logo Kompas.id
OpiniPemilu, Masyarakat Adat, dan...
Iklan

Pemilu, Masyarakat Adat, dan Politik Kewargaan

Dalam konteks politik kewargaan, negara wajib mengakomodasi masyarakat adat tanpa menghilangkan hak-hak mereka.

Oleh
ERNEST L TEREDI
· 4 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/_zzizQcDGKjdnA8Ql56oRaUmYUc=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F14%2F305ac45e-8bf3-4cab-8275-e7c630d13cbd_jpg.jpg

Pemilu merupakan ajang perwujudan ”kedaulatan rakyat” untuk menghadirkan perwakilan dan pemimpin yang berkualitas. Untuk itu, dalam pemilu tentu memerlukan perlengkapan nomenklatur agar bisa berjalan dengan baik. Itu tertuang di Undang-Undang Pemilu, dengan adanya penyelenggara pemilu sebagai pawang pesta demokrasi.

Tesis kunci pemilu terkristal dalam konsep ”kedaulatan rakyat” dengan adanya partisipasi masyarakat yang memenuhi syarat untuk memilih. Hal ini termaktub dalam Pasal 202 Ayat (2) dan Pasal 210 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) yang menyebutkan bahwa pemilih yang terdaftar dan berhak menyalurkan hak suara di tempat pemungutan suara (TPS) hanya pemilih yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) elektronik. Begitu juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XVII/2019 yang menyebutkan bahwa warga yang tidak memiliki KTP elektronik bisa menggunakan surat keterangan yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan pencatatan sipil.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Namun, jika kita melongok sedikit, ternyata masih ada masyarakat adat di pedalaman Indonesia yang tidak memiliki KTP elektronik dan surat keterangan dari disdukcapil. Persoalan ini sering kali dipandang secara enigmatik, yakni hanya persoalan teknis. Padahal, sebenarnya ini merupakan persoalan serius dalam pemilu, yaitu tidak terakomodasinya masyarakat adat secara holistik di penjuru Indonesia.

Baca juga: Tak Ada KTP Elektronik, Hak Politik Masyarakat Adat Bisa Terenggut

Melepas hak untuk mendapat hak

Faktanya, terdapat sekitar 1 juta masyarakat adat dalam kawasan hutan tak dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019 karena tidak memiliki KTP elektronik. Belum lagi, untuk mendapatkan KTP elektronik dan terdaftar sebagai pemilih, Kementerian Dalam Negeri mengharuskan masyarakat dalam kawasan hutan untuk menunggu izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau harus terlebih dahulu pindah ke desa sekitar kawasan hutan yang memiliki legalitas domisili (Hidayat & Akbar, 2019).

Padahal, dalam diskursus hak asasi manusia, masyarakat adat umumnya memiliki hak bawaan, hak yang tidak diberikan oleh siapa pun. Sementara hak mereka sebagai warga melalui KTP merupakan hak yang diberikan oleh negara.

Artinya, masyarakat adat yang tinggal di wilayah hutan memiliki hak bawaan, baik mengenai penguasaan wilayah, ritual, pengetahuan, dan semacamnya. Namun, untuk mendapatkan hak sebagai peserta pemilih di pemilu, mereka diajak untuk melepaskan hak bawaannya dengan berpindah ke desa sekitar kawasan hutan. Ini sebuah paradoks, ”melepaskan hak bawaan, untuk mendapatkan hak yang diberikan oleh negara”.

Sejumlah warga masyarakat adat Baduy melakukan pendaftaran layanan kependudukan dan pencatatan sipil untuk membuat kartu tanda penduduk di Desa Binong, Lebak, Banteng, Selasa (26/9/2023).
DEONISIA ARLINTA

Sejumlah warga masyarakat adat Baduy melakukan pendaftaran layanan kependudukan dan pencatatan sipil untuk membuat kartu tanda penduduk di Desa Binong, Lebak, Banteng, Selasa (26/9/2023).

Paradoks tersebut sudah menjadi persoalan global, di mana masalah yang dihadapi masyarakat adat itu berkaitan dengan tanah, wilayah, dan sumber daya alam di mana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupannya (Riyadi, 2002). Tentu persoalan ini karena dominasi negara (bahkan dalam taraf tertentu menjadi hegemoni) terhadap masyarakat adat. Hal ini berefek pada munculnya kepentingan ekonomi, hambatnya pengakuan, diperlemahkan kedaulatan adat melalui pembangunan dan semacamnya (Bdk Riyadi, 2002).

Bukti nyatanya saat ini mengenai logika pemilu sebagai ajang ”kedaulatan rakyat” dalam arti masyarakat adat bisa melibatkan diri, tetapi itu dibabat dengan ragam UU sektoral lainnya yang membatalkan partisipasi masyarakat adat sebagai pemilih secara khusus di kawasan hutan.

Iklan

Faktanya, terdapat sekitar 1 juta masyarakat adat dalam kawasan hutan tak dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019 karena tidak memiliki KTP elektronik.

Seandainya sedikit arif dan adil, negara seharusnya melihat masyarakat adat memiliki karakteristik yang unik mengenai hubungannya dengan tanah dan tempat di mana mereka tinggal. Hal ini setidaknya termaktub dalam draf Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak-hak masyarakat adat (United Nations Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples).

Secara khusus, hal tersebut termaktub dalam Pasal 25: ”Masyarakat adat memiliki hak untuk mempertahankan dan mengembangkan hubungan khas mereka baik secara spiritual maupun material dengan tanah, teritorial, air dan wilayah-wilayah lepas pantai, dan sumber-sumber lainnya yang secara tradisional atau turun-temurun telah mereka miliki, atau bisa juga yang telah mereka duduki atau gunakan selama jangka waktu yang sudah lama sekali, dan meningkatkan tanggung jawab mereka akan nasib generasi masa depan”.

https://cdn-assetd.kompas.id/3_phRyNkfdv4BJsbx5Jx3RQthak=/1024x1043/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F07%2F26%2F88be0da4-f02d-4bb0-b72c-fbcf04cfff88_jpg.jpg

Politik kewargaan

Situasi yang dihadapi oleh masyarakat adat setidaknya bisa diluruskan melalui lensa politik kewargaan, sekalipun ketika membahas politik kewargaan, selalu dihadirkan dengan ragam perdebatan. Sebab, dalam matriks akademik banyak sekali perspektif mengenai politik kewargaan, termasuk mengategorisasikan masyarakat adat dalam politik kewargaan komunitarian yang telah melahirkan perdebatan tersendiri.

Namun, mengatasi ragam perspektif tersebut, Kristian Stokke dalam Politik Kewargaan di Indonesia (2014) menjelaskan bahwa terdapat empat dimensi dalam politik kewargaan, yaitu keanggotaan (membership), status legal, hak-hak, dan partisipasi. Aspek keanggotaan dan status legal sangat berkaitan inklusi secara kultural ke dalam komunitas warga negara. Sementara dimensi hak-hak dan partisipasi merupakan bentuk entitlements (hak) dan responsibilities (tanggung jawab) yang melekat pada kewargaan.

Dalam konteks pertama, keanggotaan, maka keberadaan masyarakat adat ketika menjadi warga Indonesia secara kultural terinklusi untuk mendapatkan keanggotaan dan status legalnya. Konsep terinklusi secara kultural ini berarti mengandaikan masyarakat adat secara kultural tidak akan hilang hak bawaannya untuk mendapatkan keanggotaan dan status legal dari negara. Hal ini setidaknya dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18b Ayat (2) yang menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya, yang akan diatur dalam undang-undang.

Baca juga: Ikhtiar Politik Masyarakat Adat di Panggung Elektoral 2024

Sementara dalam dimensi hak-hak dan partisipasi, maka itu melekat pada hak-hak dasar pada keanggotaan atau hak-hak sipil, politik, dan hak sosial-ekonomi. Dalam arti ketika masyarakat adat terinklusi secara kultural dalam negara Indonesia, maka hak-haknya secara kultural juga akan diakui.

Persoalan yang dihadapi masyarakat adat, sulitnya menjadi peserta pemilih dalam pemilu, maka dalam konteks politik kewargaan, negara berkewajiban untuk mengakomodasinya secara menyeluruh tanpa harus menghilangkan hak masyarakat adat atas wilayah adat dan semua hak lainnya. Di sisi lain juga gerakan masyarakat adat di wilayah hutan tetap memperjuangkan untuk memperoleh keanggotaan, status legal, dan hak-hak untuk berpartisipasi secara aktif dalam setiap pengambilan kebijakan pada masyarakat adat.

Ernest L Teredi, Biro Politik AMAN Nusa Bunga; Fellow Researcher at the Change O Institute

Ernest L Teredi
DOK. PRIBADI

Ernest L Teredi

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000