logo Kompas.id
OpiniMakin Main-main dengan...
Iklan

Makin Main-main dengan Definisi Pemimpin

Saya tidak buta bahwa dalam masa kampanye capres memilih cawapresnya bukan soal kapasitas melulu, melainkan juga demi suara demografi tertentu.

Oleh
LYNDA IBRAHIM
· 3 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/frr5U9_YTnagWsd0eG3DV-Yu0F8=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F09%2F1aa19503-beb7-4ba0-a665-6f55697ec613_jpg.jpg

Pada pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2008, saat Obama-Biden bertarung melawan McCain-Palin, jurnalis politik, Jack Cafferty, mencetus bahwa apabila pasangan kandidat kedua menang, jarak antara Sarah Palin dan jabatan presiden hanya sedenyut jantung seseorang yang berusia 72 tahun. Maksud Cafferty, apabila John McCain yang sudah berusia 72 tahun terpilih presiden lalu kesehatannya bermasalah, otomatis Sarah Palin yang akan memerintah.

Cetusan Cafferty itu menyentak banyak warga Amerika, bahkan yang beraliansi Republikan, partai McCain-Palin. Benar Palin adalah gubernur Alaska, tetapi Alaska sebagai negara bagian cukup homogen secara politis dan jauh dari kehidupan kebanyakan Amerika secara geografis. Ada teman saya pro-Republikan akhirnya tak memilih McCain karena tak sanggup membayangkan Palin, yang dari wawancara dan debat resmi kian terlihat tidak mumpuni di panggung nasional dan global, sebagai presiden negara sebesar Amerika Serikat.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Dan, itulah esensinya wakil presiden, seseorang berkapasitas sedemikian sehingga jika seketika harus menggantikan presiden, di saat presiden mendadak tak mampu bekerja, negara tidak pincang. Wakil presiden bukan sekadar pengganti kehadiran di sebuah acara atau pajangan ruangan. Ia manusia dengan kemampuan beragam dan emosi kompleks, bukan benda cetakan yang pasti cocok dipasang. Ia wakil, bukan onderdil.

Saya tidak buta bahwa dalam masa kampanye capres memilih cawapresnya bukan soal kapasitas melulu, melainkan juga demi suara demografi tertentu. Obama yang minoritas butuh Biden yang konvensional, Biden butuh Kamala Harris untuk suara wanita dan minoritas yang merasa dikucilkan Trump.

Joko Widodo memilih Ketua MUI karena bertubi-tubi diserang fitnah anti-Muslim atau pro-komunis. Namun, kita pemilih harus sadar, terlepas alasan capres memilih cawapresnya, apabila nanti mereka terpilih, kita sebagai rakyat yang harus hidup dengan konsekuensi si wapres sebagai penguasa apabila presiden kenapa-kenapa.

Kita sebagai pemilih perlu melihat kualitas kecakapan para cawapres ini. Cuma lucu atau lugu? Kekinian atau kebanyakan cengengesan? Serius dan matang atau jadul dan tak relevan?

Itu sebabnya, debat sesama cawapres itu perlu dan mutlak. Kita sebagai pemilih perlu melihat kualitas kecakapan para cawapres ini. Cuma lucu atau lugu? Kekinian atau kebanyakan cengengesan? Serius dan matang atau jadul dan tak relevan? Kecakapan dan kapasitas ini baru nyata jika para cawapres berdebat sendiri tanpa capresnya hadir di acara yang sama. Buat apa didampingi? Untuk dapat kode contekan jawaban? Demi penguatan emosional dari tatapan kasih sayang? Kan, esensi debat ini justru untuk mengetes kesiapan saat presiden tidak ada? Jadi buat apa juga capresnya masih dihadirkan?

Iklan

Aneh-aneh saja KPU kali ini. Macam bermain-main dengan definisi pemimpin. Kalau jadi ketiga cawapres yang ada saya, sih, akan tersinggung karena seolah saya tak mampu atau tak berani menjalani forum debat secara mandiri. Terlepas apakah ini permintaan paslon atau gagasan gemilang KPU sendiri, keputusan ini diambil dengan begitu ringan—mungkin karena mengira separuh lebih surat suara kali ini, alias para pemilih pertama, tidak akan paham bedanya? Hadeh.

Baca Juga: Ekosistem Seni Masyarakat Maju

Belum surut kesal soal peniadaan debat cawapres mandiri tanpa capres mendampingi, saya membaca berita tentang RUU Jakarta pasca-IKN yang mengusulkan gubernur Jakarta ditunjuk oleh Presiden, bukan dipilih secara demokratis oleh penduduknya. Sinetron horor apa lagi ini?

Mari kita kembali ke mimpi besar IKN yang sejak awal digembar-gemborkan ke rakyat—bahwa IKN menjadi pusat pemerintahan baru, sedangkan Jakarta tetap sebagai urat nadi bisnis dan ekonomi. Bahkan, cukup banyak yang melontarkan perbandingan, terlepas bercanda atau tidak, bahwa IKN akan seperti Washington DC, sedangkan Jakarta adalah New York City. Sejauh ini, kota NYC dipimpin oleh wali kota yang dipilih secara demokratis, sebagaimana juga gubernur Negara Bagian New York.

Kota sentra bisnis yang konsisten tumbuh di seluruh dunia hampir selalu diimbangi demokrasi dan keterbukaan, bukan manajer titipan. Bisnis berkembang apabila peraturan jelas, hukum ditegakkan, pelaku bisnis punya kanal untuk menyuarakan ketidakpuasan, dan warga punya suara terhadap jalannya roda kehidupan.

Ajaran ilmu kepemerintahan atau bisnis dari sekolah mana yang meyakinkan DPR kalau Jakarta malah akan makin berkembang jika pilkada ditiadakan? Argumen filosofis, sosiologis, dan yuridis mana yang menyokong pola pikir ini? Tolong jangan memakai Singapura sebagai contoh karena negara pulau ini terlalu kecil, homogen, dan merata dibandingkan dengan Jakarta, apalagi Indonesia.

Baca Juga: Tawaran gaya membumi dan ramah bumi

Sepuluhan juta penduduk Jakarta itu sekitar tiga kali lipat warga negara Singapura atau dobel populasi Irlandia, dengan keragaman demografi dan sosiografi. Belum kalau kita hitung nilai kepemilikan yang terakumulasi pada penduduk Jakarta dan multiplier effect terhadap roda ekonomi senegeri. Lalu, ini yang mau dipertaruhkan, demi entah kepentingan apa, dengan mengganti pemimpin terpilih menjadi manajer titipan? Ampun.

Tidak KPU, tidak DPR, kok makin bermain-main dengan definisi pemimpin. Sebegitu sulitnyakah menjalankan republik ini dengan semangat UUD 1945 dan Reformasi 1998? Saat teknologi makin membuka dunia, kenapa para elite seperti giat menarik Indonesia balik ke era kegelapan? Takut kehilangan apa para elite saat ini, sampai definisi pemimpin pun harus diutak-atik?

Benar-benar wakil, bukan onderdil. Pemimpin terpilih rakyat, bukan penguasa kiriman. Bagaimana rakyat bisa menaruh harapan elite negara akan cakap menavigasi isu seluas pemanasan global, perang dagang, atau perdamaian Palestina kalau dua definisi sederhana kepemimpinan demokratis ini saja harus dimain-mainkan. Ya, maafkan kalau kami rakyat terpaksa mencaci maki pada Minggu pagi ini... #*&(%@+$)!!!

Lynda Ibrahim, Konsultan Bisnis dan Penulis

Editor:
BUDI SUWARNA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000