Tak Ada KTP Elektronik, Hak Politik Masyarakat Adat Bisa Terenggut
Hak politik masyarakat adat dalam Pemilu 2024 bisa terenggut karena sampai sekarang banyak dari mereka yang belum memiliki data kependudukan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampai sekarang masyarakat adat di berbagai wilayah di Indonesia masih banyak yang belum memiliki kartu tanda penduduk atau KTP elektronik. Hal ini dapat merenggut hak politik masyarakat adat karena mereka tidak bisa berpartisipasi dalam memberikan suara saat Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.
Peneliti Hukum The Indonesia Institute Christina Clarissa Intania mengemukakan, pengumpulan data masyarakat adat melalui sistem KTP elektronik masih menjadi kendala bagi mereka dalam pemilu. Padahal, kepemilikan KTP-el sangat vital karena menjadi salah satu syarat untuk terdaftar menjadi pemilih dalam sistem Pemilu di Indonesia.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Menurut Christina, kendalanya pada ketidakpastian domisili masyarakat adat serta akses untuk menjangkau mereka. Bahkan, ada diskriminasi saat masyarakat adat akan membuat KTP-el.
Masyarakat adat juga bagian dari rakyat Indonesia yang punya HAM dan hak konstitusional.
”Dari ketidakpastian domisili ini, salah satu penyebab terbesarnya, yaitu adanya konflik agraria. Masyarakat adat kerap disingkirkan dari rumahnya sehingga tidak jelas domisili mereka,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Mendengarkan Suara Masyarakat Adat di Pemilu 2024”, Rabu (1/11/2023).
Christina menekankan bahwa melibatkan peran masyarakat adat sangat penting dalam konteks Pemilu 2024. Sebab, Indonesia terdiri dari berbagai macam lapisan masyarakat dan semua kelompok tersebut dilindungi oleh Undang-Undang Dasar atau konstitusi. Ini juga termasuk melibatkan mereka dalam kegiatan pesta demokrasi.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan, hak warga negara untuk memilih dalam pemilu merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia (HAM). Oleh karena itu, hak ini tidak boleh dihilangkan oleh negara karena telah dilindungi oleh hukum internasional maupun undang-undang.
”Ada banyak situasi di mana masyarakat adat tidak bisa menikmati hak politik sebagai hak asasinya tersebut. Masyarakat adat tidak bisa mendapat identitas karena mereka masih berada di hutan atau masih menganut agama leluhur,” katanya.
Menurut Rukka, selama ini banyak masyarakat adat yang tidak merasakan kehadiran negara dalam bentuk pelayanan publik. Bahkan, beberapa daerah di sekitar tempat tinggal masyarakat adat banyak yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan seperti puskemas.
Mendata masyarakat adat
Rukka menegaskan, sejak 2007 AMAN memutuskan untuk berperan aktif dalam menentukan pemimpin yang akan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat sebagai warga negara. Oleh karena itu, AMAN banyak mendata masyarakat adat yang tidak terjangkau.
Meski demikian, ia mengakui bahwa upaya mendata masyarakat adat yang tidak terjangkau ini juga masih memiliki kendala khususnya pada aspek administrasi. Kendala ini membuat AMAN tidak bisa mendata secara maksimal masyarakat adat yang akan berpartisipasi memberikan hak suaranya pada Pemilu 2019.
AMAN memperkirakan sampai saat ini jumlah masyarakat adat yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia mencapai 50-70 juta orang. Sementara masyarakat adat yang secara administrasi sudah sah menjadi anggota AMAN sebanyak 20 juta orang.
”Penting sekali melibatkan masyarakat adat di dalam pemilu karena akan menentukan pemimpin dan pengambil keputusan bagi negara ini selama lima tahun ke depan. Masyarakat adat juga bagian dari rakyat Indonesia yang punya HAM dan hak konstitusional yang diakui undang-udang termasuk berpartisipasi menentukan nasib bangsa,” tuturnya.
Sebagai upaya mengarusutamakan masyarakat adat, saat ini terdapat sekitar 35 utusan politik dari AMAN yang tersebar di seluruh Indonesia. Rukka menyebut angka ini memang sangat kecil. Akan tetapi, mereka tetap menjadi salah satu garda terdepan ketika menemui kepala daerah ataupun anggota legislatif untuk menyampaikan aspirasi secara langsung.