Obligasi sosial untuk biaya pembangunan daerah berpotensi mengurangi beban APBN. Pembangunan daerah juga akan lebih akuntabel.
Oleh
RAFI NATAPRADJA
·5 menit baca
Otoritas Jasa Keuangan pada 5 Oktober 2023 mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 18 Tahun 2023 tentang Penerbitan Efek Bersifat Utang dan Sukuk Berlandaskan Keberlanjutan. Menurut Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Santosa, penerbitan POJK No 18/2023 ini dilatarbelakangi oleh visi untuk meningkatkan investasi berkelanjutan di pasar modal dengan memperkenalkan suatu produk, yaitu efek bersifat utang berwawasan sosial (obligasi sosial). Obligasi sosial akan difokuskan untuk membiayai Kegiatan Usaha Berwawasan Sosial (KUBS) dalam rangka mewujudkan pembangunan yang merata dan berkeadilan.
Artikel ini selanjutnya akan membahas potensi dan bagaimana obligasi sosial dapat membantu membiayai KUBS di daerah, memberikan dampak positif bagi pembangunan daerah, dan juga para pihak yang terlibat, seperti pemerintah daerah, perusahaan atau emiten, dan investor.
Obligasi sosial
Berdasarkan POJK No 18/2023, obligasi sosial dapat diartikan sebagai surat berharga yang dapat dialihkan dan/atau diperdagangkan di pasar modal yang dana hasil penerbitannya dapat digunakan untuk pembiayaan KUBS. Efek bersifat utang secara umum dapat berupa obligasi korporasi, sukuk, surat berharga negara, atau efek beragun aset.
Sebagai pendahuluan, konsep dan regulasi obligasi sosial serupa dengan obligasi biasa atau obligasi yang tidak berwawasan sosial. Perusahaan atau penerbit menerbitkan efek bersifat utang untuk menghimpun dana yang digunakan untuk ekspansi kegiatan usaha dan/atau pembayaran utang. Efek dapat ditawarkan kepada investor melalui penawaran umum atau tidak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Investor kemudian berhak atas kupon secara periodik hingga tanggal jatuh tempo efek.
Obligasi sosial memiliki sejumlah perbedaan dari obligasi biasa atau obligasi yang tidak berwawasan sosial dalam hal penggunaan dana hasil penerbitan. Dana hasil penerbitan obligasi sosial digunakan khusus untuk membiayai KUBS, kegiatan usaha yang bertujuan untuk memitigasi permasalahan sosial. Sejumlah contoh dari KUBS dalam POJK 18/2023 mencakup (a) pembangunan layanan infrastruktur dasar yang terjangkau, (b) pembangunan perumahan terjangkau, serta (c) pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Karakteristik lain yang juga identik pada obligasi sosial mencakup (a) proses internal evaluasi dan pengelolaan risiko terkait KUBS, (b) pelaporan realisasi dana hasil penerbitan dan dampak bagi KUBS yang dibiayai, serta (c) review dari penyedia review eksternal. Hasil review dari penyedia review eksternal akan disampaikan bersama dengan dokumen pernyataan pendaftaran atau dokumen penerbitan dan diungkapkan dalam prospektus atau memorandum informasi, sebagaimana relevan, sesuai dengan prosedur penerbitannya, apakah melalui penawaran umum atau tidak.
OJK bersama Bursa Efek Indonesia (IDX) dapat memberikan insentif untuk penerbitan obligasi sosial. Namun, peraturan pelaksana dan teknis sehubungan dengan insentif belum tersedia. Hal ini terutama karena IDX masih melakukan observasi dan mengantisipasi kebutuhan insentif dari obligasi sosial, sebagaimana salah satu Direktur IDX, Jeffrey Hendrik, mengungkapkan pada Capital Market & Summit Expo pada Oktober 2023.
Sumber pembiayaan alternatif
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 2022 mengungkapkan ketertarikannya untuk mengkaji pemanfaatan obligasi sosial sebagai sumber pembiayaan alternatif dari program pemerintah berwawasan sosial, termasuk program penanganan dampak sosial ekonomi akibat pandemi Covid-19 dan program pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan APBN Tahun Anggaran 2024, masyarakat dapat melihat dan mencermati kebutuhan pendanaan terkait pembangunan daerah. Pemerintah telah mengalokasikan Rp 857,6 triliun (55 miliar dollar AS) alokasi Transfer Ke Daerah (TKD) untuk membiayai kebutuhan daerah.
Selanjutnya, alokasi TKD disalurkan, antara lain untuk (a) membiayai pembangunan infrastruktur daerah dan pelaksanaan pelayanan publik daerah, seperti pembangunan jalan dan jembatan, rumah sakit dan puskesmas, serta perumahan, berdasarkan alokasi Dana Alokasi Khusus; dan (b) membiayai Bantuan Langsung Tunai, program ketahanan pangan, dan pembangunan infrastruktur desa, berdasarkan alokasi Dana Desa.
Peraturan OJK No 18/2023 memberikan pemerintah pilihan untuk membiayai program pembangunan daerah yang tercantum dalam APBN Tahun Anggaran 2024 melalui mekanisme pembiayaan alternatif, yaitu obligasi sosial. Dengan ketentuan, program ini memenuhi kriteria KUBS dan ketentuan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah juga memungkinkan pemerintah daerah bekerja sama dengan pihak ketiga, dalam hal ini perusahaan atau emiten yang mendapat penugasan dari pemerintah daerah untuk melaksanakan KUBS. Perusahaan atau emiten kemudian dapat menerbitkan oblgiasi sosial untuk menghimpun dana yang dibutuhkan untuk membiayai KUBS, sesuai POJK No 18/2023.
IDX menyebutkan obligasi sosial sebagai implementasi kebijakan environmental, social, and governance (ESG) juga dapat membantu perusahaan atau emiten.
Pemanfaatan obligasi sosial untuk membiayai program pembangunan daerah berpotensi mengurangi beban APBN karena dana dari sektor swasta dan masyarakat dimanfaatkan untuk mendukung APBN. Selain itu, pembangunan daerah juga diantisipasi untuk menjadi lebih transparan dan akuntabel karena penggunaan dana hasil penerbitan harus dilaporkan kepada OJK.
Selain sejumlah manfaat bagi pemerintah, IDX menyebutkan obligasi sosial sebagai implementasi kebijakan environmental, social, and governance (ESG) juga dapat membantu perusahaan atau emiten paling tidak dalam dua hal. Pertama, memitigasi risiko jangka panjang sehubungan dengan masalah ekonomi, sosial, dan tata kelola. Kedua, membantu menjaga reputasi dan nama baik terhadap investor dan masyarakat.
McKinsey, firma manajemen konsultasi asal New York, Amerika Serikat, juga menyebutkan sejumlah keuntungan dan manfaat dari investasi ESG dan obligasi sosial. Empat di antaranya (a) mendapatkan dukungan pemerintah dan menarik investor berwawasan keberlanjutan, (b) meningkatkan efisiensi dan menekan biaya, (c) meningkatkan produktivitas karyawan, dan (d) menjaga keberlanjutan dari kegiatan usaha yang dibiayai.
Obligasi sosial dan efek berwawasan ESG lain juga memiliki manfaat bagi investor karena keduanya diantisipasi untuk mendatangkan imbal hasil dan keuntungan yang lebih tinggi dan kompetitif dalam jangka panjang. Imbal hasil dan keuntungan ini dipengaruhi oleh perusahaan atau emiten yang terdorong untuk melakukan kegiatan usaha secara efisien dan berkelanjutan. Lebih lanjut, obligasi sosial juga dapat membantu investor melakukan diversifikasi portfolio investasi dengan mengintegrasikan efek berwawasan sosial.
Hingga November 2023, PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), badan usaha milik negara yang bergerak di sektor perumahan, telah mengumumkan keikutsertaannya dalam penerbitan obligasi sosial. Direktur Utama SMF Ananta Wiyogo menginformasikan bahwa SMF akan menerbitkan obligasi sosial senilai Rp 800 triliun (530 juta dollar AS) dan dana hasil penerbitan obligasi tersebut akan dimanfaatkan untuk mendukung dan membiayai program perumahan bersubsidi oleh pemerintah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Penerbitan obligasi sosial oleh SMF menjadi salah satu bukti akan potensi dan masa depan yang menjanjikan dari obligasi sosial dan investasi berkelanjutan di Indonesia.
Tindak lanjut
Sebagai kesimpulan, penerbitan POJK No 18/2023 menjadi dasar pemanfaatan instrumen pasar modal Indonesia, yaitu obligasi sosial, sebagai salah satu pilihan pembiayaan program pembangunan daerah berwawasan sosial.
Namun, terlepas dari besarnya potensi manfaat dari obligasi sosial terhadap pembangunan daerah dan para pihak yang terkait, perlu dipahami bahwa penting untuk para pihak untuk mencermati dan menindaklanjuti permasalahan sehubungan dengan obligasi sosial, baik yang ada saat ini maupun akan ada di masa mendatang.
OJK dan IDX saat ini masih perlu untuk lebih lanjut mengatur mengenai dukungan dan insentif dalam rangka penerbitan Obligasi Sosial. Selain itu, OJK juga perlu melakukan pembinaan dan pengawasan secara seksama sehubungan dengan penggunaan dana hasil penerbitan untuk memastikan penggunaan dana tepat sasaran dan memberikan dampak positif yang sebesarnya untuk penduduk sasaran.
Meskipun saat ini kita masih harus berhadapan dengan masalah dan tantangan terkait obligasi sosial, kehadiran obligasi sosial perlu diberikan apresiasi karena membawa harapan untuk investasi berkelanjutan di masa depan dan juga menjadi fondasi dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.
Rafi Natapradja, Konsultan Hukum di Kantor Konsultan Hukum di Jakarta