Investor Peka Isu Keberlanjutan Lebih Terfasilitasi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 18 Tahun 2023 berpotensi menangkap lebih banyak minat investor di pasar modal yang peduli terhadap isu lingkungan dan sosial berkelanjutan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah memperkenalkan pendanaan berkelanjutan berwawasan lingkungan, Otoritas Jasa Keuangan baru-baru ini menerbitkan aturan untuk pendanaan berkelanjutan. Aturan ini berpotensi menangkap lebih banyak minat investor di pasar modal yang peduli terhadap isu lingkungan dan sosial berkelanjutan.
Peluang itu hadir dengan terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 18 Tahun 2023 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang dan Sukuk (EBUS) Berlandaskan Keberlanjutan. Aturan ini menggantikan POJK No 60/2017 tentang Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond).
”POJK No 18/2023 tidak hanya terbatas pada efek bersifat utang berwawasan lingkungan, tetapi juga mencakup sukuk berwawasan lingkungan (green sukuk), EBUS berwawasan sosial (social bonds/sukuk), EBUS keberlanjutan (sustainability bonds/sukuk), Sukuk wakaf (sukuk-linked waqf), dan EBUS terkait keberlanjutan (sustainability-linked bond),” kata rilis tertulis OJK, dikutip Sabtu (21/10/2023).
Penerbitan POJK No 18/2023 ini, menurut OJK, tetap menjadi landasan OJK dalam merespons isu global dan regional ASEAN dalam rangka memitigasi dampak perubahan iklim. Hal ini diketahui telah menjadi komitmen Indonesia dalam Paris Agreement, yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.
”Aturan ini lebih mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan, yaitu menjaga kelestarian lingkungan dan dampak sosial yang berkelanjutan, serta mendorong pengembangan EBUS berlandaskan keberlanjutan,” ujar OJK.
Adapun kegiatan usaha berwawasan lingkungan (KUBL) yang dibiayai sesuai dengan Pasal 8 POJK No 18/2023 adalah kegiatan energi terbarukan, efisiensi energi, pencegahan dan pengendalian polusi, pengelolaan sumber daya alam hayati dan penggunaan lahan yang berkelanjutan, konservasi keanekaragaman hayati darat dan air, serta transportasi ramah lingkungan.
Kegiatan lain adalah pengelolaan air dan air limbah yang berkelanjutan; adaptasi perubahan iklim; produk yang dapat mengurangi penggunaan sumber daya dan menghasilkan lebih sedikit polusi; bangunan berwawasan lingkungan yang memenuhi standar atau sertifikasi yang diakui secara nasional, regional, atau internasional; dan/atau kegiatan usaha dan/atau kegiatan lain yang berwawasan lingkungan lainnya.
Sedangkan KUBL sosial berkelanjutan yang dibiayai sesuai Pasal 9 POJK No 18/2023 adalah layanan infrastruktur dasar yang terjangkau baik dari segi akses maupun harga, akses terhadap layanan esensial, perumahan yang terjangkau, penciptaan lapangan kerja, dan program yang dirancang untuk mencegah dan/atau mengurangi pengangguran, termasuk pembiayaan usaha kecil menengah dan pembiayaan mikro.
Selain itu, ketahanan pangan dan sistem pangan berkelanjutan, peningkatan dan pemberdayaan sosio-ekonomi; dan/atau kegiatan usaha dan/atau kegiatan lain yang berwawasan sosial lainnya.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, keluarnya regulasi penerbitan obligasi ini dapat memberikan kesempatan bagi pemerintah ataupun dunia usaha untuk dapat mengakses pendanaan bagi proyek-proyek dengan prinsip berkelanjutan yang lebih spesifik. Misalnya, untuk mendanai proyek yang bersifat sosial, seperti pembangunan rumah bersubsidi.
”Selain itu, penerbitan obligasi yang beragam ini juga dapat menjadi sarana untuk memperluas basis investor, dengan cara menarik investor yang peduli terhadap isu-isu sosial dan lingkungan,” katanya kepada Kompas.
Penerbitan obligasi yang beragam ini juga dapat menjadi sarana untuk memperluas basis investor dengan cara menarik investor yang peduli terhadap isu-isu sosial dan lingkungan. (Josua Pardede)
Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia (ADB), nilai outstanding dari obligasi berkelanjutan (green bonds, social bonds, sustainability bonds, sustainability-linked bonds, dan transition bonds) di negara-negara ASEAN termasuk Jepang, China, dan Korea Selatan, pada Juni 2023 mencapai 694,37 miliar dollar AS. Nilai itu bertumbuh dari 209,77 miliar dollar AS pada tahun 2019.
”Hal tersebut menjadi indikasi jika pasar obligasi berkelanjutan masih terus berkembang secara positif,” ujarnya.
Di Indonesia, penerbitan obligasi berkelanjutan masih didominasi penerbitan green bonds dari sektor perbankan. Riset Litbang Kompas yang mengolah laporan keberlanjutan (sustainability report) perbankan tahun 2020-2024 menunjukkan tren rata-rata pertumbuhan 25 persen setiap tahun.
Tren ini terjadi pada empat perbankan dengan aset terbesar di Indonesia, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Central Asia Tbk, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Dengan semakin beragamnya instrumen pendanaan ini, Josua berharap semakin banyak proyek dengan prinsip ESG (environmental, social, and governance) mampu mendapatkan pendanaan yang layak.
Pekan lalu, PT Sarana Multigriya Finansial Persero menyatakan akan segera menerbitkan obligasi sosial, bersamaan dengan hadirnya regulasi POJK No 18/2023. Direktur Utama Sarana Multigriya Finansial (SMF) Ananta Wiyogo secara spesifik menyebut, mereka akan mengeluarkan instrumen surat utang berjenis obligasi konvensional yaitu social bonds dan syariah yakni sukuk musyarakah.
”Nilai maksimum dari penerbitan obligasi konvensional ini adalah Rp 8 triliun atau sekitar 530 juta dollar AS dan sukuk musyarakah senilai Rp 1,5 triliun atau 100 juta dollar AS,” kata Ananta dalam ASEAN Capital Market Forum (ACMF) 2023 di Kabupaten Badung, Bali, Selasa (17/10/2023).
SMF akan menggunakan 100 persen penerbitan dana obligasi sosial itu untuk mendukung program kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi pemerintah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini bertujuan untuk mengisi kebutuhan rumah bagi masyarakat. ”Backlog perumahan di Indonesia saat ini sudah mencapai 12,7 juta unit,” ucapnya.
Kekurangan rumah yang mencapai 12,7 juta unit diperparah dengan laju kebutuhan rumah yang bertambah 700.000-800.000 rumah per tahun (Kompas, 7/9/2023).
Kebutuhan atau permintaan itu, kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali, disumbang kebutuhan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. ”Rumah adalah masa depan keluarga. Di masa pandemi, rumah juga menjadi tumpuan untuk tempat bekerja,” katanya.