Iklim ekstrem berdampak pada produksi pangan nasional, sementara sejumlah negara membatasi ekspor pangan. Ini harus jadi perhatian pemerintah.
Oleh
BUDI SARTONO SOETIARDJO
·1 menit baca
Berita dan artikel di harian Kompas edisi Jumat (1/12/2023) benar-benar membuat saya terkesiap. Berbagai topik yang ditampilkan harian Kompas hari itu membuat saya bergidik.
Halaman pertama Kompas pada hari Jumat itu menampilkan berita utama dengan judul ”Sekitar Satu Juta Petani dan Nelayan Berkurang di 2030”. Di halaman dua terdapat berita yang berjudul ”Produksi Beras Turun akibat Iklim Ekstrem”.
Kemudian di halaman enam, ada tiga topik serius hadir sekaligus, ada M Husein Sawit yang menulis ”Rapuhnya Cadangan Beras Pemerintah” di rubrik Opini, Tajuk Rencana Kompas mengulas cerdas ”Dampak Iklim Ekstrem Sangat Nyata”, dan ditutup dengan sentilan Mang Usil: ”Warga miskin kian terbebani iklim ekstrem. Jadinya miskin ekstrem”.
Sebuah potret buram kondisi pangan yang sedang dan akan kita hadapi beberapa tahun ke depan, sungguh nyata dan tak bisa dianggap remeh. Soal pangan, khususnya beras, menjadi masalah yang sangat serius bagi bangsa ini.
Kondisi kritis yang tali-temali, saling terkait erat satu dengan yang lain, bersumber pada satu isu besar, yakni potensi rawan pangan dan defisit pangan nasional. Jumlah petani yang terus menurun, lahan sawah yang terus menyusut, kondisi iklim yang semakin tidak menentu adalah tiga masalah besar yang harus diwaspadai dan diantisipasi.
Hingga kini belum tampak upaya ekstrakeras dan hasil yang signifikan tentang apa itu yang disebut dengan food estate atau lumbung pangan, diversifikasi pangan, dan pola konsumsi pangan.
Banyak hal yang berbau ketergantungan—ketidakmandirian juga menjadi ancaman serius bagi cadangan pangan nasional, yang notabene terkait erat dengan urusan perut rakyat. Sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo baru-baru ini, sudah 22 negara di dunia membatasi ekspor pangan. Ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan (beras, gandum, dan lain-lain), cepat atau lambat, akan menjadi petaka bagi kita.
Meskipun begitu, hingga kini belum tampak upaya ekstrakeras dan hasil yang signifikan tentang apa itu yang disebut dengan food estate atau lumbung pangan, diversifikasi pangan, dan pola konsumsi pangan. Meski selama ini disebut-sebut sebagai upaya mengantisipasi defisit pangan, semua itu masih remang-remang, diliputi ketidakjelasan.
Pemerintah harus benar-benar aware terhadap semua ini. Jangan sampai Indonesia Emas 2045 yang kita dambakan sekadar impian ketika masalah pangan melilit bangsa ini. Masalah pangan ini menjadi batu sandungan besar bagi terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di usia kemerdekaan bangsa ini yang akan mencapai satu abad pada 2045.