Tata Kelola AI Global: Wacana dan Tantangan bagi Indonesia
Indonesia harus proaktif dalam diskusi tata kelola AI global. agar menjadi pemain penting mewujudkan arah masa depan AI.
Beberapa waktu lalu, anak teman di kantor yang masih di bangku sekolah mendemonstrasikan hanya dengan memasukkan perintah sederhana ke aplikasi Chat-GPT, ia dapat mengerjakan pekerjaan rumah membuat rangkuman buku dalam hitungan menit. Kejadian ini membuat saya terpikir, betapa kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari menulis e-mail, mencari informasi, bahkan sampai membuat konten media sosial.
Chat-GPT dan Dall-E, yang belakangan ini menjadi bahan pembicaraan, adalah contoh AI generasi terkini (frontier AI). Mereka tidak hanya mampu melakukan tugas-tugas kompleks, tetapi juga menciptakan (generate) konten secara mandiri.
Fenomena menarik AI lainnya adalah penggunaan deepfake untuk mengubah wajah seseorang dalam suatu video/gambar dengan wajah orang lain. Tentu kita belum lupa dengan viralnya video deepfake Presiden Joko Widodo yang seolah berpidato lancar dalam bahasa Mandarin pada Juni lalu.
Baca juga: Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Kemanusiaan
Awalnya, AI disusun sebagai kajian akademik pada 1956 di Dartmouth, Amerika Serikat, di mana para ilmuwan berkumpul untuk mempelajari bagaimana mesin bisa belajar dan menyelesaikan masalah secara otomatis. Sejak itu, AI mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan, ada ramalan bahwa di masa depan AI akan semakin mengatur kehidupan kita, di mana manusia semakin bergerak dalam dimensi dunia maya yang tanpa batas.
Namun, di balik potensi AI dalam mendukung kemajuan peradaban, perlu sejalan dengan kesadaran bahwa arus penggunaan AI seiring dengan potensi yang merugikan apabila kita abai. Misalnya di Konferensi Tingkat Tinggi Keamanan AI yang diadakan Pemerintah Inggris baru-baru ini yang bahas sejumlah risiko negatif dari frontier AI yang perlu diwaspadai. Kompleksnya pengawasan pengembangan teknologi AI pihak swasta, ancaman keamanan siber dan akses ilegal data pribadi, dan kemungkinan sistem AI bertindak di luar kontrol manusia merupakan sejumlah isu yang mendapat perhatian utama.
Dalam konteks sosial ekonomi, adanya AI akan mempermudah kinerja manusia. Namun, sejumlah pihak juga mengkhawatirkan bahwa AI justru akan menggantikan tenaga kerja manusia yang akan berdampak pada peningkatan angka pengangguran. Kita sudah melihat bahwa akhir-akhir ini semakin banyak penggunaan AI untuk melakukan pekerjaan yang sifatnya terbatas dan administratif, seperti entry data, resepsionis, agen perjalanan, dan operator call center.
Dalam konteks global, pendekatan terhadap kebijakan AI bervariasi. Di Amerika Serikat, fokusnya adalah pada keamanan dan pendekatan sektoral. Sementara di Uni Eropa lebih kepada kebijakan yang komprehensif.
Selain itu, organisasi internasional seperti PBB, International Telecommunication Union (ITU), G20, dan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) juga mulai berupaya untuk berkontribusi terhadap upaya bersama dalam penggunaan AI yang bertanggung jawab dan sejalan dengan prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Strategis Nasional Kecerdasan Artifisial ini telah mengatur bidang prioritas pemanfaatan AI, tetapi harus diikuti dengan penguatan aspek hukum sebagai turunan UU No 27/2022.
Berbicara mengenai tanggung jawab, UNESCO telah mencontohkan dengan terbitnya rekomendasi etika AI pada 2021. G20 juga telah terbitkan panduan penggunaan AI. ITU telah menyelenggarakan AI for Good Global Summit sejak 2017 untuk mewadahi pandangan dan kepentingan berbagai pihak untuk menggunakan AI dalam SDGs.
Proses ini terus berkembang dan mencari bentuknya, antara lain Sekjen PBB baru saja membentuk High-Level Advisory Body on AI yang beranggotakan panel ahli untuk berikan rekomendasi kebijakan terkait AI. Sebelumnya, PBB juga menyetujui Resolusi 72/242 dan 73/17 terkait pengakuan perkembangan teknologi yang sangat cepat oleh AI dan perlunya kerja sama internasional untuk pemanfaatan AI.
Sementara di Indonesia, pembahasan kebijakan AI telah mulai dilakukan. Indonesia telah memiliki Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial tahun 2020-2045 (Stranas KA) dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Hal ini menjadi langkah awal yang menjanjikan. Catatan pentingya adalah, Stranas KA ini telah mengatur bidang prioritas pemanfaatan AI, tetapi harus diikuti dengan penguatan aspek hukum sebagai turunan UU No 27/2022 serta implementasinya dalam bentuk tata kelola teknis pelaksanaannya.
Langkah Indonesia ke depan
Isu AI juga turut meramaikan Pilpres 2024, di mana teknologi AI digunakan sebagai materi kampanye. Salah satu kandidat mulai menggunakan AI untuk menciptakan ilustrasi animasi anak-anak dan karakter kartun untuk menarik perhatian generasi muda. Disebutkan pula penggunaan big data sebagai bagian kebijakan kampanye. Namun, sejauh ini, kebijakan tata kelola AI belum disebutkan sebagai salah satu prioritas kampanye capres dan cawapres.
Dalam menghadapi tantangan tata kelola AI ini, Indonesia harus siap menghadapi berbagai tantangan, mulai dari perbedaan standar dan regulasi antarnegara, masalah kedaulatan dan manajemen data, cepatnya laju perkembangan teknologi AI, dampak sosial ekonomi, banyaknya pihak terlibat, hingga kesenjangan teknologi antara negara berkembang dan negara maju.
Memperhatikan hal-hal itu, terdapat beberapa catatan untuk langkah Indonesia ke depan.
Pertama, Indonesia harus proaktif dalam diskusi global. Indonesia perlu proaktif mengusulkan kerangka tata kelola yang fleksibel dan efektif, sesuai kebutuhan dan konteks nasional dan kepentingan negara berkembang, sehingga kepentingan nasional terakomodasi dalam norma tata kelola AI global.
Beberapa negara maju menerapkan kebijakan yang cenderung longgar demi mendorong inovasi AI oleh pihak swasta. Akibatnya, pengawasan terhadap pengembangan AI dapat merugikan negara berkembang, khususnya dalam hal eksploitasi data publik negara berkembang. Ke depan, hal ini juga berpotensi meningkatkan kesenjangan digital.
Baca juga: Uni Eropa Buat Pengaturan Komprehensif AI
Kedua, inklusivitas. Indonesia perlu memanfaatkan era AI ini untuk mendorong penyusunan regulasi domestik yang efektif dan inklusif, serta mendorong inovasi yang bertanggung jawab. Penyusunan kebijakan regulasi AI perlu melibatkan tidak hanya pemerintah dan juga pelaku industri teknologi, tetapi juga lembaga masyarakat madani untuk memastikan keluaran kebijakan AI yang etis, nondiskriminatif, dan melindungi data pribadi masyarakat. Keterlibatan berbagai pihak dalam negeri sangat penting dalam proses ini.
Terakhir, kemitraan. Indonesia juga harus mendorong peningkatan kemitraan internasional untuk mengatasi kesenjangan teknologi dan kapasitas, untuk memperkuat kapasitas nasional dalam AI. Meskipun belum ada kerangka organisasi internasional yang menangani tata kelola AI secara khusus, Indonesia dapat memanfaatkan wadah yang ada, seperti PBB, ITU, UNESCO, dan juga G20, bahkan pada tingkat kawasan untuk mendorong tata kelola AI yang bertanggung jawab.
Langkah proaktif ini akan menempatkan Indonesia sebagai pemain penting dalam mewujudkan masa depan AI yang aman dan inklusif. Ini bukan hanya soal mengikuti arus, melainkan juga tentang memastikan bahwa Indonesia memiliki peran aktif dalam menentukan arah masa depan AI yang kita hadapi serta perlindungan kepentingan nasional secara lebih terarah dan terukur.
Febrian A Ruddyard, Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh/Wakil Tetap Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Perdagangan Dunia, dan organisasi internasional lainnya di Geneva
Instagram: febrian.ruddyard; Twitter: F_Ruddyard