Mewujudkan Pemenuhan Hak Masyarakat Adat
Wilayah adat yang merupakan ruang hidup masyarakat adat, justru diobral untuk dijadikan izin konsesi industri ekstraktif dan proyek pembangunan lain tanpa persetujuan masyarakat adat. Apa sebab yang melatar belakanginya?

ilustrasi
Membicarakan masyarakat adat tidak hanya sekadar bicara tentang keberagaman suku, seni, tari dan budayanya saja. Bukan pula sekadar dimaknai melalui penggunaan baju adat di dalam acara-acara resmi kenegaraan. Namun melampaui dari itu.
Keberadaan masyarakat adat memiliki peran penting dalam pembentukan Indonesia, sebagai fondasi kebinekaan, sekaligus sebagai perwujudan Indonesia sebagai negara agraris.
Para Pendiri Bangsa bahkan menjadikan keberadaan masyarakat adat tersebut sebagai tema sentral dan pilar demokrasi dalam perumusan konstitusi awal Indonesia.
Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) mencontohkan Desa, Nagari, dan berbagai unit sosial Masyarakat Adat lainnya di Nusantara sebagai satu entitas yang memiliki kecakapan dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah, yang telah ada ratusan tahun sebelum terbentuknya Indonesia. Susunan itu begitu kuat sehingga tidak bisa diruntuhkan oleh pengaruh Hindu, pengaruh feodalisme dan pengaruh Eropa.
Moh Hatta menyatakan ada tiga sendi utama untuk mewujudkan cita-cita pembentukan Indonesia sebagai negara yang demokratis.
Moh Hatta menyatakan ada tiga sendi utama untuk mewujudkan cita-cita pembentukan Indonesia sebagai negara yang demokratis. Yakni, pertama, "cita-cita" rapat, yaitu tempat-tempat rakyat, atau utusan rakyat untuk bermusyawarah dan mufakat tentang segala hal yang bersangkutan dengan persekutuan hidup dan keperluan bersama. Kedua, "cita-cita massa-protes", yaitu hak rakyat untuk membantah seca- ra umum segala peraturan yang dipandang tidak adil. Ketiga, "cita-cita tolong-menolong", yaitu kolektivisme.
Sendi pertama dan kedua merupakan dasar demokrasi politik, sedangkan sendi ketiga dasar demokrasi ekonomi. Moh Hatta, secara tegas mencontohkan hak ulayat dengan sifat kolektivisme sebagai dasar demokrasi ekonomi Indonesia.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memperkuat hak-hak masyarakat adat dan lokal atas tanah dan sumber daya alam (SDA). Faktanya wilayah adat yang merupakan ruang hidup masyarakat adat, justru diobral untuk dijadikan izin konsesi industri ekstraktif dan proyek pembangunan lainnya tanpa persetujuan masyarakat adat. Apa sebab yang melatar belakanginya?

Sesat pikir HMN
Di samping hak ulayat yang diatur secara implisit, Hak Menguasai dari Negara (HMN) atas SDA juga dicantumkan di dalam Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945. Kontestasi dua kategori hak inilah yang sering kali menjadi akar konflik untuk menyangkal hak masyarakat adat atas wilayah adat dan sumber-sumber agrarianya.
Penyangkalan tersebut berdampak pada masifnya konflik yang mempertemukan komunitas masyarakat adat dengan negara dan sering kali dengan korporasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Negara masih saja menerjemahkan HMN secara eksesif.
Padahal, berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjelaskan makna HMN terbatas hanya pada kewenangan negara untuk mengadakan kebijakan (beleid), melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), membuat kebijakan (regelendaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad) dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad).
Baca juga : Ikhtiar Politik Masyarakat Adat di Panggung Elektoral 2024
Secara khusus, Putusan MK No 35/2012 menyatakan bahwa wewenang HMN dibatasi sejauh isi dan wewenang hak ulayat masyarakat adat. Selain itu, MK juga telah memberikan tolak ukur makna “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” di dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
Yaitu: kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, dan penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Meski putusan MK telah memberikan penegasan makna HMN, hingga saat ini situasi masyarakat adat tidak kunjung membaik. AMAN (2022) mencatat dalam lima tahun terakhir, sedikitnya telah terjadi konflik masyarakat adat sebanyak 301 kasus yang mengakibatkan 672 warga masyarakat adat dikriminalisasi dan perampasan wilayah adat seluas 8,5 juta hektar. Konflik ini terjadi di berbagai sektor, mulai dari sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, serta pembangunan proyek infrastruktur.

Sementara pemulihan hak masyarakat adat atas hutan adat sebagaimana mandat Putusan MK No 35/2012 hingga saat ini baru mencapai 75.783 hektar (KLHK; 2022), sedangkan penetapan tanah ulayat oleh Kementerian ATR/BPN dalam 77 tahun kemerdekaan Indonesia hanya sebanyak 20.000 hektar (Catahu AMAN; 2021). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah masih setengah hati dalam menjalankan mandat konstitusi untuk menghormati, melindungi dan memenuhi masyarakat adat dan serangkaian hak bawaannya, khususnya hak atas wilayah adat sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 18B Ayat (2) dan 28I Ayat (3) UUD 1945.
Pemenuhan hak masyarakat adat
Berdasarkan situasi tersebut di atas, dalam 20 tahun terakhir AMAN bersama Koalisi Masyarakat Sipil terus menyuarakan pentingnya UU Masyarakat Adat untuk mengoperasionalisasikan mandat konstitusi melalui upaya-upaya pengadministrasian keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Kekhawatiran pemerintah selama ini bahwa kehadiran UU Masyarakat Adat akan mengganggu kepentingan investasi, sesungguhnya adalah ketakutan yang berlebihan.
Sebab kesimpulan hasil studi valuasi ekonomi masyarakat adat (AMAN;2018) menunjukkan bahwa lahirnya UU Masyarakat Adat justru akan memberikan dampak yang positif terhadap jaminan kepastian hukum terhadap investasi yang bersih dan berkeadilan.
Dengan demikian, pembangunan ekonomi bangsa yang berkeadilan sesungguhnya dapat diwujudkan selaras dengan jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
Kekhawatiran pemerintah selama ini bahwa kehadiran UU Masyarakat Adat akan mengganggu kepentingan investasi, sesungguhnya adalah ketakutan yang berlebihan.
Selain itu, untuk membantu pemerintah mewujudkan hak- hak konstitusional masyarakat adat AMAN, BRWA dan Koalisi Masyarakat Sipil telah melakukan pemetaan wilayah adat yang merupakan ruang hidup masyarakat adat seluas 20,7 juta hektar (BRWA; Agustus 2022).
Sebanyak 18.704.041 hektar wilayah adat itu telah diakui melalui peraturan daerah yang seharusnya dapat segera ditindaklanjuti untuk diadministrasikan oleh pemerintah ke dalam satu sistem pengadministrasian khusus wilayah-wilayah adat. Sayangnya kebijakan pengadmistrasian khusus wilayah adat yang terintegrasi hingga saat ini belum terwujud.
Institusi-institusi pemerintahan yang terkait masyarakat adat hingga saat ini masih terperangkap sektoralisme dan ego sektoral institusi masing-masing. Sudah saatnya pemerintah dan DPR RI bekerja dengan sungguh-sungguh mewujudkan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Indonesia dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang pembahasannya sudah mangkrak selama 15 tahun di DPR.

ilustrasi
Pemenuhan hak masyarakat adat sesungguhnya pencerminan dari keberagaman Indonesia di dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Komitmen politik yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat dinantikan oleh seluruh masyarakat adat Nusantara, bukan sekadar janji nyanyian surga atau sekadar simbolisasi pemakaian baju adat di Istana. Selamat melaksanakan Kongres Masyarakat Nusantara keenam (KMAN VI) bagi seluruh Masyarakat Nusantara pada 24-30 Oktober 2022 di Wilayah Adat Tabi, Papua.
(Muhammad Arman Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN))

Muhammad Arman