Indonesia Segera Terbitkan Obligasi Sosial Pertama
Penerbitan obligasi sosial memungkinkan perusahaan untuk memenuhi komitmennya dalam membangun dan mengubah kehidupan banyak orang.
Oleh
ERIKA KURNIA
·2 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Obligasi sosial yang berkaitan dengan pendanaan berkelanjutan akan diterbitkan PT Sarana Multigriya Finansial Persero. Ini akan menjadi obligasi sosial pertama di Indonesia setelah terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18 Tahun 2023 tentang Penerbitan Efek Bersifat Utang dan Sukuk Berlandaskan Keberlanjutan.
Direktur Utama PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), Ananta Wiyogo, menyatakan, SMF akan menerbitkan instrumen surat utang berjenis obligasi konvensional, yaitu obligasi sosial, dan obligasi syariah, yakni sukuk musyarakah.
”Nilai maksimum dari penerbitan obligasi l konvensional ini adalah Rp 8 triliun atau sekitar 530 juta dollar AS dan sukuk musyarakah senilai Rp 1,5 triliun atau 100 juta dollar AS,” kata Ananta dalam ASEAN Capital Market Forum (ACMF) 2023 di Kabupaten Badung, Bali, Selasa (17/10/2023).
Dengan dukungan Asian Development Bank (ADB), SMF akan menggunakan 100 persen penerbitan dana obligasi sosial itu untuk mendukung program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi pemerintah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. ”Backlog perumahan di Indonesia saat ini sudah mencapai 12,7 juta unit,” jelasnya.
Penerbitan obligasi sosial oleh SMF ini menjadi pionir dalam kategorinya di Indonesia. ”Penerbitan obligasi ini memungkinkan perusahaan untuk memenuhi komitmennya dalam membangun dan mengubah kehidupan banyak orang,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi, di tengah acara ACMF 2023.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 18 Tahun 2023 tentang Penerbitan Efek Bersifat Utang dan Sukuk Berlandaskan Keberlanjutan memperluas cakupan instrumen keuangan berbasis prinsip-prinsip berkelanjutan seperti obligasi hijau, obligasi sosial, dan sustainable bond sustainability-linked bonds. Ada juga, instrumen keuangan berbasis syariah, yaitu social sukuk, sustainable sukuk, dan sustainability-linked sukuk.
Pengkategorian surat utang ini memperluas penerimaan pembiayaan berkelanjutan, dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan dan sosial terkait perbaikan dampak perubahan iklim secara menyeluruh.
”Dengan perluasan cakupan jenis instrumen ini, maka cakupan proyek yang dapat dibiayai pun semakin luas. Dengan POJK baru ini, maka proyek-proyek yang diarahkan untuk mengatasi dampak sosial perubahan iklim bisa dibiayai penerbitan social bonds,” katanya.
Senior Director Finance Sector Office Asian Development Bank, Christine Engstorm, dalam sambutan di pembukaan ACMF, menyebut, utang berkelanjutan setiap tahun meningkat, dari 0,25 miliar dollar AS pada 2016 menjadi 6,75 miliar dollar AS pada 2021.
”Sehingga total utang berkelanjutan menjadi sekitar 24 miliar dollar AS dan ini merupakan angka yang sangat mengesankan. Tapi, jalan kita masih panjang,” ujarnya.
Menurut dia, pasar ekuitas utang berkelanjutan masih perlu diperbesar untuk memenuhi kebutuhan pendanaan berkelanjutan bagi perekonomian ASEAN. Oleh karena itu, kebijakan seperti POJK 18/2023 bisa memberi keuntungan bagi Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN.
”Kesepakatan dalam ACMS 2023 serta agenda Taksonomi ASEAN untuk Keuangan Berkelanjutan diharapkan memperluas peluang masuknya pendanaan internasional untuk proyek-proyek berkelanjutan,” pungkasnya.