logo Kompas.id
OpiniBijak Memilih
Iklan

Bijak Memilih

Perilaku pemilih berkontribusi sebagai penyebab bertahannya klientelistik ataupun patronase, khususnya politik uang.

Oleh
EDBERT GANI SURYAHUDAYA
· 5 menit baca
Ilustrasi
KOMPAS/HERYUNANTO

Ilustrasi

”Setiap pemilu itu layaknya pesta di mana semua menginginkan hadiah. Gagasan seperti antikorupsi, sayangnya, seperti tidak berarti apa-apa untuk mereka.”

Ungkapan frustrasi ini dilontarkan salah seorang calon anggota legislatif (caleg) yang kalah dalam pemilu meskipun ia menjual narasi antikorupsi saat kampanye.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Saya mengutipnya dari The Candidate’s Dilemma: Anticorruptionism and money politics in Indonesian election campaigns, karya Elisabeth Kramer (2022). Penulisnya menerapkan metode etnografik ke tiga studi kasus berbeda, di mana masing-masing merupakan politisi yang berkompetisi pada pemilu legislatif di Indonesia.

Tiap caleg dihadapkan pada dilema: tetap konsisten pada kampanye ide antikorupsi sebagai politik alternatif atau reseptif terhadap politik uang untuk memastikan kemenangan.

Kontribusi Kramer lewat studi kualitatifnya ialah memperlihatkan bahwa perilaku pemilih sendiri turut berkontribusi sebagai penyebab terus bertahannya perilaku klientelistik ataupun patronase, khususnya politik uang.

Pemilih yang berekspektasi ada imbalan dari dukungan yang mereka berikan, tanpa memedulikan gagasan, tak bisa kita kesampingkan. Namun, apakah benar semua pemilih kita berperilaku demikian? Pertanyaan lainnya, bagaimana pola ini terus terpelihara?

Pemilih yang berekspektasi ada imbalan dari dukungan yang mereka berikan, tanpa memedulikan gagasan, tak bisa kita kesampingkan.

Peran broker

Satu argumen dalam ilmu politik memperlihatkan korelasi kuat antara patronase dan tingkat kemiskinan suatu negara (Stokes et al, 2013). Dengan menurunnya angka kemiskinan, negara akan bertransisi menuju politik yang bergantung pada alokasi sumber daya yang berdasarkan pada kebijakan, bukan relasi transaksional individu.

Alasannya, pemilih yang sudah keluar dari kemiskinan tak akan lagi memandang uang yang didapat dari transaksi itu signifikan bagi hidup mereka sehingga punya keleluasaan lebih untuk mendorong politik berbasis gagasan.

Pandangan di atas bukan tanpa kritik. Ahli politik Asia Tenggara meyakini peningkatan kesejahteraan tidak serta-merta menghilangkan praktik patronase, seperti jual beli suara (Aspinall et al, 2022). Fokus perlu juga mempertimbangkan variasi sistem politik, karakter kepemimpinan, dan relasinya dengan kapasitas negara.

Terkait dengan hal-hal tersebut, sistem negara memberikan ruang para petahana untuk secara leluasa memanfaatkan akses sumber daya negara dalam menjaga basis dukungan dengan mengunci relasi patronase dengan kelompok konstituen secara transaksional. Sementara penantang baru seakan tidak punya pilihan, selain beradu uang yang diperoleh dari sumber privat.

Meski demikian, kedua kelompok bersepakat pada satu hal, yakni peran kuat dari mesin politik ataupun broker yang memiliki insentif kuat menjaga transaksi jual beli suara tetap langgeng.

Dalam setiap kampanye, setiap calon maupun partai politik menghadapi persoalan adanya informasi yang tidak sempurna terhadap konstituen mereka.

https://cdn-assetd.kompas.id/NK77pv16hJ7S4wtW0jQHBtfzbXA=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F22%2Ff966a342-bf65-4c35-b384-26fc8fd5917e_jpg.jpg

Ilustrasi

Begitu juga pemilih tidak mengetahui calon yang akan dipilih. Untuk itu, biasanya kandidat bergantung pada broker, termasuk tim kampanye ataupun pemimpin kelompok masyarakat, untuk menyentuh para pemilih sebagai mesin politik. Politisi sendiri bisa berperan sebagai broker bagi politisi lainnya.

Salah seorang pimpinan partai lama, mantan menteri, bahkan dengan vulgar berbicara di forum publik mengajari rumus bagi-bagi uang berdasarkan pengalamannya untuk memenangi suara!

Para broker ini mengambil peran sebagai penyambung antara calon dan pemilih sekaligus mendistribusikan sumber daya menggunakan jejaring mereka. Di sinilah letak persoalannya. Informasi asimetris tidak hanya terjadi antara kandidat dan calon pemilih, tetapi juga antara kandidat dan broker. Apa artinya? Inefisiensi menjadi lazim terjadi sehingga turut serta menghasilkan biaya mahal. Padahal, efektivitas politik uang maupun hubungan kausalitas pada kemenangan jauh dari kata konklusif secara empiris.

Faktanya, banyak calon yang menghamburkan uang, tetapi juga gagal terpilih. Pertanyaannya, kenapa taktik ini terus dilakukan? Ini sedikit banyak disebabkan kendali strategi yang terorkestrasi dan hanya bergantung pada politik uang, sekaligus ekspektasi lawan yang dirasa akan menggunakan cara yang sama. Antarkandidat terjebak dalam situasi prisoners dilemma.

Iklan

Lalu para broker yang diuntungkan dengan politik uang akan memiliki insentif dalam setiap masa kampanye pemilu untuk memastikan terus berlangsungnya praktik tersebut.

Penulis masih ingat sebuah diskusi dengan mantan jurnalis sekaligus politisi, almarhum Ichsan Loulembah. Ia berkelakar bahwa politik kita kualitasnya bisa naik kalau para pembisik ataupun tim yang ada di belakang para politisi juga berkualitas. Saya rasa perkataan tersebut ada benarnya.

Informasi asimetris tidak hanya terjadi antara kandidat dan calon pemilih, tetapi juga antara kandidat dan broker.

Memilih secara bijak

Pertanyaan pentingnya, bagaimana caranya kita berubah? Sayangnya, tidak banyak solusi yang ditawarkan dalam literatur. Mungkin salah satunya jelas, keberanian politisi untuk memotong kultur tersebut, termasuk ketergantungan pada para broker.

Kramer dalam bukunya, misalnya, menyinggung bahwa inisiatif dari politisi sangat bergantung pada kekuatannya di akar rumput dan akses langsung pada para pemilih. Akses informasi dan kredibilitas tampaknya jadi kunci.

Sayangnya, kita tidak bisa bergantung hanya pada institusi penyelenggara pemilu untuk memfasilitasi informasi yang berkualitas bagi pemilih. Kapasitas dan keleluasaan mereka sangat terbatas.

Daftar calon tetap (DCT) DPR RI yang telah dibuka oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), misalnya, sedikit sekali menampilkan profil kandidat secara utuh sehingga menyulitkan publik untuk benar-benar mengenal kandidat mereka. Kandidat dan partai tentu juga masih terjebak dengan pola yang sama.

Mau tidak mau, masyarakat sipil yang berada di ”tengah” punya peran besar mengisi kekosongan. Satu contoh inisiatif ialah gerakan nirpartisan Bijak Memilih (BM) yang dikelola oleh banyak pemilih pemula. Apa yang dilakukan oleh gerakan ini sangat sederhana: menyediakan website berisi kurasi informasi tentang profil dan rekam jejak partai politik dan capres, termasuk kontroversi dan posisi pada kebijakan tertentu.

https://cdn-assetd.kompas.id/Hnq8vVlR1NMm6QHXGTb32J-SPFo=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F24%2F5498d805-e302-47f3-aff8-89df4fe74776_jpg.jpg

Ilustrasi

Menariknya, dengan kolaborasi bersama Indonesia Corruption Watch (ICW), laman ini berani menampilkan daftar kasus korupsi yang melibatkan setiap anggota ataupun mantan anggota partai beserta besaran kerugian negara. Informasi yang mungkin kita rasa merupakan hal umum bisa jadi tak pernah tersosialisasikan dengan baik kepada para pemilih pemula yang memegang kunci kemenangan Pemilu 2024.

Modalitas BM ada pada tokoh penggerak yang memang sudah memiliki legitimasi di kalangan anak muda sehingga penerimaannya efektif, khususnya, di kalangan kelas menengah perkotaan.

Membalikkan pola pikir

Vedi Hadiz dalam sebuah wawancara di Kompas TV mengutarakan kritik terhadap kelompok prodemokrasi dari generasi tua yang memiliki kecenderungan eksklusif dan tak mengakar di akar rumput. Tampaknya BM dan generasinya bisa lebih mampu keluar dari jebakan itu. Gerakan BM menanggalkan eksklusivitas dengan berkolaborasi bersama banyak sekali NGO dan penggerak lokal.

Berdasarkan penuturan tim, hanya dari Agustus 2023 hingga tulisan ini dibuat, telah tercatat 86 komunitas terlibat menyelenggarakan diskusi pendidikan politik bersama BM, yang terselenggara di 38 kota berbeda di Indonesia serta enam kota di luar negeri. Harapannya, masing-masing dari mereka menjadi garam di komunitas masyarakat masing-masing.

Gerakan BM menanggalkan eksklusivitas dengan berkolaborasi bersama banyak sekali NGO dan penggerak lokal.

Pada titik ini, mungkin kita perlu membalikkan pola pikir. Politik gagasan bukan merupakan tujuan, melainkan faktor yang mendorong perubahan itu sendiri. Generasi yang lebih terdidik seharusnya menjadi modal demokrasi.

Sebagai perbandingan, proporsi generasi baby boomers dan pre-boomer yang hanya lulusan SD dan tidak pernah bersekolah ada di kisaran 55 persen, sedangkan milenial dan gen Z di kisaran 20 persen. Momentum struktural dan inisiatif para aktor untuk melakukan perubahan bisa berjalan beriringan. Investasi pada perubahan pola pikir bukanlah hal yang sia-sia.

Afutami, salah satu inisiator BM, mengatakan bahwa inspirasi penamaannya berasal dari kata bijak dalam kebijakan publik. Tentunya sebuah tugas berat bagi anak muda untuk diminta bijaksana. Pasalnya, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menyadari ketidaktahuan kita.

Pada akhirnya, politik gagasan adalah kerja dua arah: politisi bijak yang memilih menjual ide dan pemilih bijak yang mau mengonsumsinya.

Baca Juga: Rekam Jejak, Faktor Penting Kaum Muda dalam Memilih Presiden

Edbert Gani Suryahudaya Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik, University of Toronto, Kanada

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000