam kehidupan sehari-hari. Di Amerika, misalnya, perang budaya terefleksikan dalam pelbagai isu yang membelah masyarakat. Misalnya, kelompok yang pro-aborsi (pro-choice) versus mereka yang anti-aborsi (pro-life), antara kelompok yang mendukung teori evolusi dan kaum kreasionis, serta mereka yang disebut kelompok ”woke” versus para penentangnya.
Polarisasi yang timbul karena perbedaan-perbedaan ini sangatlah serius, mengingat pada akhirnya bermuara pada pilihan politik dalam pemilu. Polarisasi ini juga memiliki pengaruh yang mendalam karena menyangkut pertanyaan eksistensial setiap orang: who are we, siapa sesungguhnya kita ini. Dengan kata lain: menyangkut definisi diri manusia yang paling dalam. Politik tidak semata dipandang sebagai perebutan sumber-sumber daya material sebagaimana dikonseptualisasikan oleh kaum kiri, tetapi menyangkut dimensi nonmaterial, yaitu pertanyaan tentang identitas dan definisi diri serta kelompok.
Tantangan demokrasi dalam jangka panjang di negeri ini, menurut saya, tidak saja terletak dalam pengelolaan kesejahteraan sosial. Saya, terus terang saja, agak skeptis pada mereka yang hanya mengarahkan perhatian pada politik isu kesejahteraan seraya mengabaikan dimensi- dimensi lain. Ada tantangan lain yang tak kalah penting, yaitu mengelola aspirasi-aspirasi nilai dan paham hidup dalam masyarakat yang melandasi apa yang sering disebut sebagai politik identitas. Masalah ini menjadi lebih serius dalam masyarakat yang menempatkan agama dalam posisi yang begitu sentral dalam kehidupan, seperti masyarakat Indonesia.
Dengan kata lain, mengelola politik ”siapa diri kita” (who are we) tidak kalah penting daripada pengelolaan politik kesejahteraan. Karena watak keduanya yang incommensurable (tidak bisa dinilai dengan standar yang sama), dua jenis politik ini tak bisa direduksikan satu terhadap yang lain. Masing-masing memerlukan penanganan yang serius dan hati-hati.